MAX. 25 TAHUN

Ara Segara
Chapter #1

Selamat

Jika biasanya orang-orang menganggap hari ulang tahun adalah hari penting yang harus dirayakan, tidak begitu dengan Ombo. Ia selalu berpikiran bahwa merayakan ulang tahun sama seperti mengumumkan kepada dunia bahwa ‘aku semakin tua, tapi belum punya pencapaian apa-apa. Tolong ucapkan selamat kepadaku.’

Di hari ulang tahunnya, Ombo memilih untuk memenuhi panggilan wawancara kerja. Ia merasa tidak harus berpura-pura, dan tidak perlu mengumumkan kepada dunia jika ia sudah mencapai usia tertentu dan orang lain belum tentu bisa karena mereka berumur pendek. Sungguh itu salah satu hal yang paling tidak berguna untuk dilakukan.

Ombo berjalan masuk ke salah satu perusahaan kosmetik di Jakarta Selatan, ia menghindari kontak mata dengan siapa pun yang bertemu dengannya selama perjalanan menuju ruangan HRD.

Saat namanya dipanggil untuk masuk ke ruangan, Ombo masih sempat merapikan rambut dan pakaiannya. Meski sudah melakukan puluhan wawancara kerja, ia tetap merasa gugup. Namun, kali ini ia harus berhasil karena wawancara kerja ini bisa jadi yang terakhir baginya.

“Selamat siang. Silakan duduk.”

Ombo menyeka keringat di dahinya begitu mendengar suara yang bertenaga, jantan dan berenergi menyapanya tanpa senyuman.

“Ombo, ya?”

Ombo mengangguk kecil.

“Selamat pagi, Ombo. Perkenalkan saya Kristo, HRD di PT Kanjeng Ratu Kreasi.”

“Selamat pagi, Pak. Saya Ombo.”

“Ya, saya tahu. Sambil saya cek CV kamu lagi, gimana tadi perjalanan ke sini? Kena macet? Atau, ada kendala buat nemuin kantornya?”

Déjà vu. Sepertinya Ombo sudah mendengar pola ini berulang kali.

Ombo tersenyum canggung, “Kebetulan kantornya dekat dengan tempat tinggal saya, jadi lancar-lancar aja, Pak.”

“Oke kalau begitu, sekarang kita ngobrol santai aja ya, Om…? Bo…? Sorry, kamu punya nama panggilan?”

“Ombo aja, tapi Om juga nggak masalah.”

“Oke, Ombo. Setelah saya lihat lagi CV kamu, saya baru sadar kalau ternyata usia kamu itu 26 tahun, ya?”

“Kebetulan hari ini resmi jadi 27 tahun, Pak,” Ombo menjawab seolah berusaha mencairkan suasana.

“Oh, tua yah?"

"Huh?"

"Happy birthday, ya.”

“Oh, terima kasih, Pak.”

Tampaknya tak butuh waktu lama, senyuman di wajah pria itu menghilang tak bersisa. Ekspresi pria itu seperti menunjukkan rasa bersalah sekaligus iba. Ombo yang tidak berhenti menatap pria itu pun bisa menebak ke mana arah pembicaraan ini.

“Ombo Manggala, lulusan cumlaude dari universitas negeri terbaik di Jakarta. Usia kamu dua puluh tujuh tahun? Haduh, bagaimana ini saya menjelaskannya,” Pria itu menghela napas panjang sambil melepas kacamatanya.

“Ada apa, Pak?” Ombo bertanya dengan harapan bahwa prasangkanya salah.

Pria itu berbatuk-batuk kecil, membersihkan tenggorokannya sebelum mengatakan, “Begini, apa sebelumnya kamu sudah baca persyaratan pelamar kerja di perusahaan ini? Terutama mengenai batas usia pelamar kerja yang dibatasi maksimal 25 tahun?”

Here we go again. The same old story.

“Saya tahu. Jujur, saya modal nekat aja, Pak. Saya pikir Pak Kristo punya pengecualian, makanya saya dipanggil wawancara hari ini.”

“Sebelumnya saya minta maaf, Ombo. Ini kelalaian saya. Saya tidak ingin kesalahpahaman ini berlanjut lebih jauh. Jujur saja, saat ini perusahaan kami hanya menerima kandidat yang usianya maksimal hanya 25 tahun. Generasi Z adalah peran utama di era transformasi digital ini. Kalau seumuran kamu itu seharusnya sudah masuk senior level yang punya banyak pengalaman kerja. Sementara yang saya lihat di CV kamu, kamu hanya pernah bekerja sekali selama satu setengah tahun di satu perusahaan,” ungkap pria itu menjelaskan panjang lebar.

