MAWAR

siti rahmah
Chapter #1

Satu

Alarm jam digital di atas nakas milikku kini sudah berbunyi. Masih dalam kepompong yang menutupi seluruh tubuh, terpaksa aku menjulurkan satu tangan meraba-raba nakas untuk bisa menemukan tombol off dari benda persegi panjang itu. Tidak tanggung-tanggung, aku menekannnya seperti orang yang ingin menghancurkan barang tanpa peduli.

Pukulan dari tanganku yang mengepal sekali lagi terdengar, barulah benda itu mau diam. Satu menit, dua menit, tiga menit, aku masih bergeming di tempat. Suara lain yang rasanya lebih mengusik adalah pintu kamarku yang diketuk. Atau lebih tepatnya digedor. Seseorang berteriak memanggil namaku membuat aku semakin ingin menutupi dua telinga dengan bantal. Percaya atau tidak, ini sudah kesepuluh kalinya dia memanggil dan si penganggu itu masih saja tidak mau berhenti.

“Woy, sholat dulu. Aku tau kamu udah bangun dan jangan berpura-pura tidak mendengar sebelum kamu mendapat---”

“Iya, iya… Mawar bangun” sahutku serak, memotong kalimatnya dari balik selimut.

Kalau sudah bersangkutan dengan hal sejenis sindiran, aku tak bisa mengelak. Aku terlalu meyakini bahwa ucapan itu adalah do’a. By the way soal itu. Abangku selalu berhasil menggunakan trik ajaib itu untuk membuatku bergerak. Bagaimana bisa aku tidak takut kalau setiap yang dia ucapkan adalah yang benar terjadi padaku suatu waktu nanti.

Dengan tubuh yang masih mengumpulkan setengah nyawa lagi, aku bangun lambat-lambat. Tangan kananku memutar kunci, sementara satu tangan yang lain menutup mulutku yang membuka lebar seperti mulut kuda nil yang hendak disiram air. Aku benar-benar mengantuk dan masih perlu istirahat panjang. Tiga jam tidur sudah pasti akan mencetak jelas kantung hitam di bawah mata.

“Ribuan kali aku ingatkan, jangan tidur terlalu malam apalagi sampai dini hari!” Bentaknya seiringan dengan pintu yang terbuka. “Kamu bisa mengerjakan semua tugas kuliah di siang hari, kan? Memangnya bisa fokus belajar kalau di kelas mulut kamu mangap-mangap begitu?”

Benar saja, aku selalu mengantuk saat mengikuti kelas. Aku mengusap wajah dan membiarkan pria tingginya lebih beberapa senti dariku itu masuk ke dalam penghunianku. Dia mengedarkan pandang melihat keadaan kamar wanita yang menurutnya lebih pantas dikatakan sebagai gudang. Ya, gudang barang bernilai. Barang-barang yang masih berfungsi dengan baik yang kubiarkan sekenanya tanpa aturan penempatan yang jelas. Pria itu mendengkus.

Aku menyaksikan kakakku mengumpulkan semua buku yang berserakan di atas tempat tidur dan bibirnya tanpa henti kudengar berceloteh. Apa lagi yang biasa dia lakukan kalau bukan menceramahi adik perempuannya ini. Dan aku mendengarkannya sambil berpindah untuk duduk.

“Harusnya dulu itu aku gak setuju kalau kamu masuk fakultas kedokteran. Sama sekali menyusahkan.” Dia memandangku sebentar sebelum kembali melakukan aksi beres-beres “Baru juga semester satu, sibuknya udah kaya dokter spesialis kelas dunia. Bangun selalu dibangunin, makan selalu diingetin, mandi selalu ditungguin. Gimana kalau nanti aku menikah dan kamu masih belum selesai kuliah?”

Aku mengedikan bahu sekali saat pria itu menengok ke arahku. Semenjak ibu kami meninggal, aku lebih akrab dengannya dibandingkan papa. Sekalipun papa menikah lagi dan ibu tiriku adalah orang yang baik tetap saja semua tidak akan pernah sama. Tidak sempurna sesempurna keluargaku yang dulu di masa kanak-kananku. Justru karena pernikahan mereka, aku lebih memilih tinggal bersama orang ini di kota lain yang jauh dari rumah. Itu mungkin sudah biasa didengar.

Beberapa saat kemudian, aku tersenyum. Abangku geleng-geleng kepala. Senyum manisku sama sekali tidak berguna. “Iya, Mawar minta maaf” kataku akhirnya.

“Terus ngapain masih di situ?” Balas masih dengan intonasi marah “Wudhu sana. Keburu terbit matahari, mau sholat fajar kamu!” tambah Abangku tidak bosan berteriak.

Aku menghela nafas namun tak berniat membantah. Galak. Dia selalu memperlakukan adiknya dengan keras dan penuh amarah. Walau begitu, rasanya kata galak tidak cukup mendefinisikan karakter seorang Raka Aldi Rahman. Dia juga bisa menjadi seorang Abang yang super cerewet kalau moodnya sedang baik. Dan keduanya sama-sama menyebalkan.

Setelah keluar dari kamar mandi, aku mengambil alat sholat dari lemari. Aku terdiam sebentar memikirkan sesuatu. Tempat tidurku sudah bersih. Semua buku-buku tebal dan paper tugasku sudah tertata rapi di atas meja belajar. Terlalu malas memang menunggu ada seseorang yang berbenah di ruangan minimalis ini. Aku saja bingung apa yang menjadikan hidupku berubah pemalas sepeti sekarang. Sindromku lebih labil dari anak SMP memang.

“Mawar Dela Selvia!”

Aku terkesiap. Cepat-cepat membuka pintu, dan menuruni setiap anak tangga dengan lincah. Tampak semua orang sudah siap berdiri, baik pria yang menggunakan peci apalagi wanita yang menggunakan mukena. Seseorang kini tengah melantunkan iqamah. Aku tergopoh-gopoh memasangkan kain penutup itu sampai wanita di sampingku ikut membantu.

Ya. Kami selalu menyempatkan sholat berjamaah di rumah. Bersama Bi Astuti dan Mang Dayat, sepasang suami istri yang sengaja dipekerjakan Bang Raka di rumah ini. Selain bekerja, mereka juga menemani keseharianku saat makhluk ini sedang tugas di luar kota. Itulah sedikit ceritaku yang mungkin terdengar manja dan lebay.

Lihat selengkapnya