Terdengar oleh telingaku sayup-sayup suara familiar di sekeliling. Kepalaku pusing, begitu berat untuk sekadar membuka mata meski dalam keadaan berbaring. Dan hidungku mencium aroma medis, aroma yang seharusnya sudah biasa aku nikmati menjadi lebih buruk dari mencium bau parfrum levender yang tak kusukai.
Aku memegangi bagian kepala, pelan-pelan mulai merenggangkan penglihatan. Yang tampak adalah tiga orang sedang bercakap-cakap. Tak benar jelas, tapi aku yakin itu adalah Gilang, Bang Raka, dan mungkin dokter yang menangani ku saat pertama kali masuk ruangan ini. Kemudian mulutku meringis, menahan rasa sakit saat aku ingin membangunkan tubuh.
"Jangan dulu. Lo harus tetap berbaring, keadaan lo masih belum stabil" Bahasa dokter yang Gilang gunakan.
Aku mengerjap-ngerjap, sedikit menggeleng-gelengkan kepala berharap kepalaku mampu bersahabat. Bang Raka yang kini didekatku memasukkan dua tangannya kedalam saku celana, wajahnya yang tampak cemas bercampur amarah. Namun yang lebih terlihat adalah amarahnya. Pria itu berusaha bersikap adil dengan kondisiku sekarang.
"Apa yang kamu cari, Mawar? Kenapa kamu pergi tanpa berpamitan? Darimana kamu barusan?" Serentetan pertanyaan seharusnya sudah meluncur mulus dari bibir Abangku. Tapi yang kutangkap hanya tiga saat ini. Aku juga tak mempedulikan kapan dia sampai mendarat di Indonesia.
Suaraku gemetar, pertanyaan malah yang aku lontarkan."Korban yang aku tabrak, gimana Bang?"
Bang Raka menghela nafas. Meski belum dijawab, dia tetap menjelaskan hal yang aku tanyakan. "Belum sadarkan diri. Sedikit luka kepala, dan luka hebat dibagian kakinya"
Mendengar penuturannya, aku seakan ingin menghempaskan bagian kepalaku ke atas ranjang merasa sangat bersalah. Apa yang sudah aku lakukan? Bagaimana nanti kalau kakinya sampai lumpuh? Belum lagi jika aku harus berurusan melewati jalur hukum. Habislah aku. Mobil menambrak pengguna sepeda, itu kasus yang sangat berat.
"Kamu istirahat. Aku mau selesaikan perkara ini sebentar" tegas Bang datar.
Detik itu juga aku tarik tangan Abangku. Mengenggamnya dan memohon seperti anak kecil. "Mawar minta maaf. Mawar nggak sengaja" kataku penuh ketulusan dan pengharapan iba.
"I don't like your behavior today"
Bersamaan dengan diamku, Bang Raka pergi. Jika ditanya apa aku pernah dibentak secara kasar oleh saudaraku itu, aku akan menjawab tidak. Tapi, jika ditanya kapan aku merasa di bentak, sekaranglah waktunya. Suara ketusnya lebih dari sebatas teriakan orang marah lagi kasar. Aku akui, aku memang sudah keterlaluan.
"Nggak usah dipikirkan. Bang Raka cuma khawatir sama lo"
Aku mendengar suara lembut Gilang, lebih lembut dari apa yang penah aku dengar selama ini. Aku hampir lupa dia yang tak menghiraukan aku semalam. "Minum dulu, yuk" Gilang menambahkan.
Aku menggeleng. Kepalaku memiring kesebelas kiri, sisi mana yang arahnya bertolak belakang dengan Gilang berdiri. "Sedikit aja" pintanya sekali lagi.
"Aku takut" ucapku dengan air mata.
Gilang menempatkan kembali gelasnya ke atas nakas hingga terdengar olehku. Dia berjalan kesamping kiri demi menatap wajahku. Tubuhnya menjongkok, menyamakan ketinggian. Aku melihat senyum di bibirnya.Telunjuk pria itu mengusap lembut air mataku, matanya terfokus kesana.
"Semua akan baik-baik saja, Mawar. Pria itu akan sehat kembali dan tak ada yang lo perlu ditakutin."
Mendadak, aku menyeka air mata dengan cepatnya. Aku paksa tubuhku untuk bangkit tanpa memperlihatkan derita kepalaku. Gilang memegangi lenganku dan menahanku untuk tetap diam. "Gue mau keruangan dia sekarang" tegasku.
"Ini belum waktunya, Mawar. Lo lupa Bang Raka bilang apa?" Suaranya yang tak kupedulikan. Entah untuk keberapa kalinya.
"Mawar, please. Gue mohon kali ini lo dengerin gue."
Aku mengibaskan tangannya. Merampas kasar alat infus untuk memisahkannya dari tanganku yang mungkin belum lama ini dipasang. Membiarkan darah keluar dari kulitku dan kini aku juga mendorong tubuh Gilang. Beruntungnya, aku bisa terlepas sebelum Gilang menangkapku lagi.
"Mawar!"
Aku bergegas keluar dari ruangan tanpa bantuan rangkulan siapapun. Mengikuti feeling ku, aku mengambil arah kiri. Melintasi ruangan rawat lain, yang setiap bagian kacanya aku perhatikan. Satu, dua, tiga, ruangan terlewati.
"Mawar, please" tangan Gilang menarik tanganku membuatku berhenti.