“Saya mengerti kekurangan saya, Pak. Tapi, apa bapak tidak bisa memberi saya kesempatan? Saya memang sering gagal interview, tapi saya nggak pernah gagal kerja kok, Pak.”

Meskipun Ombo tampak merasa tersinggung, tetapi ia tetap memohon kepada pria itu agar diberi kesempatan untuk bekerja di perusahaan. Tidakkah itu terdengar seperti orang yang putus asa? Ombo mempermalukan dirinya. Entah untuk yang ke sekian kalinya.

“Maaf, tapi persaingan dunia kerja di negeri kita ini memang kejam. Kamu dituntut untuk tidak boleh menua, ditekankan harus memiliki skill sebanyak-banyaknya, semua hanya demi upah minimum. Kamu tahu, Ombo? Saya kenal junior di kampus saya yang seumuran sama kamu, tapi dia seperti kutu loncat. Dia selalu mendapatkan pekerjaan dengan mudah karena punya ordal. Gajinya sudah dua digit. Kehidupan sosial oke, sudah punya tabungan untuk menikah, pokoknya mapan banget. Tapi, dia tidak pernah puas dengan pencapaiannya. Ironis. Punya segalanya sama saja seperti tidak punya apa-apa. Pria relatif tidak pernah merasa puas.”

Jika Ombo ingin membandingkan hidupnya dengan teman-teman seusianya, maka sakitnya bukan main. Teman-teman seusianya sudah punya karier bagus, uang tabungan sampai tiga digit dan rata-rata sudah menikah, sementara Ombo? Ombo seperti ikan dalam akuarium. Berputar-putar, tapi tidak ke mana-mana.

Tapi, tidak bisakah orang-orang tidak membuat Ombo merasa frustasi dengan status penganggurannya? Lagi pula, bukannya ia tidak mencoba untuk mendapatkan pekerjaan, namun sejauh ini belum ada yang mau mempekerjaannya.

“Ombo, atas nama pribadi, saya mohon maaf atas kesalahan fatal yang saya lakukan. Untuk saat ini, saya benar-benar belum bisa memberikan kamu kesempatan untuk lolos ke tahap selanjutnya.”

“Ya, nggak apa-apa, Pak. Lagi pula, sebentar lagi saya bakal mati, kok.”

“Hah?”

Sontak Ombo bangkit, kemudian tersenyum sambil menganggukkan kepala dengan sopan.

“Ombo, boleh saya kasih saran?”

“Ya?”

“Kalau memang pengalaman kerjamu kurang bagus, seenggaknya koneksimu harus bagus. Jual gengsimu semahal-mahalnya.”

Ucapan pria itu seketika membuat Ombo terpatung. Kakinya mati rasa seperti telah lama dipasung oleh harapan-harapannya yang terlalu tinggi. Tidak ada yang mudah saat usiamu sudah di atas dua puluh lima tahun, begitulah yang Ombo rasakan saat ini. Ia merasa mendapatkan pengkhianatan dari masa lalu, sementara masa depan tidak pernah menunggunya di depan sana.

Mungkin, tidak akan pernah ia miliki.

 

***

 

Beberapa orang akan semakin pesimis setiap kali mendapatkan penolakan atau merasa nasibnya digantung oleh orang lain, sebab mereka tidak bisa menentukan nasib mereka sendiri. Kenyataannya, Ombo adalah bagian dari mereka.

Hanya saja, saat ini Ombo melakukan apa yang bisa ia lakukan dengan waktu yang tersisa. Entah itu berusaha melamar kerja ke banyak perusahaan, atau berjuang untuk bertahan hidup. Setidaknya sampai hari esok.

Setelah wawancara kerja hari ini tidak berlangsung seperti bayangannya, Ombo memilih untuk merenung sendirian di halte bus. Tak lama, tiba-tiba saja ponselnya berdering hingga memecah lamunannya. Ombo langsung buru-buru merapikan diri saat ibu menghubunginya melalui panggilan video.

“Assalamualaikum, bu.”

“Wa’alaykumu salam. Selamat ulang tahun ya, cintanya ibu.”

“Iya, bu. Makasih, ya,” Ombo menjawab dengan senyum selebar mungkin.

“Ih, cintaku… kok, kamu makin kurus, sih? Kamu udah makan siang belum? Terus eta kamu lagi di mana? Kunaon pucet banget mukanya, cintaku?” Ibu mencerocos seperti biasanya.

Ombo menghela napas berat setiap kali ibu mencecarnya dengan pertanyaan yang sama. Ombo tampak tidak nyaman dan sedikit terganggu dengan sikap khawatir berlebihan ibu kepadanya.

“Ibu, bentar. Satu-satu, ya. Ini Ombo baru selesai interview. Ombo baik-baik aja, kok. Lagian ini baru jam sebelas, ‘kan makan siang biasanya jam setengah satu.”

