"Selamat pagi, sayang"
"Kamu ngapain sih, pake kirimin aku buket bunga kerumah." Sisi kesalku sudah tak terbendung, namun aku berusaha untuk tetap membalutnya dengan nada tenang. "Aku kan udah bilang, jangan kasih aku apapun itu kalau kamu gak sedang di depan aku."
"Buket apa, sayang? Aku gak pernah ngirimin kamu apapun ke alamat rumah"
Aku menghela nafas. "Buket bunga mawar putih. Kamu ngucapin selamat pagi dan permintaan maaf" jelasku malas-malasan.
"Tapi serius sayang, aku gak pernah ngirim apapun kerumah. Aku malah baru bangun dan langsung nelpon kamu."
"Please, gak usah ngelak Andrew. Aku udah capek kalau terus-terusan berantem sama kamu" ujarku seraya memijit kepala. Otakku rasanya sudah tak berfungsi jika harus digunakan untuk memikirkan Andrew lagi. Bagaimana hubungan kami atau bagaimana aku menghadapi kenyataan bahwa aku dan Andrew bukanlah pasangan yang baik.
"Siapa yang mau berantem sama kamu, sayang" nada khawatir dari Andrew malah semakin jelas kudengar, sekarang. "Aku beneran gak tau soal kiriman yang datang kerumah kamu. Dan untuk apa juga aku kasih pesan maaf, kan kemarin kamu udah maafin aku?"
Aku terdiam. Mulutku kehabisan kata-kata sekaligus kehabisan alasan untuk menjawab pertanyaan Andrew yang itu. Secara kasarnya, dia benar. Kami sudah memang bertemu semalam dan semua sudah kembali normal.
"Sayang, kamu harus percaya sama aku. Buket bunga itu bukan dari aku. Aku benar-benar gak tau sama sekali, sayang." Tambah Andrew berusaha meyakinkan. Nadanya terdengar sangat panik, takut-takut aku kembali tak menghiraukannya seperti semalam.
"Ya udahlah gak usah di bahas" jawabku pada akhirnya.
"Tapi kamu percaya kan sama aku?"
Aku diam, tidak bisa menjawab. Pertanyaan pacaraku seolah menciptakan sesuatu yang berbeda dalam hatiku. Aku seakan tak bisa menjawab ya, padahal aku tau sekarang Andrew tak sedang berbohong dari nada bicaranya. Ingatanku tentang kejadian di kafe itu lagi-lagi bergelayut dalam pikiranku, mengacaukan isi hatiku yang entah sejak kapan berubah bimbang.
"Sayang, kamu masih disana kan?"
Karena bingung, aku hanya membalasnya dengan deheman kecil. Mengacuhkan pertanyaan itu, mataku berpindah memerhatikan pulpen yang sempat kusimpan dalam saku dress tadi di bawah. Aku memutarnya pelan dan hanya mendengar suara Andrew yang rasanya kecil sekali.
"Sayang?"
"Ah iya...aku ada mata kuliah sampai sore. Kamu gak usah temuin aku harinya, aku bakal sibuk dan kita gak bisa ketemu" sahutku cepat-cepat.
"Kamu masih marah sama aku?"
Kepalaku menggeleng kecil seakan yakin Andrew sedang melihatnya. "Gak kok... Ya udah aku siap-siap dulu ya. Jangan lupa sarapan. Aku tinggal, bye"
Tepat ketika aku menyelesaikan kalimatku, panggilan terputus. Aku sengaja mematikan telepon lebih dulu sebelum Andrew bicara. Perasaanku menjadi bingung serba salah.
_*_