Waktu aku keluar dari kelas, seseorang menarik tasku dari belakang. Tubuhku ikut tertarik dan baru bisa memutar badan setelah beberapa langkah mundur. Ya, siapa lagi yang berani melakukan itu kalau bukan Gilang. Pria yang tersenyum menampilkan sederatan gigi serinya tanpa pernah merasa bersalah sedikitpun.
"Gilang!" Protesku mencubit pinggangnya dengan kesal. "Keterlaluan banget sih, jadi sahabat." Dan dia malah tertawa gembira.
"Kita duluan aja ya, Ma" ujar Gia berpamitan. Aku memandang mereka sebentar, mengangguk mengiyakan. Ini sudah jam makan siang, tentu saja mereka lebih memilih pergi lebih dulu daripada menunggu kami berdua berdebat yang kalau terjadi bisa sampai satu jam. Aku kembali pada Gilang, memberinya tatapan sengit.
"Biasanya juga nggak sejelek itu mukanya" Kata Gilang mencubit pipiku cukup keras. “Gendut mah gendut aja, nggak usah digendutin lagi pake mancun segala”
Aku ingin berkacak pinggang, melawan perkataan Gilang atau memukulinya sebelum seseorang melintas mengusik arah pandangku. Kekesalanku segera sirna tergantikan perasaan lain. Di jalan koridor ini aku melihat pria pagi tadi berjalan. Dan mata itu, lurus ke depan memperhatikan jalan tanpa terusik apapun. Dia telah melewati tubuhku, meninggalkan kesan aneh dalam hati dan pikiranku.
"Lo lagi ngeliatin siapa, sih?" Tanya gilang mengikuti pandanganku. Baru sadar aku tak memberikan reaksi apa-apa terhadapnya.
Aku cepat-cepat menatap wajahnya. "Bukan, bukan siapa-siapa" sahutku
"Siapa?"
"Tidak"
"Tidak, apa?"
“Tidak apa-apa?” Aku menarik pipinya agar wajahnya tetap memandangku begitu Gilang tak henti menoleh kebelakang. Aku mengerti, Gilang memang jadi orang yang pertama mendengarkan semua curhatahanku. Entah tentang pacar ataupun keluarga. Mungkin tidak untuk sekarang, untuk pria aneh yang mengusik pikiranku sejak pagi tadi.
“Siapa, sih?” tanya Gilang semakin penasaran. “Lo lagi ngincar seseorang? Tumben sampai nggak bisa teralihkan gitu. Yang mana orangnya? Jidan? Atau anak farmasi itu?”
Aku mengerjap cepat. Tunggu. Jangan mengira aku akan menyukai pria barusan. Rasa penasaranku saja yang terlalu kelewatan. Ahhh, mana mungkin aku akan menceritakan keanehan ku saat melihat pria itu pada Gilang. Jenis pria semacam itu banyak dan ribuan.
"Eh, jadi makan siang nggak?" Tanyaku berusaha menyingkirkan bahasan sebelumnya. “Tapi kali ini makan bakso depan kampus aja ya, lagi males makan di resto soalnya”
"Jadi, lah. Masa iya satu jam nunggu malah nggak jadi?" Jawabnya mengikuti aku yang sengaja berjalan lebih dulu. “Tapi kali ini lo yang terakhir ya”
“Payah, dimana-mana cowok kali yang traktir.”
Kami berjalan beriringan layaknya sepasang saudara. Aku lupa memberitahu kalau usia kami terpaut satu tahun. Aku akui, Gilang memang lebih muda. Dan aku menyesal mengatakan ini. Well, dia anak yang jenius dan karena kejeniusannya itulah dia bisa sampai mengambil kelas ekselarasi waktu SMP.
“Uang gua habis buat liburan kemarin” Ujarnya membuatku mendelik kearahnya.
"Sepertinya gua akan mencari pria lain untuk dijadikan sahabat setelah ini"
"Nggak apa," jawabnya malah santai sekali, “Gua jadi nggak perlu repot buat ditanya Bang Raka soal adiknya yang berani pacaran dan jalan malam-malam"
"Ah ya sudah, gua kalah" ujarku menyerah langsung. Pasalnya, hidup dan mati hubunganku bersama Andrew ada di tangannya. Andai Gilang tidak membantuku tiap kali akan bepergian dan tidak menutup mulut saat diintrogasi Bang Raka soal hubunganku dengan seorang pria, aku mungkin tidak bersama Andrew lagi sekarang.
"Jadi gimana hubungan lo sama si sunshine lo itu?" Aku bertanya waktu kami memasuki lift. Di dalam ruangan sempit ini, kebetulan kami hanya bertiga dengan mahasiswa fakultasku yang terlihat tak menghiraukan juga
"Dia sibuk" jawabnya, sedang wajahnya menghadap ke atas.
"Sibuk, apa?"
"Sibuk mikirin gue"
Aku mengangkat sebelah alis menoleh padanya. Sekurang-kurangnya, aku sebatas orang aneh yang kumatnya sewaktu-waktu. Dan Gilang adalah orang super duper percaya diri sepanjang waktu. “Dasar ngaco. Bilangnya dia belum tau lo suka dia, gimana bisa sibuk mikirin lo” ujarku membahas.
"Terus, gimana kabar Andrew?" Dia balik bertanya, kali ini dengan nada lembut membuatku tak tega untuk tak menjawab. Sekalipun aku benci membahas kalau kami baru saja bertengkar beberapa hari yang lalu.