Aku terpaku pada buku yang ada di tanganku. Sekali lagi, aku menutup cover depannya dengan telapak tangan, ragu untuk membacanya hari ini juga. Tatapanku beralih pada beberapa orang yang sibuk membaca, membuka laptop, atau hanya sekadar mencari buku di ruangan besar ini. Aku lalu memandangi handphoneku nanar. Entah untuk apa pandangan itu, kepada siapa namanya aku harapkan muncul di layar.
"Astaga, Mawar. Gua sampai nelpon Bang Raka cuma buat mastiin lo masuk atau nggak hari ini dan ternyata lo ada di sini. Dua jam penuh tanpa kemana-mana?" Cerocos mulut Gia terpendar sekarang. Aku menatapnya lugu, tak bersemangat pula.
Wajah Gia langsung berubah, sikap overprotekifnya sudah sirna dalam kedipan ketiga. Dia menarik kursi dan duduk di sampingku. Berganti memandangku iba dan dari genggaman tangannya seakan menjadi perintah agar mulutku bercerita.
Aku bungkam dan kubiarkan genggaman itu pada tanganku. Beberapa saat sebelum telingaku mendengar suara lembutnya untukku. "Gua minta maaf. Waktu dapat kabar lo kecelakaan, sorenya gua padahal udah kerumah, tapi Bang Raka nggak ngizinin gua buat masuk ke kamar lo" Aku melihat wajah sahabatku, Gia. "Gua minta maaf nggak ada di sisi lo waktu itu" katanya lebih lirih.
Aku tersenyum simpul padanya sebentar. Lalu melepaskan tanganku dari genggaman. Satu-satunya kulakukan adalah diam, melamun. Mengingat-ingat kembali peristiwa hari itu dan wanita itu. Orang yang telah menghantuiku hingga menabrak orang lain.
"Mawar?" Tegus Gia membuatku terpaksa menengok. "Lo pingin taubat? Enggak, maksudnya, lo pengen pakai kerudung, nggak pacaran atau apalah itu?" Dia mengangkat buku yang sempat kuindahakan tadi.
"Lo udah pernah baca?"
"Yuk hijrah. Ustad Felix Siauw." Dia membaca cover depannya, bagian daftar isi setelah itu. "Gue belum pernah baca sih, tapi gua pernah denger temen-temen syar'i kita waktu mereka lagi cerita. Isinya tentang kewajiban nutup aurat kan? Mereka bilang gitu sih" Gia mengangkat kepalanya begitu selesai menjelaskan.
Teman-teman syar'i disini adalah mahasiswa kedokteran sekelas kami yang menggunakan hijab panjang. Sering menyebarkan informasi kajian, juga kegiatan amal Sholeh lainnya. Dan kami berdua sama tak maunya mengikuti kegiatan itu. Dalam hatiku sebenarnya sudah lama bertanya-tanya. Kapan aku bisa menjadi seorang muslimah seperti mereka. Otakku berpikir, hatiku menyanggah. Selalu seperti itu bila melihat orang-orang mengenakan hijab.
"Jadi, gimana keadaan korban yang lo tabrak?"
"Kamu itu cuma anak muda yang tau caranya menghambur-hamburkan uang orang tua. Kamu bahkan tak tau bagaimana jerih payah orangtuamu bekerja, hingga menggunakan barang mewah seenaknya!"
Seketika suara itu meleset masuk kedalam pendengaranku. Berulang-ulang bagai tape recorder yang dinyalakan berkali-kali. Menggema dalam tubuhku dan Gia yang menekan tombol playnya sekarang.
"Gua nggak tau. Ibunya nggak pernah ngizinin gue buat jenguk." Sahutku kemudian.
"Lo udah tanya sama dokter?"
Aku mengangguk.
"Terus apa kata dokter?"
Tidak ada tanggapan yang keluar dari mulutku. Yang kulakukan ialah membuat tubuh ini merosot di atas kursi dan menutup mata, berpikir dalam-dalam. Adakah yang bisa aku lakukan selain berdiam diri? Aku kebingungan.
"Lo mau ketemu dia?" celutuk Gia membuka mataku.
"Gimana caranya, Gi?"
Gia mengulurkan tangannya, dengan ekspresi yang sama sekali tidak bisa aku gambarkan. "Udah ikut aja, yuk"
Setelah berkutat dengan rasa bimbang, aku menyambutnya. Kami berjalan bersama keluar dari perpustakaan untuk menuju kawasan parkir. Sepanjang perjalanan sebelum itu aku terus merucau, mengeluarkan segala hal yang ada dalam pikiranku tentang pria itu.
"Gua takut" ujarku pada intinya.
Tapi jawaban yang kuterima hanya berupa senyuman. Garis lengkung yang menggodaku untuk yakin dan mempercayakan semua padanya. Gia. Dia satu-satunya wanita yang membuatku kadang berpikir betapa simpelnya sebuah permasalahan jika mau berusaha.