Matahari mulai condong ke arah barat, membiarkan cahaya oranye kemerahan menyentuh aspal jalanan kota lama. Tia menggenggam erat buku catatan biru tua dan kunci kuningan yang baru saja ia ambil dari brankas bank. Setiap langkah yang ia ambil menjauh dari gedung bank itu terasa seperti sedang menanggalkan lapisan kulit yang kaku. Kode 14022250 yang ia ketikkan tadi masih terasa seperti getaran listrik di ujung jemarinya, namun anehnya, getaran itu tidak lagi menyakitkan.
Ia masuk ke dalam mobil, menyandarkan kepalanya sejenak di kemudi. Di pangkuannya, foto polaroid Michael berdiri di depan sebuah pintu gudang kayu tua tampak sedikit pudar. Michael dalam foto itu tersenyum—bukan senyum kemenangan yang angkuh, melainkan senyum lembut yang penuh rahasia, jenis senyum yang biasanya ia tunjukkan saat ia berhasil menyembunyikan hadiah kecil untuk Tia di balik punggungnya.
"Kau benar-benar perencana yang rumit, Michael," bisik Tia.
Ia menghidupkan mesin mobil dan mulai berkendara menuju gang sempit tempat kios bunga Kakek Ryo dulu berada. Ingatannya tentang tempat itu sangat tajam, terpatri permanen karena itulah tempat terakhir Michael terlihat hidup dalam narasi sejarah Tia. Namun, saat ia mendekati lokasi tersebut, hatinya mencelos.
Kota telah berubah. Modernitas telah menggilas kenangan.
Gang sempit yang dulu temaram dan dipenuhi kios-kios kayu kini telah berganti menjadi deretan gedung perkantoran minimalis dan kafe kekinian dengan fasad kaca yang dingin. Tia memarkir mobilnya dan turun dengan perasaan bimbang. Ia berjalan menyusuri trotoar, mencoba mencocokkan bangunan-bangunan modern ini dengan peta di kepalanya.
Tempat di mana kios Kakek Ryo dulu berdiri kini menjadi sebuah minimarket waralaba yang terang benderang. Tidak ada aroma mawar, tidak ada terpal usang, tidak ada lampu neon kuning yang berkedip. Hanya ada bau pembersih lantai dan suara pintu otomatis yang terbuka setiap kali pelanggan masuk.
Tia berdiri di depan minimarket itu, merasa tersesat. "Kunci ini untuk pintu yang selalu ingin kita buka," Michael menuliskan itu. Tapi pintunya sudah tidak ada. Dunianya sudah hilang.
Ia merasa kepanikan lama mulai merayap naik. Apakah semua ini sia-sia? Apakah wasiat sepuluh tahun ini hanyalah cara Michael untuk mengejeknya dengan sisa-sisa masa lalu yang sudah dihancurkan oleh waktu?
"Permisi, Nyonya?" sebuah suara serak membuyarkan lamunannya.
Tia menoleh dan melihat seorang pria tua yang sedang menyapu trotoar di depan sebuah toko buku bekas yang terjepit di antara dua gedung besar. Toko buku itu tampak seperti satu-satunya sisa dari masa lalu yang masih bertahan.
"Anda terlihat seperti sedang mencari sesuatu yang sudah lama hilang," kata pria tua itu, matanya menyipit di balik kacamata tebal.
Tia mendekat, menunjukkan foto polaroid di tangannya. "Saya mencari kios bunga. Kios bunga milik Kakek Ryo. Dia dulu ada di sini, sepuluh tahun yang lalu."
Pria tua itu berhenti menyapu. Ia menatap foto itu, lalu menatap Tia. "Ah, Ryo. Dia sudah lama pergi dari sini. Sejak pembangunan gedung besar ini dimulai tujuh tahun lalu, semua kios kayu digusur."
Hati Tia jatuh. "Anda tahu ke mana dia pergi? Ini sangat penting. Dia menyimpan sesuatu untuk saya."
Pria tua itu bersandar pada sapunya, tampak berpikir keras. "Ryo sudah sangat tua saat itu. Terakhir aku dengar, kesehatannya menurun. Dia dibawa oleh keponakannya. Ada sebuah tempat... Panti Jompo Welas Asih di pinggiran kota. Banyak pedagang tua dari sini yang akhirnya berakhir di sana."
Tia merasakan secercah harapan. "Terima kasih. Terima kasih banyak."
Perjalanan Menuju Pinggiran Kota:
Tia segera kembali ke mobil. Ia memacu kendaraannya menjauhi pusat kota yang sibuk menuju daerah yang lebih hijau dan sunyi. Sepanjang perjalanan, ia memikirkan tentang "Kunci yang Hilang". Dalam surat Michael, ia menyebutkan bahwa kunci yang ia berikan pada pengacara hanyalah setengah dari cerita. Kunci yang asli, kunci yang benar, ada pada Kakek Ryo.