MAWAR

siti rahmah
Chapter #4

Empat

Aku sedang mengolesi roti dengan selai coklat ketika seseorang menekan bel. Seketika mataku terpaku pada Bang Raka yang kemudian juga bergeming berpindah menangkap ekspresi tegangku. Melihat rambutnya yang tersisir rapi kesebelah kanan karena pomade serta kerah kemejanya yang sengaja tak dikancingkan, membuatku jadi merasa sedikit khawatir.

“Biar Mawar aja yang buka, Bi” cegahku membuat bibi berhenti di tengah jalan. Bang Raka menurunkan pandangannya kembali ke roti, sementara sebelah alisnya terangkat. Dicurigai mungkin menjadi pilihan terbaik daripada harus membiarkan bibi membukakan pintu yang bisa jadi adalah orang yang selalu aku takutkan dia berani datang kerumah.

Dengan cepat, aku bangkit dan tak lupa menyimpan handphone di tangan kiri. Benda itu bergetar seiringan dengan langkahku menuju pintu. Kejadian pagi itu cukup membuatku ekstra hati-hati dengan apa yang namanya alat komunikasi. Aku tak ingin mengulang kecerobohan yang sama untuk yang kedua kalinya.

“Iya, sebentar!” Teriakku saat bel ketiga terdengar padahal tanganku sudah memegang ganggang pintunya. Aku menarik sedikit daun pintu itu masuk kedalam, hanya cukup untuk memunculkan setengah tubuhku.

“Ada kiriman untuk Mawar”

Mendengar itu dan melihat siapa yang berdiri di hadapanku, aku putuskan untuk melebarkan sedikit pintunya. Setidaknya aku bisa bernafas lega meski rasanya tak benar-benar lega. Pria itu mengulurkan tangannya yang berisi buket mawar putih, lengkap dengan pita biru muda dengan sangat sopan. “Dari siapa, mas” sahutku menjaga suara.

“Andrew Pranata Putra” Jawabnya

Aku memperhatikan buket bunga itu dan sang kurir, bergantian setelah nama panjang pacarku disebutkan. Alih-alih soal Andrew, mataku malah sibuk mencari wajah pria di depanku. Kepalanya menunduk, terlebih topi itu membuat wajahnya semakin tersembunyi. Membuat rasa penasaran dan curigaku hadir dalam waktu bersamaan.

“Ma-maaf---” gumamnya tergagap juga terputus. Saat aku baru hendak mengambil buket itu, dia sudah melepaskannya lebih dulu. Kurir itu cepat membungkukkan badannya sebelum aku ikut melakukan hal yang sama.

“Eh, maaf”

Sungguh ini benar-benar lucu. Kenapa aku harus repot mencari tau wajahnya? Ini bukan pertama kalinya aku mendapat adegan memugut benda yang sama berbarengan dengan orang lain, tapi ini akan menjadi pertama kalinya seorang pria mengurungkan niatnya untuk membantu dan memilih membiarkan aku sendiri yang mengambil. Orang sok misterius itu bangkit berdiri lebih awal.

“Iya gak papa” sahutku masih dalam posisi menjongkok.

Ah ya, aku pernah bertemu dengan orang ini sebelumnya. Dia pria yang pernah menyusup masuk ke dalam lift waktu itu. Dia pria yang juga aku tabrak saat salah arah jalan karena terlalu terburu-buru.

“Tolong tanda terimanya, Mbak” sergahnya memberiku lembaran kertas serta pulpen sebelum aku angkat bicara. Dia menungguku bangkit untuk berdiri lagi. Sedang aku mematut dirinya terlihat sedikit gugup.

Lihat selengkapnya