Ekspektasi memang tak semulus jalan tol. Hari itu aku gagal masuk kedalam ruangan Fathi. Dengan cara sembunyi-bunyi apalagi secara langsung. Aku mendapat telepon dari Bang Raka setelah menunggu 10 jam lebih ibu itu sama sekali tak keluar ruangan. Terpaksa aku harus pulang karena para pegawai rumah sakit terlihat sudah berganti shift juga karena Gilang sudah seperti anak kecil yang merenggang. Mengeluh minta pulang dan belum lagi makan siang. Aku menuruti tanpa menggelak.
Sementara hari ini aku harusnya bisa menemui fathi andai Bang Raka tak mengantarku ke kampus dan memberhentikan mobilnya tepat di depan gedung fakultas. Pikirku, malam adalah waktu terbaik untuk menyusup masuk. Meskipun Bang Raka juga akan setiap hari mengontrol kondisi Fathi, aku tetap merasa butuh melihat kondisinya secara langsung. Biar bagaimanapun juga rasa bersalahku tetap akan mendera.
Dan malam ini, untuk pertama kalinya aku berada di dalam toilet lebih dari 30 menit. Lebih-lebih menunggu keajaiban kapan ibunya Fathi akan keluar. Waktu membuka handphone, Gilang menghubungiku beberapa kali. Ralat, puluhan kali. Chat, telepon, bahkan video call dia lakukan.
Bang Raka juga tak mau kalah, aku sampai dibilang tak akan diizinkan keluar lagi melalui pesan singkatnya yang kubaca melalui notifikasi. Aku mengangkat tangan, menatap arloji yang telah menunjukkan angka sebelas. Mau bagaimana lagi, sudah berada disini, biarlah urusan Bang Raka belakangan. Mungkin aku benar-benar sudah gila malam ini.
Aku banyak mendengar percakapan Fathi dengan ibunya selama berada ruangan ini. Tiga puluh menit cukup untukku mengenal Fathi itu adalah pria hebat, luarbiasa, dan mengangumkan. Aku tak pernah mengira, dia memiliki rasa sabar yang begitu kentara membuatku rasanya menjadi satu-satunya wanita jahat di dunia ini yang yang tak punya hati.
Satu kalimatnya yang mengiris perasaan : “Wanita itu tak salah, Fathi yang nyebrangnya gak liat-liat.”
Satu kalimatnya yang membuatku tersenyum getir : “Kalau memang Fathi harus menjalani fisioterapi dan itu sudah jalan terbaik menurut dokter, kenapa kita nggak coba?”
Satu lagi kalimatnya yang seakan jadi cembung untukku, membuatku benar-benar merasakan kelembutan sifatnya. : “Ini takdir tuhan, kita nggak boleh benci sama orang lain yang mungkin juga nggak pernah pingin ini terjadi sama Fathi. Apa yang terjadi hari ini adalah apa yang telah dia tentukan dan itu terbaik. Kita manusia hanyalah wayang di atas panggung kehidupan yang harus selalu menerima dengan lapang semua skenarionya, hanya sebatas memerankan. Jadi, tinggal cara kita bagaimana harus menghadapinya.”
Aku menyeka habis air mata yang sempat keluar. Menghela nafas, bermaksud menenangkan diri. Beberapa menit ini sudah tak ada lagi suara. Kalau dugaan ku benar, ibu itu telah keluar dari ruangan. Aku membuka pintu toilet, pelan-pelan.
Alhamdulilah. Kubatinkan syukur saat itu juga. Tak kutemui ibunya di ruangan ini, aku senang sekali. Saat aku sudah benar-benar keluar dari toilet Fathi terusik olehku sebentar. Ya, hanya mengangkat matanya melihatku beberapa detik lalu turun kembali kearah buku. Dia sedang asyik membaca.
"Sebaiknya kamu pulang sekarang. Nggak baik wanita malam-malam keluar rumah apalagi sampai jam segini" Terlingaku mendengar suaranya dan mataku melihatnya membalik lembaran selanjutnya.
Was-was, aku memandang pintu lalu kembali pada Fathi. Tadi, sebelum ibunya masuk sudah kubicarakan semuanya pada pria itu. Tentang rasa bersalahku dan keinginanku untuk merawatnya sampai sembuh total. Apapun akan kulakukan meski aku harus jadi kakinya. Mengurus skripsi dan menemaninya terapi, aku tak peduli dengan penolakan darinya.
"Gue...eh maksudnya aku bakal kesini lagi besok" kataku belum fasih menggunakan sapaan itu. Fathi hanya diam. "Sekali lagi aku minta maaf" tambahku tulus lalu berjalan kearah pintu. Sudah memegang bagian kenop, aku teringat sesuatu.
Aku berbalik badan menghadapnya sekali lagi. Terlewat. Fathi lebih dulu menurunkan wajahnya saat ku tatap barusan. Aku merasa sangat canggung jadinya. "Cepat sembuh. Jangan lupa makan yang teratur" kalimatku yang terakhir. Dia juga tak menjawab.
Tanganku dingin, padahal aku tak menyentuh air selama berada di toilet. Rasanya ingin sekali aku berlama-lama di dalam jika tak membenarkan perkataan pria itu. Aku tak tahu kenapa hati ini rasanya damai mendengar suaranya.
Aku sudah berada di luar ruangan dan menuju jalan keluar. Melintasi koridor ini malah membuatku terlena dengan kejadian tadi. Aku tersenyum. Memang hanya sebatas ketidaksengajaan saat aku berniat membenarkan perban kepala Fathi yang hampir terbuka, aku jadi bisa menatap lekat wajahnya. Terutama dua bola matanya yang hitam bersinar ke arahku. Tapi tidak sampai sepuluh detik sebelum Fathi sadar dan menangkis ku dengan tangannya yang tak terpasang infus. Mataku seperti kelelipan dibuatnya waktu itu.
"Maaf, maaf aku nggak sengaja" ujarnya "kamu ngapain pingin cium aku?"
Mataku terbelalak kaget seketika. Sakitnya langsung sembuh saja. Dengan tegasnya aku menjawab. "Siapa yang pengen cium Lo. Gua cuma mau benerin perban lo aja"
Awalnya aku ingin tertawa karena tingkah lakunya yang menggemaskan dan terlihat sangat syok. Namun, diamnya malah membuatku sedikit menyesal. Selain karena Fathi tak membalas kalimatku dia juga membenarkan perbannya sendiri. Sama sekali tak mau disentuh ketika aku ingin membantunya. Benar-benar pria yang aneh!
Eh tapi….
_*_