MAX. 25 TAHUN

Ara Segara
Chapter #2

Kiara Koswara

Setelah Ombo memberi tahu Jordi tentang semua yang ia sembunyikan dari sahabatnya selama dua tahun belakangan ini, Jordi terheran-heran sampai hampir menjatuhkan rahangnya di depan Ombo. Butuh waktu cukup lama untuknya mencerna dan menenangkan diri setelah emosinya naik turun.

Jordi menelan ludah sebelum akhirnya siap untuk menanggapi.

“Gua cuma pergi ke Bangkok seminggu, dan lu dapet keajaiban sembuh dari tumor otak? Gimana bisa lu yang udah tinggal di rumah gua selama hampir dua tahun, bisa-bisanya kena penyakit separah itu? Parahnya lagi, gua nggak tahu? Like, how?”

“Lu orang pertama yang tahu.”

“Ya tetep aja nggak masuk akal! Wait… Tami gak tahu tentang penyakit lu?”

“Enggak.”

“Om, lu tuh sakit tumor otak, bukan masuk angin. Lu gak kasih tahu Tami, bahkan orang tua lu sendiri? Gimana kalau lu tiba-tiba mati pas gua lagi gak ada di rumah? Gua pasti bakal merasa bersalah seumur hidup gua,” Jordi mencerocos seperti ibu yang sedang mengomeli anaknya.

“Berisik banget lu. Udahlah, jangan bikin masalah sepele kayak gini jadi rumit.”

“Masalah sepele? Oh, God. Do you know that you're the one who makes things difficult? You’re complicating things.

“Iya, iya, gua tahu. Tapi, ya mau gimana lagi? Udah terlanjur juga, ‘kan?”

“Terus sekarang lu mau apa? Apa yang bakal lu lakukan ke depannya?”

“Nggak tahu,” jawab Ombo enteng.

Mungkin Ombo tidak bermaksud menjawab dengan nada mengejek. Ia juga tidak tahu mengapa ia menyembunyikan penyakitnya dari semua orang. Mungkin, Ombo terlalu takut jika pada akhirnya mereka hanya akan mengasihaninya seperti ia yang merasa kasihan kepada dirinya sendiri.

Satu hal yang terlihat jelas dari Ombo hanyalah perasaannya yang menuntun setiap perbuatannya.

My brodi?”

“Brodi, brodi. Apa, huh?”

“Gua satu-satunya sahabat lu, ‘kan?”

“Eh, emang lu punya sahabat selain gua? Udahlah nggak usah basa-basi, lu mau apa? Pinjem duit? Atau, gengsi lu udah mulai menurun dan mau kerja di perusahaan keluarga gua?”

Meski Jordi tidak lebih cerdas dan lulus dengan predikat cumlaude seperti sahabatnya, tapi kehidupan Jordi jauh lebih beruntung karena memiliki harta yang mampu menopangnya dalam masa-masa sulit. Jordi adalah satu-satunya sahabat Ombo yang terlahir dari keluarga kelas menengah atas. Berbeda dengan sahabatnya, Jordi punya masa depan yang jelas, yaitu sebagai pewaris tunggal pratama grup yang ditinggalkan oleh almarhum kakeknya.

Mungkin Ombo tidak akan heran jika suatu hari nanti Jordi akan memberikan rumahnya kepada Ombo secara gratis.

“Woy! Lu mau apa dari gua, huh?”

“Mmm… itu… gua mau—”

“Mau apa, sih? Cepetan ngomong.”

“Ya ini gua mau ngomong, jangan dipotong-potong terus. Gua tuh cuma mau lu janji sama gua.”

“Geli banget gua dengernya. Janji apa, sih?”

“Janji buat merahasiakan semua ini dari Tami dan orang tua gua.”

“Ini, nih… benci gua kalau lu udah kayak gini. Bikin dosa kok ngajak-ngajak.”

Please?”

“Terserah lu.”

Jordi melengos pergi, tanpa memberikan jawaban yang jelas kepada Ombo.

“Brodi…? Bro Jordi? Janji dulu! Heh, lu mau ke mana?”

“Mau sholat tobat biar gua gak dosa-dosa banget bohongin orang demi lu. Mau gua wakilin juga bagian lu di depan Tuhan, huh?”

Thank you, bro!”

