Sayup-sayup aku mendengar suara gemericik air di telingaku. Aku hampir menggerang dan ingin menutup kepalaku dengan bantal saat menangkap suara tinggi seseorang sebelum otakku berhasil mengingat satu hal penting, mataku cepat terbuka. Kepalaku menoleh ke kanan tepat dimana jam digital berada, 8.10. Angka itu berkedip-kedip. Aku bangun untuk duduk dengan kagetnya.
Secepat kilat ku kibaskan selimut dan tubuhku meloncat dari tempat tidur tanpa aba-aba. “Bi, Bibi?” panggilku sambil tergopoh-gopoh keluar kamar. Kakiku menuruni anak tangga sementara mulutku terus bersuara nyaring “Bang Raka udah berangkat, Bi?”
Wanita yang tadinya sibuk di dapur mau tidak mau juga ikut tergesa-gesa menghampiriku. Tangannya gelagapan mengelap celemek agar kulitnya kering. “Udah non, udah dari sejam yang lalu. Mang Dayat juga udah balik” ujarnya memberitahu
Aku menepuk jidat sendiri, menyesal. “Yah, kok mawar nggak dibangunin?”
“Kata aden, non mawar tidurnya pulas banget nggak bisa dibangunin jadi aden berangkat dan titip ini sama bibi” katanya sambil menyerahkan selembar surat yang langsung aku ambil. Kutatap wajah bibi setengah tidak percaya. “Non mau makan atau mandi dulu? Semua sudah bibi siapin di meja makan” tambahnya padaku.
“Entar aja, bi. Mawar mandi dulu, makasih ya bi” Akupun berbalik, sambil berjalan aku membuka lipatan kertas di tanganku setelah memisahkannya dari amplop. Jarang sekali pria itu begini, bahkan ini jadi yang pertama kalinya aku mendapat surat dari abangku sendiri. Aku hampir membacanya kalau namaku tidak dipanggil bibi, tubuhku berbalik menemukannya sudah menghadapku lagi.
“Ada titipan buket bunga buat non, Mang Dayat taruh di nakas depan. Mau bibi ambilin sekalian, non?”
Alisku terangkat, heran. “Eh, nggak usah bi. Biar nanti sekalian sarapan Mawar ambil” cegahku menginterupsi geraknya.
“Ya udah, kalau gitu bibi ke dapur lagi ya non. Kalau ada apa-apa, non tinggal pagi bibi aja”
“Makasih, bi” ucapku menatap punggungnya yang menjauh. Setelah kulihat wanita itu kembali memutar kran di bak cuci piring, barulah mataku tertuju pada kertas yang kini aku pegang. Kutemukan nama panjangku ditulis miring di bagian teratas.
Aku menghela nafas dan melangkah menuju tangga. Tulisan tangan Bang Raka memang tidak ada duanya, manis sekali seperti gaya tulisan yang dipakai menulis nama tamu undangan. Kakiku berjalan sedang hatiku bergumam.
Untuk pertama kalinya aku minta maaf. Maaf karena berangkat lebih awal dan membiarkan kamu tanpa pengawas sendirian beberapa hari kedepan. Harusnya aku masih di rumah, setidaknya untuk memastikan adik anehku baik-baik saja tanpa melakukan hal bodoh diluar kendali orang normal.
Kakiku bergeming. Aku segera mengangkat kepala, memikirkan kalimatnya yang itu. Mendadak rasa mencekal itu menyentil hatiku. Cemberut. Aku teringat abangku yang selalu menjaili adiknya berlebihan.
Setelah ini dan selama aku tinggalkan, aku tidak ingin mendengar kamu kenapa-kenapa, apalagi sampai melibatkan orang lain dalam permasalahan yang kamu buat-buat. Jangan egois, Mawar. Diumurmu yang sekarang, kamu sudah cukup dewasa untuk membedakan mana yang baik dan mana yang tidak. Mana yang perlu kamu lakukan dan mana yang perlu kamu hindari. Jangan pernah merepotkan orang rumah hanya untuk memenuhi keinginanmu. Aku sudah briefing Mang Dayat agar mengantar jemput kamu ke kampus. Dan kamu juga tidak boleh kemana-mana kecuali mendapat izin dari dia.
“Bang Raka, apaan coba” Gerutuku tiba-tiba. “Katanya dewasa, tapi tetep diantar jemput. Jadi, anak kecil atau dewasa nih?”
Kalau waktunya subuh, bangun. Kalau waktunya makan, makan. Dan kalau sudah malam, tidur. Jangan jadi burung hantu, karena di rumah selama tidak ada aku, tidak akan ada pawangnya. Jangan jadi orang aneh untuk beberapa hari saja rasanya tidak akan membuatku pingsan, bukan?
Kepalaku geleng-geleng sembari tertawa pendek melanjutkan membaca. Caranya mendidikku memang tergolong keras, tapi terkadang juga lucu. Membayangkan bagaimana ekspresinya saat menasihatiku, hanya untuk membuatku sakit perut.
Kamu harus ingat Mawar, dunia luar kadang bisa menjadi lebih adiktif dari sekadar obat penenang. Dan sampai kapanpun aku tidak pernah mau ambil resiko untuk bagian yang satu itu. Mungkin kamu tidak mengerti. Tapi aku yakin, kamu masih ingat dengan syarat kelulusanmu sebagai tiket untuk menjalin hubungan bersama seorang pria. Jadi, jangan coba-coba bermain di belakangku dengan alasan apapun.
Aku pernah bilangkan sama kamu kan? Arah mata angin tidak bisa diatur, tapi arah layar bisa. Dan aku hanya mampu memberi arah terbaik sementara kamu yangharus berlayar sendiri. Satu pesanku yang tidak boleh kamu abaikan. Jangan pernah terjebak dalam satu zona yang membuatmu berhenti di tempat. Menemukan satu alasan untuk membuatmu bahagia bukan berati kamu harus meninggalkan alasan lain untuk membuatmu menjadi lebih dewasa.
Raka.
Aku menyandarkan diri dibalik pintu kamar, perlahan otakku berputar. Kupeluk erat kertas yang ada dalam genggaman bersama perasaan mendalam. Apapun yang dia lakukan, aku tidak pernah mengelak untuk terus mengatakan : aku menyayangi makhluk ciptaanmu yang satu ini tuhan.
_*_