Mawar Merah Di Genggaman Terakhir

Valen Pahlintias
Chapter #18

Bayang-bayang Keabadian (Dilema Mikhael)

Lima tahun telah berlalu sejak peresmian Michael Legacy Center. Fasilitas yang dulunya hanyalah sebuah mimpi yang lahir dari rasa bersalah di sebuah gudang berdebu, kini telah bertransformasi menjadi mercusuar bioteknologi global. Gedung-gedung kaca yang megah berdiri di pinggiran kota, menaungi ribuan spesies flora yang nyaris punah, semuanya dijaga dalam kondisi "statis" yang sempurna berkat formula enzim yang ditemukan Michael Wira Utama dua dekade lalu.

Bagi dunia, Michael adalah seorang genius yang mendahului zamannya. Bagi Tia, Michael adalah cinta yang telah didamaikan. Namun bagi Mikhael, putra sulung Tia yang kini telah menginjak usia dua puluh tahun dan menjadi peneliti muda berbakat di pusat riset tersebut, nama Michael adalah sebuah beban yang tak kasat mata—sebuah bayang-bayang keabadian yang menuntut kesempurnaan.


Warisan yang Menghimpit


Mikhael duduk di laboratorium pribadinya pada pukul dua pagi. Di depannya, layar monitor menampilkan struktur molekul enzim yang sedang ia teliti. Di sudut ruangan, sebuah replika silinder mawar—Mawar Merah Abadi—berpendar tenang. Mikhael sering merasa bahwa mawar itu memperhatikannya, menghakiminya dengan keindahan yang tak pernah memudar.

"Bagaimana kau melakukannya, Paman?" bisik Mikhael pada udara kosong. "Bagaimana kau bisa menemukan keseimbangan ini dalam kekacauan sepuluh menit terakhirmu?"

Mikhael sedang menghadapi kebuntuan besar. Perusahaan farmasi raksasa, Aeterna Corp, telah mengajukan proposal kerja sama senilai jutaan dolar. Mereka tidak tertarik pada konservasi hutan hujan atau penyelamatan anggrek langka. Mereka menginginkan formula Michael untuk satu tujuan: anti-penuaan pada manusia.

Dunia bisnis melihat potensi "Mawar Abadi" sebagai kunci menuju keabadian fisik manusia. Jika enzim itu bisa membekukan sel tumbuhan tanpa merusak jaringannya, bukankah secara teoritis itu bisa dilakukan pada kulit manusia, pada organ, bahkan pada waktu hidup itu sendiri?


Perdebatan di Meja Makan


Keesokan harinya, suasana di meja makan keluarga Tia terasa berat. Adrian, yang kini telah menjadi arsitek senior dan dewan penasihat pusat riset, memandang putranya dengan cemas. Tia, yang tetap menjadi pusat ketenangan keluarga, hanya diam sambil mengamati Mikhael yang terus mengaduk kopinya tanpa meminumnya.

"Aeterna menekan kita lagi, Ayah," buka Mikhael dengan suara serak. "Mereka bilang kita egois jika menyimpan teknologi ini hanya untuk tanaman. Mereka berbicara tentang menyembuhkan penyakit degeneratif, tentang memperpanjang usia hidup manusia agar tidak ada lagi perpisahan yang mendadak."

Adrian menghela napas. "Itu janji yang manis, Mikhael. Tapi kau tahu risikonya. Teknologi Michael diciptakan dari rasa sayang untuk menjaga keindahan agar tidak layu. Manusia bukan tanaman. Kita hidup, kita tumbuh, dan kita harus menua untuk memberikan ruang bagi generasi berikutnya."

"Tapi bukankah itu yang Paman Michael inginkan?" potong Mikhael dengan nada sedikit frustrasi. "Dia benci keterlambatan. Dia benci perpisahan yang tiba-tiba. Dia mati karena ingin memastikan sebuah janji tidak layu. Jika aku bisa menggunakan penemuannya untuk memastikan tidak ada lagi ibu yang kehilangan anaknya, atau istri yang kehilangan suaminya karena 'waktu yang habis', bukankah itu bentuk penghormatan tertinggi baginya?"

Tia meletakkan sendoknya. Ia memandang putranya, melihat kilatan obsesi yang sama yang dulu ia lihat pada Michael—ketakutan akan kehilangan yang dimanifestasikan dalam keinginan untuk mengendalikan waktu.

"Mikhael," kata Tia lembut. "Kau tahu kenapa Michael membuat mawar itu tetap mekar di dalam silinder kaca, dan bukan membiarkannya tumbuh di tanah?"


Mikhael terdiam.


"Karena di dalam kaca, mawar itu aman, tapi dia tidak bisa lagi menghasilkan benih. Dia indah, tapi dia berhenti menjadi bagian dari siklus kehidupan," lanjut Tia. "Michael memberikan mawar itu padaku agar aku bisa berhenti berlari, bukan agar dunia berhenti berputar. Ada perbedaan besar antara mengenang keindahan dan memaksakan keabadian."


Rahasia yang Terpendam dalam Enzim


Lihat selengkapnya