 

***

 

Bagaimana rasanya jika Tuhan menjanjikanmu tempat terbaik di sisi-Nya, tapi tiba-tiba janji itu dibatalkan? Mengecewakan. Itulah yang sekarang sedang Ombo rasakan. Berpikir bahwa setiap hari bisa menjadi hari terakhirnya, namun siapa sangka jika ternyata realita tetap merayap ke arahnya dengan sadis.

Sudah dua minggu berlalu saat dokter menyatakan bahwa Ombo mendapat keajaiban sembuh dari tumor otak, tetap saja membuat hati Ombo jengkel. Memikirkannya saja sudah membuatnya marah. Hampir setiap malam ia selalu bertanya-tanya: Kenapa Tuhan memperpanjang kontrakku di dunia ini tanpa menawarkan keuntungan apa-apa? Apa Tuhan begitu membenciku?

Jika memang benar ada perbedaan tipis antara rasa cinta dan benci, mungkinkah Ombo masih punya harapan di hadapan Tuhan? Seperti hari ini yang mungkin menjadi harapan terakhirnya.

Dari sekian banyak lowongan kerja yang telah Ombo lamar, Mix&Max café menjadi tempat terakhir yang tidak ia harapkan sama sekali. Bagi seseorang yang selalu gagal berulang kali dalam tahap wawancara kerja seperti dirinya, bekerja sebagai waiter kiranya akan lebih baik daripada tidak punya pekerjaan sama sekali.

Ombo sudah mempertaruhkan harga dirinya yang sangat tinggi itu untuk bekerja di sini. Sudah jelas wawancara kerja kali ini tidak boleh gagal lagi. Dengan segenap kepercayaan diri yang tersisa di dalam dirinya, Ombo memberanikan diri untuk bertanya kepada pria bertato yang sedang duduk sendirian di meja bar.

“Permisi, Pak. Selamat pagi.”

“Kafenya buka jam 11, mas. Ini masih jam 9.”

Alih-alih berbicara sambil menatap lawan bicaranya, pria bertato itu terus-menerus menatap layar ponselnya. Jika biasanya Ombo sudah terbawa emosi, kali ini ia terlihat berusaha sabar menghadapi pria di hadapannya. Pelan-pelan ia menghela napas sebelum akhirnya kembali berbicara.

“Mmm… bukan, Pak. Saya… mmm… saya mau wawancara kerja di sini.”

Akhirnya Ombo memetik buah dari kesabarannya, pria bertato itu menoleh dan menatap ke arahnya.

“Bang aja.”

“Huh?”

Pria bertato itu berdiri, kemudian mengulurkan tangan sambil tersenyum.

“Gua Kenta. Panggil aja bang Ke, sama kayak yang lain. Nama lu Ombo, ‘kan?”

“Iya, bang Ke,” jawab Ombo sambil menjabat tangan Kenta.

“Gua tadi udah dapet pesen kalau ada lu suruh aja langsung masuk ke ruangan manajer.”

“Oh, gitu? Ruangannya di mana, bang?”

“Tuh, di ujung sana.”

“Oh, oke. Makasih, bang.”

Mendadak Kenta menahan, lalu menatap wajah Ombo sambil menyipitkan matanya.

“Muka lu familier, atau emang muka lu pasaran?”

“Huh?”

“Hah, heh, hoh aja lu.”

Sorry, bang. Udah kebiasaan. Kalau lagi grogi emang suka tiba-tiba jadi budek.”

“Nah, lu hati-hati deh di dalem. Dia manajer baru kafe ini, baru sekitar seminggu ini. Jadi, gua gak bisa kasih kisi-kisi ke lu, soalnya gua belum tahu karakternya.”

Ombo tampak mencoba tetap tersenyum, meski sebenarnya perkataan Kenta semakin membuatnya gugup dan takut.

“O’iya, tadi ruangannya di mana, bang?”

Kenta menatapku sambil tertawa kecil.

“Gua anterin aja, yuk.”

 

***

 

Di depan pintu ruangan manajer yang setengah terbuka, Ombo mencoba sedikit mengintip agar tahu jenis manusia macam apa yang akan dihadapi olehnya. Kali ini Ombo benar-benar tidak ingin gagal.

“Ombo, lu udah siap?” tanya Kenta memastikan.

“Iya, bang. Siap,” Ombo menjawab dengan ragu.

“Oke. Silakan masuk.”

Lihat selengkapnya