MAWAR

siti rahmah
Chapter #10

Sepuluh

Malamnya, aku tak berias banyak. Aku mengenakan tunic simpel berwarna putih yang panjangnya di bawah lutut beserta sepatu plat lebih gelap. Rambutku sengaja kubiarkan jatuh di bahu sebelah kanan dan aku menambahkan jepit rambut di sisi kirinya. Bagian wajah sendiri, aku hanya menambahkan lipgloss dan sedikit blush on.

Gilang : Gua udah sampe di depan.

Setelah mendapat pesan sikat itu, aku segera meraih tas kecil di atas kasur dan memasukkan handphone kedalamnya. Berhubung aku belum pernah tak diberi izin keluar jika bersama Gilang, aku merasa biasa-biasa saja. Bel rumah berbunyi waktu aku menuruti tangga. Aku fokus menatap dua kakiku yang lincah, sementara handphone di tanganku bergetar.

Mr. Galak is calling….

"Kamu mau kemana, Mawar?" begitu kiranya suara Bang Raka melalui telepon

Aku lebih dulu menghampiri pintu sebelum menjawab. "Jalan bareng temen-temen, sama Gilang juga boleh ya?" kataku sembari menarik daun pintu itu masuk kedalam.

Ketika pintu terbuka, aku diam memandangi sang tamu. Untuk pertama kalinya aku melihat Gilang mengenakan jas di depan mata, warnanya biru gelap selaras dengan kaos putih yang dia kenakan. Harus aku akui, Gilang memang berbeda malam ini, apalagi untuk kacamata bergangang tipis yang baru sekali ini dia dikenakan.

“Siapa?” tanya Gilang, membuatku segera berkedip. Aku mengikuti arah pandangnya yang menunjuk handphoneku setelah kebingungan sendiri.

"Mau kemana kalian?" suara Bang Raka kembali ku dengar.

"Makan malam di Le Quartier. Bolehkan?" Jawabku. Aku mempersilakan Gilang masuk, membukakan pintunya sedikit lebih lebar.

"Pulang jam berapa?"

"Paling jam 10 udah nyampe rumah"

"Yakin?"

“Iya, yakin. Bareng Ana sama Gia juga, kok” Aku menjawab pasti. Sambil mendengar Bang Raka bicara, martaku tak teralihkan dari Gilang yang sudah duduk di sofa. Pria itu menjatuhkan fokus pada handphonenya.

"Aku izinkan dengan syarat kamu pakai celana panjangmu seperti biasa" ujar Bang Raka.

Aku langsung menunduk, memperhatikan pakaianku malam ini. Bukankah ini sudah lebih dari menutup. Kenapa aku harus mengenakan celana lagi sedangkan kainnya cukup menutupi sampai kulit keringku? Gilang tiba-tiba memndangku, mata kami bertemu beberapa saat.  

"Nggak jadi berangkat?" Tegur Bang Raka kembali melalui telepon. Gilang mengedikkan bahunya, sedang aku masih bergeming. "Entar ditungguin loh" lanjut Bang Raka di telingaku.

"Ya udah iya diganti. Lang, lo tunggu di sini dulu bentar ya" Aku sengaja mengucapkannya dengan nada lebih keras.

"Ingat ya, aku cuma minta kamu pakai celana panjang. Tunicnya jangan diganti” ujar Bang Raka membuatku menghela nafas. "Pegang janjimu atau kamu nggak akan keluar malam lagi"

Setelah mendengar Gilang tergelak, aku kembali menaiki tangga. Kupilih legging kaos berwarna hitam polos dari dalam lemari. Menatap pantulan bayanganku di depan cermin membuatku malah sedikit kacau.

Tapi aku yakin, kamu masih ingat dengan syarat kelulusanmu sebagai tiket untuk menjalin hubungan bersama seorang pria. Jadi, jangan coba-coba bermain di belakangku dengan alasan apapun.

Apa perlu kubatalkan saja acara malam ini? Aku semakin memandangi pantulanku di cermin. Nggak! Itu nggak mungkin. Lagipula, Bang Raka tadi juga sudah jelas mengizinkan. Aku nggak mungkin membatalkannya.

Gilang

Bagaimana mungkin aku sekacau ini hanya karena melibatkannya dalam setiap urusanku dengan Andrew?

Debar dalam hatiku terlalu berlebihan. Kalau ada yang perlu aku pikirkan, tentulah itu perihal paket bunga atas nama Andrew tempo lalu. Ah, aku memang sedang semakin dihimpit dengan peraturan rumah yang kolot sekarang. Tidak memperbolehkan seorang gadis keluar malam, tidak atau bersama temannya. Tidak!. Rasanya aku ingin menyambak rambut sendiri.

Aku keluar kamar bersama helaan nafas. Pria itu mengangkat kepalanya saat mendengar heelsku mengetuk lantai. “Yuk, berangkat” pintaku

Gilang bangkit dan berjalan di depan.

“Mawar…”

Gilang mendadak berhenti ketika kami sudah berada di luar pagar. Dia hanya berdiri di sisi pintu mobilnya dengan pandangan terarah padaku. Aku yang sudah membuka pintunya sebelah kiri memperhatikan pria itu masih bergeming di depan sana. Wajahnya antara bingung dan cemas. Aku tak tau yang mana lebih mendominasi.

"Ada apa?" Aku tanya.

Lihat selengkapnya