Mawar Merah Di Genggaman Terakhir

Valen Pahlintias
Chapter #10

Jendela Baru, Hati Yang Sama

Tiga Tahun Setelah Tragedi.


Dua tahun setelah kunjungan terakhirnya ke makam Michael dan pelepasan Mawar Merah yang pahit, Tia akhirnya membuat keputusan besar: ia harus meninggalkan kota itu. Kota itu terlalu banyak mengandung monokrom duka yang tersembunyi; setiap sudut jalan, setiap jalur kereta, bahkan jendela apartemennya, menuntut perhitungan waktu yang menyakitkan.

Ia menerima tawaran pekerjaan di kota metropolitan yang baru, sebuah kota yang berkilauan dengan janji-janji anonimitas dan masa depan yang tidak terikat oleh masa lalu. Kepindahan ini bukanlah pelarian; itu adalah evolusi. Tia membawa serta pelajaran dari Michael, tetapi meninggalkan penjara yang ia ciptakan.

Apartemen barunya cerah, dihiasi dengan warna-warna hangat dan hidup—kuning lembut, hijau zaitun, dan ya, bahkan aksen burgundy yang mengingatkannya pada warna Mawar Merah tanpa membawa beban kebencian. Ia bahkan membeli jam dinding kayu besar, yang berdetak dengan suara yang tenang dan teratur, bukan sebagai hakim, tetapi sebagai pengingat akan kehadiran waktu, bukan tirani waktu.


Pertemuan Tak Terduga:

Beberapa bulan setelah menetap, dalam sebuah acara galeri seni yang kebetulan ia hadiri, Tia bertemu dengan seseorang yang wajahnya familiar. Pria itu, tinggi dengan senyum yang lembut namun sedikit canggung, memegang segelas anggur dan menatap lukisan abstrak di dinding.

"Tia?" panggil pria itu, suaranya dipenuhi rasa tak percaya.

Tia menoleh. Wajah itu... sangat familiar. "Ya?"

"Ini aku, Adrian. Adrian Darmawan. Kita teman SD di Bandung dulu. Kau pindah saat kelas lima, kan?"

Adrian. Teman masa kecilnya yang paling lembut, yang selalu meminjamkan pensil warna dan melindungi Tia dari anak-anak nakal. Pertemuan itu terasa seperti hadiah dari takdir, sebuah benang kusut dari masa lalu yang kini menyambung kembali dengan kehangatan yang sederhana.

Adrian tidak tahu tentang tragedi Michael. Ia hanya melihat seorang wanita yang tampak berhati-hati, tetapi matanya memancarkan kedalaman dan kekuatan yang luar biasa.

Hubungan mereka berkembang perlahan, kontras dengan intensitas Michael. Adrian adalah seorang arsitek. Ia mencintai fondasi dan struktur, tetapi ia juga menghargai fleksibilitas dan adaptasi. Adrian tidak pernah terburu-buru. Ia sabar, mendengarkan dengan penuh perhatian tanpa menuntut pengakuan emosional yang segera.

Ketika akhirnya Tia merasa siap, ia menceritakan semuanya. Ia menceritakan Michael, Mawar Merah, sepuluh menit, dan tahun-tahun monokromatiknya.

Adrian mendengarkan dengan tenang. Ia tidak mencoba menggantikan Michael, tidak mencoba meremehkan duka Tia. Ia hanya memeluknya dan berkata, "Michael mencintaimu dengan cara yang ia tahu. Ia memberimu pelajaran paling berharga. Dan aku bersyukur kau belajar untuk hidup lagi."

Adrian mengerti bahwa Michael bukanlah saingan, tetapi fondasi yang membuat Tia yang sekarang menjadi dirinya.

Lihat selengkapnya