MAWAR

siti rahmah
Chapter #11

Sebelas

Aku tak menceritakan apapun dan hanya diam pada Gia selama kami berada di dalam mobil. Meskipun begitu Gia tetap menyarankan membicarakan masalah ini baik-baik pada Andrew lebih dahulu, sebelum benar ingin mengakhirinya. Mengakhiri? Ya, mungkin aku harus mengikuti saran Gilang. Merasa bersalah juga karena telah menghiraukan nasehatnya selama aku berhubungan dengan pria itu. 

Aku menutup kembali pintu mobil Gilang. Tak jauh dari tempatku berdiri, mobil pacar Gia berhenti. Sudah bisa di tebak, kalau Gilang sengaja membujuk Gia untuk mengambil alih mobilnya untuk mengantarkanku pulang. Tujuannya adalah demi kebaikanku. Aku seorang. Mengalah agar tak berdebat dengan wanita keras kepala seperti diriku.

Gia tersenyum dan melambaikan tangan, aku melihatnya dari pintu mobil yang terbuka. Dua mobil lewat di hadapanku bergantian. Dan Gilang sama sekali tak menoleh padaku, apalagi berpamitan. Menurunkan kacanya saja seolah mustahil. Wajahnya lurus ke depan, dingin dan sama sekali bukan sifat Gilang---sahabatku. 

Pandangku belum lagi berpindah dari mobil yang perlahan menghilang di depan sana. Sejenak ingatanku berputar kembali kebelakang. Yang nampak di depan mataku bukan lagi sebuah mobil saja, tapi ditambah sosok Andrew. Ceritanya adalah kenangan bagiku, dan mengingatnya membuatku bimbang.

Setiap kali aku pulang dari kampus, Andrew mengantarkan. Begitu mobilku berhenti, belum lagi masuk ke dalam halaman rumah, pandanganku selalu ingin menetap pada kaca spion samping kanan. Beberapa saat sebelum sebuah mobil yang dijalankan pelan menyelip. Aku mendapatkan lambaian tangan dari sang pengemudi jika kami sedang berpapasan. Senyum juga tatapannya yang memberiku kebahagiaan.

Dua bulan aku menerima perlakuan itu. Andrew Pranata Putra tetap menjadi pengawal dan padanya aku selalu ingin tersenyum. Tak ada detik yang kulewatkan kecuali menunggu mobilnya menghilang di ujung komplek. Saat itulah aku baru membanting stir untuk masuk melewati pagar rumah.

Aku akan tetap terlena, dibuatnya tersenyum berkali-kali. Waktu itu sudah pukul sebelas, kejadian yang paling ku ingat. Aku keluar dari lab sambil menenteng beberapa buku tebal di tangan dan baru bisa menuju taman dua puluh menit setelahnya. Semua gara-gara Jefri, mahasiswa usil yang membuatku harus berurusan mencari ruangan dosen di fakultas farmasi. Dia mendadak hilang di tempat saat pak Lukman mengeluarkan perintahnya untuk mengantarkan berkas-berkas yang bahkan nama dosennya saja baru kudengar.

“Baru selesai dari lab?” Sambut Andrew ketika melihatku berjalan ke arahnya.

Aku tersenyum sungkan. Apalagi setelah melirik arloji dan menyadari berapa lama aku membiarkannya sendiri. “I am sorry” kataku tulus.

“It’s okey” balasnya sembari menyentuh lantai kursi putih yang kosong di sebelahnya. Pertanda bahwa Andrew memintaku segera duduk untuk mengobrol. Aku melakukan itu tanpa merasa canggung.

Aku mulai dari melepaskan jas lab yang wajar saja membuat si pemakai kepanasan. Melepas ikat rambut dan membiarkannya kembali tergerai indah melewati bahu. Sementara Andrew, dia hanya bergeming menopang wajahnya dengan siku, memperhatikanku sampai benar-benar siap untuk diajak bicara.

“Tadi pagi kamu buru-buru banget, ya?” Aku beralih menatapnya heran. “Sampai nggak sempat ngaca lama-lama, kan?”

Sejenak aku membelalakkan mata lalu sepenuhnya menghiarukan ketika tanganku mencari-cari keberadaan handphone, benda elektronik yang selalu jadi nyawa banyak orang. Tak lama, aku kembali menatapnya dengan tanda tanya. Dia menyunggingkan seulas senyum. 

Air mukaku berubah khawatir saat Andrew tak kunjung bergerak. Matanya hampir tak berkedip apalagi teralihkan dari wajahku. Aku refleks memegang kedua pipi dan bertanya. “Aku jelek ya kalau gak pakai make up?”

“Atau mukaku pucat karena nggak pakai eyeliner?” Andrew semakin melebarkan senyumnya. “Jangan bilang lipstick aku yang celemotan”

Andrew tertawa. Dia mengubah posisi duduk jadi menghadap kedepan, melihat beberapa mahasiswa yang berlalu lalang di hadapan kami. Aku semakin pucat saat mereka yang lewat juga menyunggingkan senyuman aneh. Bukankah memalukan kalau apa yang baru saja aku katakan adalah apa yang sebenarnya terjadi.

Aku mengambil bedak dan langsung membukanya. Dari kaca bulat yang ada di sana, aku bisa melihat wajahku. Aku mengerling, melihat bagian kanan dan kiri wajahku. “Kamu itu terlalu cantik untuk dipandang, makanya aku nggak pernah bisa sebentar untuk melakukan itu” lirih Andrew tiba-tiba.

Aku mengulum senyum untuk itu. Terlebih saat Andrew memperlihatkan sebuah kotak biru gelap dengan pita putih yang tersemat disana. Aku semakin meleleh rasanya saat Andrew mengambil sejumput rambutku dan menyampirkannya ke atas daun telinga. Dia memberiku senyum manis yang kupikir hanya aku yang bisa mendapatkannya. Dia memang tampan dan semua orang mengakui itu.

“Novel baru…” kataku tersenyum bahagia menerimanya. Dengan semangat aku menarik ujung pitannya. Aku tertegun sejenak melihat isinya sebelum memandangnya yang masih dengan lengkungan sabit itu.

“Aku pingin kamu temenin aku ketemu papa habis ujian nanti” jelasnya saat aku mengangkat dua lembar tiket pesawat ke udara. Tujuannya sih, Amerika. Aku tau, dua orangtuanya sudah bercerai sejak usianya SD. Tapi, aku tak tau kalau ayahnya tinggal di luar negeri.

Lihat selengkapnya