MAWAR

siti rahmah
Chapter #16

Enambelas

Dia memandangku bingung. Aku dipersilakan masuk dengan baik oleh ibunya saat mengetuk pintu ruangan rawat Fathi dan membawakan bingkisan buah. Tak pernah sekalipun aku melihat wanita ini menampilkan kedamaian barang sedikit selain hari ini. Di balik cadar, aku tersenyum sedang Fathi hanya memberiku tatapan tak percaya. Aku menunduk dan menuruti arahan ibunya untuk duduk di kursi. Fathi masih memandangku tanpa berkedip.

“Ibu tinggal sebentar. Mau Sholat zuhur. Kamu sudah sholat, Nak?” Ibunya bertanya padaku. 

“Sudah bu. Sebelum kesini saya sudah sholat”

Ibu Fathi beranjak setelah meminta izin meninggalkan. Jika tadi Fathi sibuk memandangku, sekarang aku yang sibuk memandangnya. Pria itu memainkan jarinya seolah tak ada lagi yang ingin dikerjakan. Di dekatku, dia jarang sekali bicara.

“Ibumu sholat dimana?”

“Paling majid samping sini”

“Tadi dokter kesini kan? Jadi, kapan kamu bisa mulai fisioterapinya” 

Ia diam, tangannya tak lagi bermain-main. Sebentar, dia menoleh karahku. Benar, kegiatanku saat ini memang sangat mengusik. Aku berusaha melepaskan cadar yang wajar saja membuat wajahku kepanasan. 

Fathi nampak tertegun, tak menduga. Matanya mengedip cepat dan sedang tak mengarah padaku. Aku ingin melepaskan kerudung juga sebelum dia berkata : “Jangan dilepas”

Aku mengurungkan niat, bergeming menatapnya dengan tanda tanya. “Aku tak sanggup menanggung dosamu” jelasnya.

“Kenapa harus kamu?” Aku bertanya. Sangat bingung dan sama sekali tak terbesit dalam otakku jawabannya. Jeda beberapa saat, sementara otakku tetap berusaha mencerna.

“Perempuan itu adalah aurat. Menutupnya adalah kewajibanmu. Andai kamu langgar, bukan hanya kamu ataupun orangtuamu yang menanggungnya” Ia berhenti sebentar, lalu melanjutkan dengan nada yang lain. “termasuk juga aku yang melihatmu tak menutupnya”

Aku menurunkan tanganku. “Jadi ini alasanmu selalu tak pernah memandangku?” tanyaku setengah melamun. 

“Tidak” Aku menatap wajahnya. “Aku hanya mengurangi timbangan dosa mu.” Aku mengerutkan alis, menunggunya melanjutkan tanpa di tanya. Sepertinya dia ingin menambahkan. “Adapun perempuan yang akan digantung rambutnya hingga mendidih otaknya dalam neraka adalah yang di dunia tidak menutup rambunya hingga dapat dilihat oleh yang bukan mahromnya. HR. Bukhari dan Muslim”

Aku diam seribu bahasa. 

“Wanita itu lebih indah dari mutiara yang dilindungi cangkak kerang, jika dia lebih pandai menjaga auratnya dengan balutan kain syar’i”

Aku membuka mulut hendak membahas, tapi kemudian mengurungkan niat tiba-tiba. Perkataan lembut Fathi meresap cepat kedalam hatiku. Dia bukan hanya sekadar mengagumkan hari ini.

“Mau bertaubat?”

Pertanyaan selanjutnya dari Fathi yang tak terduga olehku. Tindak tanduku ragu untuk memandangnya lagi---hal yang selalu kulakukan saat bertemu Fathi. Aku butuh waktu untuk menyesuaikan diri dalam keadaan bersalah. Kesalahan yang bekali-kali lipat. Malu yang juga tak hanya untuk hari ini. Aku mengarahkan pandang pada tangannya saja.

“Nanti aku pikirkan” kataku dengan suara lemah

“Kenapa hanya dipikirkan?” balasnya bertanya cepat.

Aku berdehem, ragu.

“Kamu bisa”

“Tapi---”

“Kalau begitu aku tak mau memaafkanmu” potongnya segera.

Sontak, aku mengangkat kepala. Fathi menatapku sepersekian detik lalu berpindah kelain lagi. “Kalau Tuhan saja belum memaafkanmu kecuali kamu telah bertaubat, bagaimana dengan aku manusia biasa?”

“Tapi aku sudah minta maaf. Aku juga berjanji akan merawatmu sampai sembuh total. Aku juga tak keberatan harus mendorong kursi roda mu kalau sedang ke kampus. Apapun itu akan kulakukan. Tolong, jangan buat aku bersalah seumur hidup” 

Aku menangkup dua tangan, memejamkan mata serta memohon padanya dengan sangat tulus. “Ya sudah berarti tak ada pilihan lain” 

Lihat selengkapnya