Waktu: 10 Tahun Setelah Tragedi.
Kehidupan Tia di kota baru, jauh dari bayangan Michael dan aspal dingin, telah mencapai harmoni yang stabil. Hari-hari Tia kini diukur oleh tawa anak-anaknya—Mikhael, yang sekarang berusia sepuluh tahun dan mewarisi mata Michael yang lembut, dan putri kecil mereka, Laras. Adrian adalah fondasi yang kokoh, seorang suami yang suportif dan tenang, memastikan bahwa rumah tangga mereka dibangun di atas cinta yang fleksibel, bukan janji yang rapuh.
Tia, kini seorang Direktur Proyek yang dihormati di sebuah perusahaan konsultasi besar, telah berhasil menciptakan lingkungan yang berlawanan total dengan neraka monokrom yang pernah ia huni. Meja kerjanya penuh dengan sketsa desain berwarna cerah. Dinding rumahnya dipenuhi lukisan cat air yang dibuat Mikhael dan Laras. Ia telah menanggalkan seragam abu-abunya; ia sekarang mengenakan warna-warna yang hidup, seringkali burgundy atau emerald green, sebagai simbol penerimaannya terhadap kompleksitas hidup.
Pelajaran dari Mawar Merah telah meresap ke dalam DNA-nya. Ia masih menghargai waktu, tetapi tidak panik. Jika terjadi keterlambatan, ia akan menarik napas dalam-dalam, tersenyum, dan berkata kepada Adrian, "Tidak ada sepuluh menit yang layak dipertaruhkan untuk hal ini."
Pagi yang Terganggu:
Pagi itu dimulai seperti biasa: aroma kopi kuat bercampur pancake gosong (Adrian masih tidak pandai memasak, dan Tia membiarkannya dengan senang hati, menghargai upaya yang tidak sempurna). Mikhael, sibuk dengan proyek sainsnya, merengek tentang suatu kegagalan kecil.
"Bu, kenapa drone-ku selalu miring? Aku sudah mengikuti setiap langkahnya, tapi ia tetap tidak mau terbang sempurna!" keluh Mikhael, wajahnya cemberut, menunjukkan kefrustrasian yang mengingatkan Tia pada obsesi Michael akan kesempurnaan.
Tia berlutut, memeluk putranya. "Tidak ada yang namanya sempurna, Sayang. Kesalahan adalah tempat belajar. Kita perbaiki bersama, ya?"
Saat itulah bel berbunyi.
Adrian, yang sedang menyendok pancake hangus, membuka pintu. Seorang kurir mengirimkan paket. Isinya adalah amplop tebal, berlabel dari firma hukum di kota lama.
Tia merasakan ketegangan yang familiar di dadanya, seperti tali busur yang ditarik kencang. Ia telah meninggalkan firma hukum dan semua yang berhubungan dengannya.
Adrian melihat raut wajah Tia dan segera mengambil alih anak-anak. "Sayang, aku dan anak-anak akan ke taman. Kamu baca ini, ya. Tidak perlu terburu-buru."
Tia menghargai kepekaan Adrian. Ia mengambil amplop itu dan duduk di kursi dapur, merasakan dinginnya kertas di tangannya.
Isi Surat Wasiat Kedua:
Amplop itu berisi surat resmi dari pengacara yang dulu menangani kasus Michael.
Kepada Yth. Nyonya Tia Paramitha,
Perihal: Pembukaan Wasiat Kedua
Almarhum Sdr. Michael Wira Utama.
Kami menulis surat ini untuk menginformasikan bahwa sesuai dengan instruksi yang ditinggalkan oleh klien kami, Sdr. Michael Wira Utama (Alm.), wasiat kedua telah berlaku efektif pada hari ini, tepat sepuluh tahun setelah tanggal kepergiannya.
Klien kami secara spesifik menginstruksikan agar wasiat ini tetap disegel selama satu dekade penuh. Kami tidak diperkenankan untuk memberikan rincian melalui surat, tetapi kami meminta kehadiran Anda di kantor kami di alamat lama dalam waktu secepatnya.
Kami dapat memastikan bahwa ini bukanlah urusan finansial, karena semua aset sudah diselesaikan dalam wasiat pertama. Ini adalah masalah yang bersifat pribadi dan esensial yang ditinggalkan klien kami untuk Anda.