MAWAR

siti rahmah
Chapter #2

Dua

Aku mematut diri pada cermin. Selesai mengeringkan rambut dan kembali menscroll bagian bawahnya, aku beralih merias wajah sebentar. Make up yang aku gunakan, biasanya adalah make up yang natural. Aku juga tidak perlu repot melukis alis karena pada kenyataannya, alisku terlihat indah tanpa harus diotak-atik lagi. Terakhir kulapisi bagian bibir tipisku dengan lipbal aroma berry.

Selesai. Aku berdiri dan memasangkan jam tangan pada pergelangan tangan kiri sambil terus menatap ke arah cermin. Oh ya, aku juga tidak lupa menyemprotkan parfum flame favoriteku pada pergelangan tangan dan bagian leher. Sesekali memiringkan wajah kesisi kiri dan kanan untuk melihat bagian pipiku yang rasa-rasanya mulai sedikit melebar. Aku mencubitinya, cemberut.

Ah, sudahlah. Lagipula berat badanku hanya kelebihan tiga kilo dari berat ideal dan masih belum bisa dikatakan gendut pula. Aku menjinjing tas bersama handphone, selanjutnya turun dengan langkah cepat. Empat angka lagi sebelum jarum panjang menunjuk angka 12, alias 20 menit lagi sebelum mata kuliah Pak Riko di mulai.

“Duh, jangan telat, jangan telat, jangan telat”

Sementara aku fokus pada gerakan kakiku, tiba-tiba suara bel rumah berbunyi. Membuatku menghentikan langkah tiba-tiba dan bibi tergesa-gesa berjalan kearah pintu. Pikiranku langsung aktif mengingat ucapan Andrew beberapa saat lalu.

“Assalamualikum, ada kiriman untuk Mawar” Setelah pintu terbuka, kulihat bibi menghadap seorang pria---seketika membuat aku menarik diri bersembunyi di balik dinding. Tidak terlalu jauh dari pintu utama hingga aku bisa mendengar percakapan mereka.

“Walaikumussalam. Dari siapa ya, Mas?”

“Hery Indrawan” Pria itu menjawabnya. “Tolong tanda terimanya disini…”

Dari kejauhan, ekor mataku hanya melihat uluran tangan berisi buket bunga. Tubuh tamu itu tertutup sebelah daun pintu. Sebentar sekali, setelah bibi menerimanya orang itu berlalu. Dari sana aku bisa bernafas lega. Setidaknya itu hanya tukang bunga, bukan orang yang perlu ditakutkan.

Mendengar suara pintu kembali ditutup, aku bergegas duduk di meja makan. Ada hot green tea latte bersama roti panggang selai moca kesukaanku. Aku berpura-pura sibuk dengan sarapan buatannya sebelum bibi kembali ke dalam.

 “Non, ini ada buket bunga mawar putih buat non” kata bibi meletakkan kiriman itu di dekatku. “Dari Hery Indrawan, mungkin temen kuliah non”

“Makasih Bi” gumamku setelah menurunkan cangkir dari mulut.

Mataku malas-malas melirik buket itu sambil terus menyisap minuman. Tunggu. Aku hampir tersedak melihat kartu ucapannya. Bibi yang ingin pergi kedapur langsung berhenti di tengah jalan dan berbalik menatapku bersama kerutan alis penuh keheranan. Kerutan kedua setelah melihat aku yang berusaha tak peduli waktu dia meletakkan buketnya tadi. Aku berdehem, lalu melanjutkan minum agar tak terlihat mencurigakan.

“I wish today is fine day for you?” lirihku membaca seperti bertanya.

Inginku membuang buket bunga itu sekalipun buketnya adalah favoritku. Sayangnya aku tak cukup keberanian untuk melakukan aksi itu di rumah. Akan banyak yang bertanya, salah satunya pasti Mang Dayat yang duduk di pos satpam. Jadi, mau tidak mau aku harus membawanya terlebih dahulu pergi dari kawasan bahaya ini.

Tertulis jelas nama sang pengirim yang tak asing lagi bagiku. Mahasiswa kedokteran yang selama ini mengejar-ngerjar cintaku. Aku teringat masa pertama bertemu orang itu waktu ospek perdana. Sejak itu aku sudah mencium bau-bau tak mengenakkan dari cara pandangnya.

Bweh. Berlebihan. Terkadang spesies seperti dirinya bisa membuatku harus sombong. Si ketua organisasi musik yang diidolakan mahasiswi kedokteran juga mahasiswi fakultas tetangga atau bisa juga dia si kakak tingkat yang namanya sering kudengar dari beberapa dosen. Perkiraan sementara, dia pasti mengira aku sudah putus dengan Andrew mengingat akhir-akhir ini hubungan kami di ujung tanduk yang ramai diperbincangkan.

“Bi, Mawar berangkat!” teriakku meninggalkan roti panggang yang masih belum termakan. Malang. Mood makanku sedikit terganggu dan daripada aku tidak menghabiskannya lebih baik makanan itu kubiarkan. Bibi bisa saja memakannya nanti, pikirku.

Seperti apa yang sudah aku rencanakan, aku meletakkan buket mawar itu di kursi penumpang tepat di sebelahku. Mang Dayat membukakan pagar depan dan mobilku dengan mudah langsung keluar. “Hati-hati, non” Pesannya yang kubalas dengan acungan jempol di balik kaca jendela.

Lihat selengkapnya