Senin, selasa, rabu. Hari-hariku berjalan seperti yang biasa. Sebagaimana mestinya dan seberapa wajarnya. Bertemu Andrew sesekali dalam satu pekan di universitas atau seperti yang terdahulu, membuat janji temu dan aku yang selalu datang lebih awal. Aku dijemput Gilang untuk makan siang di kafe atau aku yang diam-diam menyusup masuk kedalam mobilnya jika ada kesempatan untuk kabur dari pengawasan Mang Dayat. Ya, walaupun aku harus izin terlebih dahulu pada Bang Raka dan memelas beberapa kali melalui video call setelahnya, tapi syukurnya dia mengizinkan. Alasanya aku juga kurang tau. Entah ibunya dan ayahku bersahabat, entah Gilang memang terlihat orang yang sangat baik di mata Bang Raka, aku tak pernah bertanya. Gilang jadi satu-satunya pria yang bisa mengajakku jalan dan dipercaya saudaraku yang galak itu.
Kesehatanku baik, keuanganku juga lebih baik dengan adanya uang tambahan dari Bang Raka sebagai sogokan untuk aku ikhlas ditinggalnya ke luar negeri. Perawatan wajah, atau sekadar hangout bersama sahabat lalu mengunjungi salon juga aku lakukan. Hanya saja aku seperti menemukan hal yang berbeda dari sekadar perasaan bahagia memiliki segalanya. Aku merenung diri sendiri.
"Malam ini, jadikan?" Tanya Gia sesudah dosen hari ini keluar. "Lo ikut kan, Ma?"
Aku mengangkat kepala dari handphone, memandangi dua sahabatku yang entah sudah sejak kapan memerhatikanku seorang diri. "Jadi, dong" jawabku dengan nada senang. Aku menelungkupkan handphone, fokus bicara pada mereka. “Kafe tempat biasa atau mau di tempat lain?”
Malam ini kami berencana untuk pergi makan di luar dengan alasan sudah bosen mengitari mall di siang hari. Alih-alih soal hura-hura, aku malah terpikir dengan surat Bang Raka tempo lalu. Hatiku bimbang tak bersuara.
"Jangan kafe deh kali ini, kita ambil resto klasik aja gimana? Sekalian kita bawa pasangan" Tanya Gia memberi penawaran. “Kayaknya bakal seru deh”
"Huh?" Reaksi Ana dengan hebatnya.
"Ya maksud gue, kita nggak ngumpul cuma bertiga." Gia mulai berpropaganda. "Gue ajakin pacar gue, Mawar ajak Andrew, dan Lo ajakin siapa aja deh. Terserah. Yang penting lo jangan dateng sendiri. Ajakin bokap lo, sepupu lo, atau siap aja deh yang jenis kelaminya cowok"
"Ngaco!” seru Ana merajuk. Dia tiba-tiab merebahkan kepala di atas meja sebelum memelankan suaranya merutuk diri sendiri. “Hangout macam apa ini kalau begini ceritanya? tau gini gua mending ikut nyokap kerumah sodaranya. Biarin deh gitu gua jadi anak mami”
Mendengar itu, aku dan Gia kompak tertawa.
"Ya udah gini deh. Ma, Lo pulang bareng Gilang kan hari ini?" Gia menanyaiku dan kubalas dengan anggukan singkat. "Lo paksa atau gimana deh, biar Gilang mau ikut jalan bareng sama kita malam ini. Jadi kalau nanti kita sibuk sama cowok masing-masing, Lo gak sendirian An" jelas Gia menoleh pada Ana.
Gia kembali menatapku, memastikan. "Gue coba, tapi gue nggak janji Gilang bakal mau ya" ujarku.
"Aduh....Mawar. Masa Lo gak kasian sama si jomblo manis kita?" Dan sekarang Gia mulai mendramatisir suaranya.
Aku tersenyum lagi lalu memperhatikan wajah Ana. Anak itu memutar bola matanya, kesal. Sedangkan Gia, cewek satu itu tertawa hampir terbahak saking kasiannya pada wajah Ana. Beruntunglah anak itu terlalu baik, tak pernah sekalipun menganggap semua ucapan Gia yang tergolong ngeri juga.
"Ya dah, terserah kalian deh" Dengus Ana, bangkit dari kursi. Menyeret tas dan pergi sekenanya. Tanpa mempedulikan kami, dia berjalan sendiran.
"Lo marah, An?" Gopoh Gia masih duduk "Gua cuma becanda kali. Kalo lo nggak mau, kita juga nggak akan protes kita kalau jalan cuma bertiga." Suara Gia terdengar nyaring.
"Sip. Ajakin aja, gue nggak papa" balasan teriakan dari Ana “Santuy, udah biasa dibully”
Gia kembali tertawa saat kembali menatapku. Aku menghembuskan nafas berat, membalas eskpersinya. "Lo ada-ada aja" komentarku
"Ya gimana, habis seru" sahutnya masih jenaka “Sayang banget gua sama tuh anak. Jadi apa hidup gua tanpa tertawa melihat wajahnya”
"Kualat, baru tau rasa Lo"
"Apaan tuh?"
"Lo putus saa Herman atau Ana dapat pacar lebih kece dari punya lo"
"Ana aja lah yang punya pacar. Jangan gue yang harua putus" Sahut Gia tak gentar memandangku, membuatku menggelengkan kepala berkali-kali.
"Gue ke fakultas tetangga, Lo mau langsung balik?" tanyaku segera bangkit
Gia ikut berdiri, sementara kepalanya menggangguk memberi tau. "Lo hati-hati." ujarnya.