Mawar Merah Di Genggaman Terakhir

Valen Pahlintias
Chapter #4

Tiba Di Neraka

Taksi Tia melambat tajam, disela oleh bunyi klakson frustrasi dari mobil di belakang. Mereka berhenti total di tikungan jalan, hanya beberapa puluh meter dari persimpangan yang Tia kenali sebagai jalur terakhir menuju apartemennya. Perjalanan dari asrama hingga ke sini sudah terasa seperti selamanya, dan Tia, yang tadinya dipenuhi antisipasi untuk kejutan Hari Valentine, kini hanya merasa kesal karena meeting mendadaknya telah merampas waktu mereka.

"Ada apa, Pak?" tanya Tia, menjulurkan lehernya untuk melihat ke depan. Matanya yang lelah mencoba menembus keremangan malam.

"Kecelakaan parah, Nona. Mobil dan... sepertinya ada pejalan kaki. Polisi dan ambulans sudah datang," jawab sopir itu, suaranya dipenuhi ketidaknyamanan.

Di depan mereka, lampu biru dan merah dari kendaraan darurat berputar-putar liar, memantul pada salju tipis dan dinding-dinding bangunan. Cahaya yang berputar itu menciptakan efek disko yang kejam di tengah kengerian.

Tia merasakan lonjakan firasat buruk yang dingin, tetapi ia langsung menekannya. Tidak mungkin. Ini hanya kebetulan. Michael pasti sedang menunggu di dalam, kesal karena Tia terlambat.

"Saya turun di sini saja, Pak," kata Tia cepat, mengeluarkan uang tunai. Ia harus buru-buru. Ia harus menebus keterlambatannya, menebus sepuluh menit yang ia sia-siakan di ruang rapat yang tak penting.

Tia membuka pintu taksi dan melangkah keluar, langsung disambut oleh dinginnya udara malam yang menusuk dan aroma logam, bensin, dan sesuatu yang lebih gelap. Ia memanggul tas ranselnya yang berat—tas berisi buku-buku kuliah yang merupakan alasan mengapa ia berada di asrama, alasan mengapa pertemuan mereka begitu langka.

Ia mulai berjalan cepat, lalu berlari kecil menuju kerumunan yang telah membentuk lingkaran di dekat persimpangan. Orang-orang berbisik, ada yang menutup mulut mereka dengan tangan.

"Aduh, Michael pasti kedinginan menungguku," gumamnya sekali lagi, berusaha meyakinkan diri.

Ia menerobos kerumunan yang enggan bergeser. "Permisi! Saya tinggal di sana!" serunya.


23:00.


Ketika Tia berhasil mencapai garis polisi yang direntangkan, pandangannya yang terhalang kini terbuka sepenuhnya.

Di tengah aspal yang basah dan sedikit tertutup salju, dikelilingi oleh petugas berseragam, paramedis, dan serpihan kaca, terbaringlah sesosok tubuh. Tak bergerak.

Wajahnya tertutup.

Namun, Tia tidak perlu melihat wajah itu. Ia melihat siluet. Ia melihat sepatu sneakers usang yang sering Michael gunakan saat harus menemaninya naik kereta pagi. Ia melihat jaket musim dingin biru tua yang pernah ia jahit bagian sikunya.

Lihat selengkapnya