“Kalau kamu belum dapet kerja juga, lebih baik pulang ke Bandung.”

Ayah yang kehadirannya tidak pernah Ombo harapkan, tiba-tiba muncul menjadi diktator. Ayahlah yang dari awal menentang Ombo agar tidak merantau ke Jakarta. Di mata ayah yang merupakan seorang abdi negara, pria yang bekerja sebagai karyawan di gedung-gedung tinggi Jakarta hanyalah pria yang akan sengsara saat tua nanti. Yang ayah tahu, mereka tidak akan pernah memiliki uang pensiun.

“Ombo, percuma kamu teh tinggal di Jakarta kalau buat jadi pengangguran doang. Seharusnya dulu kamu nurut sama ayah buat jadi tentara atau PNS. Lihat tuh si Obit, nurut sama ayah buat jadi kowad. Sekarang dia jadi kowad cantik yang lagi viral se-Bandung raya. Pangkatnya juga sudah Lettu. Belum lagi dia pintar cari suami yang pangkatnya Kapten. Udahlah pokoknya terjamin masa tua mereka. Aman sentosa,” ujar ayah dengan nada sombong.

Ombo menatap ayahnya dengan muka masam. Ayah selalu berpikir bahwa Ombo iri dengan Obit hanya karena kehidupan Obit sesuai dengan keinginan ayah. Namun, Ombo juga tidak bisa menyangkal jika Obit memang selalu lebih unggul darinya, dan semua orang selalu memuji Obit. Sementara Ombo merasa tidak berguna karena belum memiliki pencapaian apa-apa.

Jika menguraikan hubungan antara Obit dan Ombo, tentu mereka tidak pernah membenci satu sama lain, hanya saja mereka memang bersaing dalam banyak hal, terlepas dari jarak usia mereka yang terpaut lima tahun. Namun, dari sekian banyak persaingan yang terjadi di antara mereka, Ombolah pihak yang selalu kalah. Sudah jauh-jauh kuliah ke Jakarta, tapi ia tetap sulit mendapatkan pekerjaan sehingga membuatnya terpaksa menganggur selama hampir dua tahun. Di sisi lain, Obit melakukan segalanya dengan mudah dan jalannya sangat mulus. Obit tidak pernah kuliah, tapi ketangguhan dan kecantikan dapat membawanya naik level dalam waktu singkat.

“Ayah, jangan ngomong kitu atuh. Ombo, cintanya ibu, kamu tahu si ayah tuh kayak beo, ‘kan? Jadi, jangan dimasukin ke hati, ya. Kamu fokus aja di sana, nanti kalau butuh sesuatu langsung bilang aja ke ibu.”

“Eh, nanaonan si ibu! Si Ombo tuh udah jebrog, udah 27 tahun. Jangan dimanja terus, nanti nggak bisa jadi laki-laki sejati. Si Ombo teh bukan cuma harus jadi pemimpin yang baik buat dirinya sendiri, tapi juga buat pasangannya. Jadi ayah minta tolong pisan sama ibu supaya berhenti memperlakukan Ombo jiga budak leutik.”

“Ngomong-ngomong soal pasangan, gimana kabarnya Tami? Ibu udah berkali-kali nge-chat Tami supaya dia cepet-cepet main ke Bandung, ketemu ibu sama ayah. Eh, tapi dia selalu bilang nanti terus. Emang Tami sesibuk itu, ya?”

Selain ayah yang selalu ikut campur urusan masa depan anaknya, ada juga ibu yang selalu ikut campur urusan percintaan anaknya. Andai saja Ombo bisa memilih orang tua, maka sudah pasti ia akan memilih orang lain. Bahkan, ia akan memastikan jika kedua orang itu tidak akan ada dalam daftar pilihannya.

“Ibu, tolong jangan sering-sering ngehubungin Tami, ya. Kasihan Taminya, nanti dia ngerasa risih gara-gara ibu chat terus-terusan,” jawab Ombo setengah memohon.

“Iya, iya, cinta. Ibu juga kayak gitu teh buat memastikan kalau si Tami nggak akan ke mana-mana atau diambil orang. Kapan lagi coba ibu punya calon menantu cantik keturunan orang Thailand, pendidikan oke, dan karier bagus. Yaa… walaupun orang tuanya udah cerai, seenggaknya bibit, bebet, bobotnya jelas. Nggak bermasalah juga secara finansial. Tipe ibu banget.”

“Heh, Ombo, jawab yang jujur ya. Ayah mau tanya, hubungan kamu sama Tami masih baik-baik aja?”

“Iya, aku sama Tami baik-baik aja, kok. Ini aku mau ketemuan sama dia buat makan siang bareng.”

Lihat selengkapnya