Waktu: 22:45.
Michael tidak lagi berlari kecil, ia telah mencapai kecepatan konstan, langkah kakinya yang cepat menghasilkan bunyi kresik-kresik yang samar saat bergesekan dengan salju tipis yang menutupi trotoar. Ia hanya berjarak satu blok lagi, satu persimpangan jalan yang memisahkannya dari gerbang apartemen mereka. Dari posisi ini, ia bisa dengan jelas melihat lampu kuning hangat dari jendela dapur mereka di lantai dua—sebuah pandangan yang selama ini menjadi lambang keamanan, keutuhan, dan masa depan yang stabil.
Hatinya berdebar, bukan karena kelelahan, tetapi karena lonjakan emosi yang luar biasa. Ia telah berhasil. Ia telah mengalahkan jam lembur yang kejam. Ia telah menemukan mawar yang sempurna. Ia telah membuktikan kepada dirinya sendiri bahwa ia mampu mengendalikan takdirnya, melawan sejarah keluarganya yang kacau balau.
Ia melirik mawar di tangannya, Mawar Merah yang terkunci erat dalam genggamannya. Ia membalikkan bungkusan itu sedikit, seolah memastikan bunga itu masih sesempurna yang ia inginkan. Warnanya tampak gelap dan mewah di bawah cahaya lampu jalan yang memudar. Mawar ini, pikir Michael, akan menjadi pembicaraan. Mawar ini akan menjadi ikon dari Valentine mereka, sebuah cerita yang akan mereka ulangi setiap tahun, bukti bahwa cinta mereka bisa mengatasi tekanan dan kesibukan.
Michael memperlambat laju napasnya, mencoba menenangkan diri sebelum menyambut Tia. Ia merencanakan sambutan itu dengan detail obsesif. Begitu Tia membuka pintu, ia akan menariknya ke dalam pelukan. Ia akan menciumnya, membiarkan kehangatan tubuh Tia menepis dingin yang telah ia rasakan sepanjang malam. Kemudian, ia akan mundur sedikit, menyajikan Mawar Merah itu. Ia akan mengatakan, "Tidak ada kesibukan di dunia ini yang bisa membuatku melupakanmu, Sayang."
Keutuhan. Itulah yang Michael cari. Ia selalu iri pada keluarga utuh, di mana hal-hal kecil seperti bunga tidak pernah dipertanyakan atau dilupakan. Bersama Tia, ia merasa akhirnya ia bisa menciptakannya—sebuah benteng kekasih yang tidak bisa dihancurkan oleh perpisahan, pertengkaran, atau ketidakpedulian.
Ia mencapai persimpangan. Jalanan utama di depannya tampak sepi dan gelap. Lampu lalu lintas berkedip kuning, pertanda hati-hati. Michael melihat ke kiri, lalu ke kanan. Tidak ada kendaraan. Angin bertiup kencang, membawa serta puing-puing daun kering yang berputar-putar di sekitar tiang lampu.
Ia tersenyum, merasakan lonjakan kemenangan. Ia tidak perlu menunggu. Ia bisa langsung menyeberang dan berada di trotoar yang aman dalam hitungan detik.
Michael melangkah mantap ke aspal jalan. Kakinya terasa ringan. Ia hanya berjarak lima langkah lagi dari trotoar di seberang. Di sanalah, hanya beberapa meter lagi, pintu masuk lobi mereka.
Tiba-tiba, dari kejauhan, sebuah titik cahaya muncul dan membesar dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan.
Itu adalah mobil. Sebuah mobil hitam.
22:48.
Awalnya, Michael tidak panik. Ia mengira mobil itu akan melambat, menghormati lampu yang berkedip kuning. Tetapi mobil itu tidak melambat. Mesinnya meraung keras, suara yang terdengar asing dan mengancam di keheningan malam yang sunyi. Mobil itu melaju jauh di atas batas kecepatan, seperti rudal yang meluncur tanpa arah.
Michael membeku. Ini adalah momen yang bergerak dalam kecepatan yang berbeda dari dunia di sekitarnya. Ia tidak bisa bergerak maju, dan ia tidak punya waktu untuk mundur. Ketakutan yang paling primitif, ketakutan akan kehilangan keutuhan dan janji, menyergapnya.
Michael hanya punya waktu sepersekian detik untuk berpikir. Pikirannya tidak memproses rasa sakit, melainkan memproses Tia.