Jakarta, November 2022…
Notifikasi email baru itu membuatnya tersentak dari kursi. Alih-alih langsung membacanya, ia berjalan mengitari meja makan beberapa kali, sambil berkata pada dirinya sendiri untuk menarik napas dalam-dalam guna menenangkan saraf-sarafnya yang tegang. Namun, tangannya yang memegang ponsel bergetar hebat.
Mengingat balasan dari setiap perusahaan selalu datang tiba-tiba, sungguh ajaib ia tidak terperangah.
Ini adalah email penting yang sangat bergantung pada harga dirinya sebagai seseorang yang sudah menganggur selama hampir dua tahun. Setelah menunggu begitu lama, ia akhirnya menerima balasan dari sebuah perusahaan. Masalahnya, ia perlu melihat bagaimana hasilnya.
Baiklah, tidak ada waktu untuk menjadi pecundang. Saatnya menghadapi kenyataan.
Satu, dua, tiga!
Ia tidak bisa menahan kegembiraannya.
Meskipun ia terlalu takut untuk membukanya, pada akhirnya ia tetap harus melakukannya. Setelah cukup mengumpulkan sedikit keberanian, ia mengklik email di depan matanya.
‘Dear, Mr. Ombo Manggala,’
“Oke. Namanya benar. Nggak ada kesalahan.”
Ia menyapukan pandangan pada pesan itu sebelum jantungnya berdebar kencang saat membaca kalimat ini.
‘Kami tertarik untuk mengundang Anda untuk melakukan initial interview di PT Kanjeng Ratu Kreasi.’
“Yes!”
Ombo akan segera menjadi karyawan lagi setelah sekian lama menganggur dan tidak memiliki kegiatan apa-apa.
Akhirnya ia mendapat tawaran dari sebuah perusahaan seperti yang selalu ia harapkan. Pekerjaan dengan gaji yang cukup menjanjikan. Ia merasa sangat senang sehingga ia ingin mengumumkannya kepada seluruh anggota keluarganya dengan mengundang mereka semua ke restoran dan menyombongkan diri.
Kemudian, ia menyadari bahwa ia terlalu miskin. Isi rekeningnya bahkan hasil dari menjual gengsinya kepada teman-temannya.
Tidak dapat menyimpan kegembiraan itu untuk dirinya sendiri, ia menutup email dan menelepon seseorang. Orang itu mengangkatnya setelah beberapa detik.
“Halo, Teteh? Teh Obit!”
[Oh, wait… Ombo. Ya, kenapa, Om? Kamu mau minjem duit?] Itu terdengar sangat menyebalkan, dan senyuman di wajah Ombo seketika memudar.
“Bukan, Teh. Ombo tuh mau ngasih kabar kalau Ombo dapat undangan interview dari perusahaan besar, Teh.”
[Oh, gitu. Terus kamu diterima?]
“Teteh dengerin Ombo nggak, sih? Ombo baru dapet undangan buat initial interview, belum interview beneran.”
[Ombo, aku ada meeting sama klien, dan sekarang mereka udah datang. Nanti aku call lagi, ya. Bye.]
Ombo tercengang.
Ini akan menjadi hal biasa jika tidak ada perasaan bahagia yang ingin dibagi olehnya. Sayangnya, ini berubah menjadi menyedihkan ketika ia tidak bisa membagi perasaan bahagianya, bahkan tidak kepada satu-satunya orang yang ia pikir akan ikut senang mendengar kabar baik darinya.
“Kalau gua bisa keluar dari rumah dan punya kerjaan di Australia kayak Teh Obit, mungkin gua bakalan ngelakuin hal yang sama. Sok sibuk supaya bisa ngejauh dari keluarga. It’s okay. You okay, I okay, Ombo okay.” Ombo berbicara kepada dirinya sendiri. Ia mencoba menguatkan diri sendiri saat ia tidak memiliki siapa pun sebagai sandarannya.
***
Mereka bilang jika kamu tidak terlahir dari keluarga kaya raya, maka kamu akan merasa stres karena uang di usia muda. Ia sudah terlalu banyak mendengar keluarganya berbicara tentang masalah keuangan. Jadi ia tumbuh dengan berpikir bahwa uang menyelesaikan segalanya, dan kini ia berfokus pada pekerjaan dengan gaji tinggi daripada melakukan apa yang benar-benar ia cintai. Bagi Ombo, ini bukan tentang hidup lagi, melainkan tentang bertahan hidup.
Mengenakan kemeja biru dan celana formal hitam, ia melangkah masuk ke sebuah gedung dengan langkah lebar dan terburu-buru. Ia menunduk sepanjang berjalan menuju ruangan yang berada di lantai sepuluh, seolah-olah menghindari kontak mata dengan semua manusia yang ada di gedung itu.
Meski sudah melakukan puluhan wawancara kerja, ia tetap merasa gugup dan berkeringat dingin. Ia merapikan rambutnya sebelum masuk ke ruangan. Ditolak atau diterima, ia bertekad bahwa ini akan menjadi wawancara kerja terakhirnya.
“Selamat siang. Silakan duduk.”
