MAWAR

siti rahmah
Chapter #14

Empatbelas

Bang Raka dan Gilang tak tau aku telah bertemu dengan Fathi kemarin. Di rumah, Abangku sebatas mengajakku bicara soal progress kuliah yang sebentar lagi akan menghadapi ujian semester. Dia juga tak membahas apa aku sudah membaca buku darinya atau belum. Justru karena itu aku jadi semakin merasa kalau aku memang harus membacanya sebelum Abangku bertanya satu waktu nanti. Anehnya rasanya hatiku berkecamuk, pikiranku buncah berbaur dengan rasa menyesal teramat dalam yang tak beralasan.

Pukul tujuh lebih lima menit aku keluar kamar, berniat menghampiri meja makan dan menemukan dua orang di sana. Ada Bang Raka yang duduk di kursi utama melahap nasi goreng serta Gilang yang entah kapan dia datang memencet bel, aku sama sekali tak mendengarnya. Pria itu tengah menikmati sarapan langsung terusik oleh kehadiranku yang berdiri di atas tangga.

"Sarapan dulu" suara Bang Raka mengalahkan suara dentingan sendok dan Garpu serta keheningan di meja makan. Dia tak memandangku saat bicara.

Aku mendekati mereka.

"Kamu hari ini berangkat sama Gilang?" tanya Bang Raka to the point.

Aku mengernyit, lantas menatap sahabatku itu dengan kebingungan. Aku tak merasa telah mengirimkan pesan untuk meminta dijemput. Masalahnya Bang Raka paling susah dibujuk masalah jalan dengan seorang pria sekalipun sudah seperti keluarga sendiri. Bang Raka jarang mau mengizinkan kecuali sesekali atau dalam keadaan kepepet saja.

Ketika aku ingin menggeleng, Gilang cepat memberiku kode. Isyarat agar aku mengangguk atau aku diam saja. Dari wajahnya, aku mengerti kalau anak itu memiliki sesuatu yang penting yang harus aku ketahui. Aku menarik kursi untuk duduk, tepat di depan Gilang.

Aku menoleh, memandang Bang Raka yang sudah lebih dulu melempariku tatapan intensnya. "Mungkin. Kalau Abang tak keberatan Mang Dayat istirahat mengantarku hari ini" ujarku.

Bang Raka menghela nafas samar. Dari sorot matanya aku yakin Bang Raka tak sepenuhnya ikhlas mengizinkan. Aku memindahkan nasi keatas piring sedikit sekali. Menyuapnya sembari sesekali menyorotkan mata pada Bang Raka juga Gilang, bergantian. Kami makan dalam keheningan. Gilang tak lanjut membahas.

Satu hal lagi, Bang Raka telah bercerita pada papa hingga aku mendapat teguran keras melalui telepon malam tadi. Apapun itu namanya, setelah ini aku harus bersikap seperti seorang adik yang penurut. Apa yang dikatakan Bang Raka adalah apa yang dikatakan Papa. Kalimat yang tiba-tiba saja membelengguku sekarang. Lusa mungkin beliau juga akan kesini menemuiku, satu hal yang mungkin selalu ingin kuhindari dalam hidupku.

Selesainya Abangku sarapan, dia memandangku sekilas lalu pergi begitu saja. Meninggalkan kami tersisa berdua di meja makan tanpa sepatah katapun. Pria itu masuk kembali kedalam kamarnya untuk mengambil sesuatu sebelum tenggelam di balik pintu utama. 

"Ada apa?" Tanyaku pada Gilang.

"Kita jalan sekarang. Bakal gua kasih tau kalau kita udah dalam perjalanan"

Jujur aku ragu-ragu. Ditambah niatku pagi ini sebelum berangkat ke kampus aku akan mampir ke rumah sakit untuk menjenguk Fathi. Memastikan dia baik-baik saja dan ingin menjelaskan semuanya agar dia mengerti. Berharap dia mau memaafkan kecerobohanku yang jelas akan menghantui hari-hariku.

“Gua ambil tas sama handphone dulu di kamar”

Setelah diam memikirkan, permintaan Gilang terpaksa aku penuhi. Aku ikut dengannya ke kampus hari ini. Kami menyusuri jalan yang berbeda dari arah menuju kampus, bukan jalan yang menuju rumah sakit pula. Selama beberapa menit aku duduk berdiam diri. Memandangi jalanan di sisi kiriku yang memperlihakan banyak orang beraktifitas di pagi hari.

"Lo sudah putusin, Andrew?" Tanya Gilang saat mobil yang dikemudikannya berbelok.

Repson yang kuberikan hanyalah helaan nafas. Sudah ku duga, dia akan membahas ini. "Gua belum ketemu dia"

"Itu artinya lo belum putusin dia?"

Aku tak mengangguk tak juga menggeleng. Tunggu dulu, jangan berpikiran kalau aku akan mau dibodohi untuk kesekian kalinya. Sebenarnya kata putus telah kukirimkan melalui chat malam tadi setelah puluhan kali dia mencoba menghubungi. Dan anehnya setelah itu belum ada balasan dari Andrew hingga sekarang.

"Lalu apa yang lo pingin perlihatkan ke gua hari ini" ujarku menganti topik pembahasan.

"Cukup membuat lo semakin muak dengan apa namanya Andrew"

Dia menoleh kearahku. Aku belum dapat menebak apa yang dia ingin lakukan. Gilang membawaku ke sebuah tempat hiburan malam di jalan yang sama yang belum sempat kami lewati lusa kemarin. Mobilnya berhenti tak jauh dari gedung menjijikan itu. Aku memperhatikan tempat itu lebih jelas dari sini.

Dalam hati, aku sudah menduga kalau Andrew akan keluar dari sana. Sebaliknya, Gilang pasti tak tau aku sudah sampai berpikiran kesana. Ya, awalnya aku tak ingin mengira senekad itu. Sayangnya, pria itu sendiri yang telah menarik pikiranku untuk tak berpikiran baik. Benar sekali, keluarlah Andrew dari sana setelah sekitar dua puluh menit mobil Gilang berhenti.   

Lihat selengkapnya