Waktu terus bergulir seperti aliran air yang tenang di halaman rumah Tia dan Adrian. Musim berganti, dari kemilau salju musim dingin yang membekukan hingga hangatnya sinar matahari musim panas yang menghidupkan. Namun, di dalam rumah kaca kecil di sudut taman itu, musim tetaplah satu: musim mekarnya cinta yang abadi. Pendar biru dari silinder kaca Mawar Merah itu kini telah menjadi detak jantung kedua bagi rumah mereka, sebuah cahaya malam yang menuntun siapa pun yang merasa tersesat dalam kegelapan emosional.
Tia kini telah memasuki usia kepala empat yang matang. Rambutnya mungkin mulai dihiasi satu atau dua helai perak yang tipis, namun matanya memancarkan ketenangan yang hanya bisa didapatkan oleh seseorang yang telah berperang melawan naga masa lalunya dan menang. Ia bukan lagi wanita yang dikejar-kejar oleh detik jam. Ia adalah wanita yang memiliki waktu.
Warisan yang Bersemi pada Mikhael
Mikhael, putra sulungnya, kini telah beranjak menjadi seorang remaja berusia lima belas tahun yang cerdas dan penuh empati. Ia memiliki ketertarikan yang luar biasa pada bioteknologi, sebuah gairah yang jelas-jelas diturunkan dari paman yang namanya ia sandang. Mikhael menghabiskan lebih banyak waktu di rumah kaca daripada di depan layar komputer atau di lapangan bola. Baginya, rumah kaca itu adalah laboratorium, perpustakaan, dan tempat ibadah sekaligus.
"Ibu," kata Mikhael suatu sore, saat ia sedang mengkalibrasi sensor nutrisi pada silinder mawar. "Aku sudah membaca kembali log Michael yang Ibu temukan di gudang itu. Ada satu hal yang menarik perhatianku."
Tia, yang sedang menyiram tanaman pakis di sudut ruangan, menoleh. "Apa itu, Mikhael?"
"Michael menulis bahwa sistem ini sebenarnya bisa diadaptasi untuk skala yang lebih besar. Bukan hanya untuk satu mawar, tapi untuk tanaman-tanaman langka yang hampir punah karena perubahan iklim," jelas Mikhael, matanya berbinar dengan semangat ilmiah. "Michael tidak hanya ingin menyelamatkan sebuah bunga; dia ingin mencari cara agar keindahan di dunia ini tidak hilang begitu saja karena ketidaksabaran manusia."