Siangnya, aku memasuki kafe dan memesan secangkir cappuchino expresso pada seseorang yang jaga di tender. Sambil mengedarkan pandang, aku menduduki meja cukup dua orang. Biasanya aku kesini membawa novel dan akan menghabiskan waktu panjang sendirian. Sekarang, aku hanya memasangkan earphone berharap sosok itu datang lebih cepat dari perkiraanku sebelumnya.
Seseorang meletakkan secangkir minuman. “Silakan” katanya ramah
“Thanks…” balasku dengan mata yang tertuju pada jarum arloji yang sudah menunjukkan pukul tiga siang. Aku sama sekali tak suka menunggu. Sudah melebihkan lima belas menit sebelum menuju tempat ini dan dia masih belum datang?
Oke, sabar.
Aku mengecek handphone dan mengirimi pesan singkat melalui aplikasi Whatsapp. Deliv. Pesan yang aku kirimkan hanya mendapat tanda ceklist dua kali sesudah pesanku yang pertama hanya di read. Mulutku mendesah jengkel dan menekan tombol lain pada layar.
Terdengar nada terhubung dari handphoneku begitu benda tipis itu menempel di telinga. Sambil menunggu, mataku terpusat pada pintu kaca yang ramai di gunakan itu. Orang-orang yang masuk dan keluar kebanyakan bergandengan. Dan lagi, teleponku juga tak dijawab. Untuk yang kedua kalinya, aku mengangkat handphone lalu menghubunginya lagi.
Tak!
Sontak pandanganku berlari menuju salah satu meja yang tak jauh di dari tempatku duduk. Pemandangan yang kontras. Aku menyaksikan satu wanita menampar pria yang tengah duduk dengan wanita lain itu dengan pandangan bingung. Aku menurunkan handphone dan menyadari mereka menjadi pusat perhatian dalam sekejap.
“Dasar cowok brengsek! Dan kamu” suaranya tercekat beberapa detik saat menunjuk wanita berambut pirang yang duduk di samping cowoknya. Aku menyimpitkan mata, merasa kenal salah satunya.
“Aku kenapa, hmm?” Wanita yang duduk itu berdiri. Aku ingat sekarang, dia adalah salah mantan pacarnya Hery dan kalau tidak salah dia juga satu fakultas dengan pacarku. “Aku perebut pacar orang, aku pengkhianat, atau aku orang yang udah ngehancurin kebahagian orang lain?” ujarnya bertanya satu persatu.
Mataku semakin fokus menatap wanita yang menyeka air matanya. Usapannya nampak kasar dan dipaksakan, hatiku terenyut. Terlebih saat wanita yang kuanggap tak tau malu itu mengatakan sesuatu yang lebih menusuk. “Kamu yang harusnya sadar. Di hidup Dimas, kamu itu bukan apa-apa!”
Sarah. Setelah aku menemukan nama wanita itu, sang pria kini ikut berdiri. Hebat sekali dia, telah melakukan kesalahan dan hanya bisa mengatakan kata maaf juga mempermalukan wanita malang itu di tengah orang banyak. Aku bahkan hampir bisa merasakan tanganku menggepal.
“Aku minta maaf, Vin. Tapi untuk kali ini, Sarah benar. Selama kita berhubungan satu sama lain, aku sama sekali tidak memiliki perasaan apapun sama kamu.”