Kulit sawo matang itu tampak berkeringat. Ia bahkan sampai menyeka keringat yang bercucuran di dahinya begitu ia mendengar suara yang bertenaga, jantan dan berenergi menyapanya tanpa senyuman.
“Ombo Manggala, ya?”
Ombo mengangguk kecil.
“Selamat pagi, Ombo. Perkenalkan saya Kristo, HRD di PT Kanjeng Ratu Kreasi.”
“Selamat pagi, Pak. Saya Ombo Manggala.”
“Ya. Sambil saya cek CV kamu lagi, kamu bisa perkenalkan diri kamu secara singkat, ya. Silakan.”
Déjà vu. Sepertinya Ombo sudah mendengar pola ini berulang kali.
Ombo tersenyum canggung. “Baik, terima kasih atas kesempatan yang Bapak berikan. Perkenalkan, saya Ombo Manggala. Usia saya 27 tahun. Saya lulusan—”
“Sebentar, sebentar… umur kamu berapa?”
“Kebetulan hari ini resmi jadi 27 tahun, Pak.”
“Oh, hari ini kamu ulang tahun? Happy birthday, ya.”
“Terima kasih, Pak.”
“Tapi, kenapa kamu tidak mencantumkan umur kamu di CV, huh? Kamu tahu, ‘kan kalau salah satu persyaratan pelamar kerja untuk posisi copywriter di perusahaan ini usianya maksimal harus 25 tahun?”
Mendadak Ombo membisu. Ia sungguh tak percaya bahwa usia akan menjadi penghalangnya lagi.
“Ombo Manggala, lulusan cumlaude dari universitas negeri terbaik di Jakarta. Usia kamu dua puluh tujuh tahun? Haduh, bagaimana ini?” Pria itu menghela napas panjang, kemudian melepas kacamatanya.
“Maaf, Pak.” Ombo hanya menjawab seadanya.
Pria itu berdeham seolah membersihkan tenggorokannya. “Begini, apa sebelumnya kamu sudah baca persyaratan pelamar kerja di perusahaan ini? Terutama mengenai batas usia pelamar kerja yang dibatasi maksimal 25 tahun?”
Here we go again. The same old story.
“Saya tahu. Jujur, saya modal nekat aja, Pak. Saya merasa nggak punya pilihan.”
“Jujur saja, saat ini perusahaan kami hanya menerima kandidat dengan usia maksimal 25 tahun. Di era revolusi industri seperti sekarang, generasi Z adalah peran utama. Maaf, tapi kalau seumuran kamu itu seharusnya sudah masuk senior level yang punya banyak pengalaman kerja. Sementara yang saya lihat di CV kamu, kamu hanya pernah bekerja sekali selama satu setengah tahun di satu perusahaan. Itu sangat tidak memenuhi kualifikasi, Ombo. Sorry,” ungkap pria itu menjelaskan panjang lebar.
“Saya mengerti kekurangan saya, Pak. Tapi, apa bapak tidak bisa memberi saya kesempatan? Saya memang sering gagal interview, tapi saya nggak pernah gagal kerja kok, Pak.”
Meskipun Ombo tampak merasa tersinggung, tetapi ia tetap memohon kepada pria itu agar diberi kesempatan untuk bekerja di perusahaan. Tidakkah itu terdengar seperti orang yang putus asa? Ombo bahkan sudah tidak peduli jika ia mempermalukan dirinya. Entah untuk yang ke sekian kalinya.
“Maaf, tapi persaingan dunia kerja di negeri kita ini memang kejam. Kamu dituntut untuk tidak boleh menua, ditekankan harus memiliki skill sebanyak-banyaknya, semua hanya demi upah minimum. Kamu tahu, Ombo? Saya kenal junior di kampus saya yang seumuran sama kamu, tapi dia seperti kutu loncat. Dia selalu mendapatkan pekerjaan dengan mudah karena punya koneksi. Gajinya sudah dua digit. Kehidupan sosial oke, sudah punya tabungan untuk menikah, pokoknya mapan banget. Tapi, dia tidak pernah puas dengan pencapaiannya. Ironis, bukan? Punya segalanya sama saja seperti tidak punya apa-apa. Pria relatif tidak pernah merasa puas.”
Jika Ombo ingin membandingkan hidupnya dengan teman-teman seusianya itu akan terasa sakit bukan main. Teman-teman seusianya sudah punya karier bagus, uang tabungan sampai tiga digit dan rata-rata sudah menikah, sementara Ombo? Ombo seperti ikan dalam akuarium. Berputar-putar, tapi tidak ke mana-mana.
Tapi, tidak bisakah orang-orang tidak membuat Ombo merasa frustasi dengan status penganggurannya? Lagi pula, bukannya ia tidak mencoba untuk mendapatkan pekerjaan, namun sejauh ini belum ada yang mau mempekerjaannya.
“Ombo, saya mohon maaf. Untuk saat ini, saya benar-benar belum bisa memberikan kamu kesempatan untuk lolos ke tahap selanjutnya,” ucap pria itu dengan lembut.
Ombo mengangguk. “Ya, nggak apa-apa, Pak. Saya lega bisa mendengar penolakan itu secara langsung. Lagi pula, sebentar lagi saya bakal mati, kok.”
“Hah?”