Sepanjang perjalanan kembali ke gedung fakultas, Andrew menggandeng tanganku. Menyampaikan kelima jarinya di sela-sela lima jariku, erat seolah tak mungkin terpisahkan. Membuatku risih begitu banyak orang yang lewat sekadar memandangi atau memberi siutan kecil tanda menggoda. Aku berubah jadi pacar yang lugu dan pemalu.
Dia banyak bercerita yang hanya aku beri respon ‘oh ya?’ dan kadang sedikit tawa. Dia memberi tahuku tentang sebuah lelucon, namun aku tak begitu tertarik untuk menanggapi. Aku juga tak memeluknya sama seperti apa yang aku lakukan pada Gilang saat atau setiap kali bertemu. Perlakuanku memang sedikit berbeda, bahkan sahabatku saja bingung kenapa harus Andrew yang kusebut seorang pacar.
Rasanya berbeda dan sedikit canggung.
"Hey, bro" tegur pria yang kuyakini temannya, Andrew. "Gokil...masih gandeng Mawar aja lo"
Andrew menampar punggungnya dengan seringaian. Kami berhenti sejenak. Sayangnya, dia tak menggunakan tangan kanan dan kami masih seperti perangko dan amplop. Sementara aku malah menoleh kearah lain, tak ingin terlalu memperdulikan gengaman tangan kami lagi yang terasa sangat kentara.
"Duluan ya..." Sahut Andrew ingin lekas berlalu. "Jangan lupa bahagia sob" tambahnya menepuk punggung pria itu sekali lagi.
“Gila lo!”
Aku lalu menengok ke arah pacarku sambil teringat sesuatu. Pikiranku langsung terfokus pada objek lain yang seakan kutemukan dari wajahnya. Pria pagi itu? Tidak! Aku juga melihatnya pada wajah Andrew. Tentang tingkah lakunya, aku kebingungan. Klise itu berputar berkali-kali dalam otakku. Aku bingung dengan pikiranku sendiri.
“Kamu kenapa, sayang. Tumben dari tadi cuma diem?”
Aku tersenyum padanya merasa sungkan. “Nggak papa kok. Mungkin karena aku lagi mikirin tugas aja”
“Mau aku bantuin kerjain?”
“Emang bisa?” tanyaku spontan menolehnya. Andrew cengengesan geli lalu menggeleng. Aku ikut tersenyum begitu kami kembali menatap lurus kedepan.
Jalan kami semakin dekat dengan ruangan kelas yang akan kumasuki untuk kelas selanjutnya. Aku menyaksikan beberapa orang menyingkir, memberi jalan lebih luas dari jalan untuk lima orang saat kami melintasi koridor. Memang koridor ini mampu memberi ruang untuk sepuluh orang yang berjalan bersamaan. Tentu kikuk, kalau setengahnya diberikan hanya untuk kami.
Sekali lagi aku menemukannya. Seolah Andrew adalah orang yang paling disegani melebihi dosen senior disini, wajah mereka menunduk. Padahal dia hanya mahasiswa fisip yang seharusnya tak sampai berada di tempat ini. Aku hampir berhasil melepaskan genggaman Andrew ketika dekat dengan pintu kelas dan dia menariknya kembali. Dengan senyum manis dibibirnya yang tentu membuatku semakin terjebak.
"Buat apa di lepas?" Tanyanya kemudian mendadak mencium punggung tanganku. Aku mengehentikan langkah dan menatapnya dengan rasa terkejut. Belum pernah sebelumnya Andrew mencium tanganku di depan banyak orang. Saat berdua saja rasanya baru sekali. Andrew menahan tanganku, sedang matanya intim melihat manik mataku.
"Ekhem...ekhem"
Aku menoleh kearah sumber suara. Seketika kulepaskan tanganku dari sentuhan Andrew dengan paksa. Sangat paksa sampai rasanya kulitku terasa sedikit nyeri. Aku melihat tukang bunga itu lagi melintas. Dan aku masih mendengarnya berdehem keras saat sudah melawati tempat kami berdiri. Lagi-lagi matanya tak kutemukan terangkat, dia membaca buku sambil berjalan.
Adegan selow motion sialan! Aku merasa ada kamera dimana-mana yang telah merekam kejadian tadi. "Aku masuk dulu" tegasku buru-buru. Aku tak berani melihat wajah pacarku karena pipiku sudah memanas karena terlalu malu.
"Sebentar" jawabnya berhasil menarik tanganku. Dia maju beberapa langkah dan kami saling berhadap-hadapan lagi. "Maaf aku bukan orang selalu ada buat kamu"
Andrew mengambil sejumput rambutku lalu menyampirkannya ke atas telinga. Romantis. Tapi aku tak berani menatap lekat dua bola matanya yang bersinar. Sinar itu bukan sinar yang seharusnya aku lihat, entah menurut batinku.
Pikiranku rancu.
"Cieeee.... Cieee" Suara wanita yang kukenal datang beriringan dengan tubrukan tubuhnya padaku. Hampir aku memeluk Andrew tanpa sengaja dan mendengar detak jantungnya melampaui jarak beberapa senti, aku segera mundur. Dia tersenyum dan sudah melepaskan tanganku.
"Apa kami akan jadi pembasmi nyamuk di antara kalian sekarang?"
Anggap saja itu sebuah hal yang harus dilakukan daripada harus berdiam diri dan menyaksikan lengkungan sudut bibir Andrew. Bisa-bisa aku pingsan di tempat karena kepalang malu.
"A-aku masuk duluan, ya" pamitku terbata-bata.
Andrew mengangguk lemah. Dia membiarkanku masuk digandeng Gia. "Princessnya gua bawa dulu ya" Gia tersenyum lebar mempercepat langkahku masuk.
Tanpa menyeret pandangan, Andrew masih tak melakukan apa-apa selain tersenyum. Terpaksa aku tersenyum juga untuknya dan dia memberiku lambaian kecil lalu berjalan menjauh. Aku tak memandang kepergiannya sekalipun dinding kelas ini mampu menampilkan setengah tubuh orang yang berlalu lalang.
"Lo kenapa jadi pulangnya bareng Andrew,?" Gia mengajakku bicara waktu kami duduk. "Gilang lo gadein dimana, Ma?"
"Stttsss..." Tegurku mengibaskan tangan. "Lo pikir mereka berdua barang?"
Mendadak Gia mendekatkan wajahnya, matanya menyimpit menatapku. "Barang berharga, kan tapi?" katanya cenderung menggoda
"Hmmm...." Aku memikirkan itu. Gia kembali menegakku tubuhku, mengalihkan pandangan dengan senyum yang terlihat jahil. Dia berpura-pura sibuk mengeluarkan buku. "Lo pernah nggak ketemu cowok aneh?" Elakku sengaja membuka topik lain.