MAX. 25 TAHUN

Ara Segara
Chapter #2

Pria dan Tuhan-Nya

Bagaimana rasanya jika Tuhan menjanjikanmu kematian dalam waktu dekat, tetapi mendadak janji itu dibatalkan? Tentu mengecewakan. Berpikir bahwa setiap hari bisa menjadi hari terakhirnya, namun siapa sangka jika ternyata realita tetap merayap ke arahnya dengan sadis.

Setelah dua minggu lalu dokter menyatakan bahwa Ombo mendapat keajaiban sembuh dari tumor otak, Ombo memilih mengurung diri di rumah. Memikirkannya saja sudah membuat Ombo marah. Hampir setiap malam ia selalu bertanya-tanya: Kenapa Tuhan memperpanjang kontrakku di dunia ini tanpa menawarkan keuntungan apa-apa? Apa setelah semua kerja keras yang kulakukan, hanya penderitaan yang pantas kudapatkan? Apa Tuhan begitu membenciku?

Jika memang benar ada perbedaan tipis antara rasa cinta dan benci, mungkinkah Ombo masih punya harapan di hadapan Tuhan? Bagaimana bisa seorang anak manusia bisa bertahan hidup disaat ia tidak menginginkannya? Pun saat ia tidak lagi memiliki tujuan hidup.

Malam itu Ombo berbaring di atas tempat tidurnya sambil menatap langit-langit kamarnya yang sama kosongnya dengan tatapan matanya.

“Sebenernya… kesalahan apa sih yang udah aku lakukan, Tuhan? Katanya kalau manusia lagi ada di titik terendahnya, lagi ada di bawah, berarti satu-satunya jalan itu cuma naik ke atas. Tapi, kenapa aku nggak naik-naik? Selama ini aku selalu jadi anak yang baik di keluargaku, aku juga nggak pernah jahat sama orang lain, tapi kenapa tetep aku yang dihukum?” Ombo mengatakannya dengan sangat emosional, bahkan matanya sampai berkaca-kaca.

Sebuah penghakiman menyewa tempat dalam pikirannya saat itu, dan ia tidak tahu bagaimana mengusirnya. Yang ia tahu hanyalah ia ingin sekali mengakhiri rasa sakit di hatinya. Tanpa pikir panjang, ia menarik bantal dari kepalanya dan menaruh bantal tersebut di mukanya. Ia menekan bantal itu dengan sekuat tenaga menggunakan kedua tangannya hingga ia kesulitan bernapas.

Ketika ia berharap bisa mengakhiri segalanya dengan cepat, mendadak ponselnya berbunyi kencang. Spontan Ombo berhenti bergerak, lalu ia menggeram.

Percobaan pertamanya gagal karena seseorang meneleponnya.

Ia bisa saja mengabaikan panggilan dari ponselnya itu, tetapi ia tidak mau. Tubuhnya bereaksi seolah menolak untuk melakukan hal keji itu sebelum tahu siapa yang berusaha menggagalkan usahanya di tengah malam begini.

“Halo?”

[Thank God! Akhirnya aku bisa denger suara kamu juga.]

Ombo mengerutkan alisnya sambil menatap layar ponselnya. Nomor itu tampak asing. “Maaf, ini siapa, ya?”

[Kamu nggak kenal suara aku?] suara perempuan itu terdengar kecewa bercampur marah.

“Huh?”

[Ini aku, Mas. Tami.]

“Oh, Tami.” Ombo hampir tak percaya jika Tuhan mengirim Tami untuk menggagalkan upayanya malam ini. Ini di luar dugaan. “Ada apa, Tam?”

[Kamu yang ada apa? Kenapa tiba-tiba ngilang gitu? Udah dua minggu, loh. Aku chat, tapi nggak dibales. Aku telepon, tapi nggak diangkat-angkat. Kamu masih marah gara-gara kejadian di kafe waktu itu?] Tami mencerocos dengan nada khawatir.

“Nggak, kok. Aku udah nggak peduli soal kejadian di kafe waktu itu. Aku lagi butuh waktu sendiri aja,” jawab Ombo datar.

[Astaga, Mas… harusnya kamu ngomong, dong. Seenggaknya kasih kabar biar aku nggak khawatir.]

“Aku kira kamu nggak punya waktu buat mikirin aku. Klien lebih penting, kan?”

[Are you kidding me? Plis, deh… jangan mulai lagi, Mas.]

“Ini kamu telepon aku pakai nomor siapa? Klien?”

[Ya, ini nomor klien aku, dan aku beli nomor dari klien aku supaya aku bisa tahu kabar kamu. Puas?] Tami mengucapkannya dengan nada sarkastik.

Ombo mengambil jeda. Ia menghela sepenggal napas sebelum berbicara. “Sorry, Tam. Aku bener-bener lagi kacau. Semakin aku buka mulut, semakin aku bikin kamu sakit hati. Untuk sementara waktu, kayaknya kita saling menjauh dulu, ya.”

[Wait, Mas—]

Panggilan telepon berakhir.

Tanpa berpikir panjang, Ombo langsung mematikan ponselnya. Malam ini ia menyerah sejenak, dan memilih tidur sebagai obat penenangnya.

 

***

 

Kehadiran Tami di kolam renang selalu menarik perhatian semua orang, bahkan mereka tidak segan mencuri pandang ke arahnya saat menanggalkan bathrobe untuk bersiap berenang. Tami dan Jordi memang rutin berolahraga ke pusat kebugaran mewah di kawasan elite di Jakarta Selatan. Ini lebih seperti pelarian mereka dari penatnya pekerjaan.

Dan, di sinilah Patricia berperan sebagai penonton sekaligus penyemangat mereka.

Jordi tidak dapat menahan diri untuk menggelengkan kepala ketika melihat Tami memilih untuk mengenakan pakaian renang jenis monokini yang memiliki potongan seksi di bagian pinggang, yang otomatis memperlihatkan bentuk tubuh Tami yang memukau sehingga menarik atensi banyak orang. Pemandangan pinggang yang ramping, kaki jenjang yang indah, perut yang rata, bersama dengan wajah cantiknya, membuat banyak orang kagum sekaligus iri.

“Sebenernya apa yang kurang dari Tami yang bikin Ombo nggak cinta-cinta amat sama Tami?”

Dari layar ponsel, matanya bergerak ke arah Tami. Patricia memandangi Tami dengan seksama. Sungguh tubuh yang indah dengan selera yang berkelas. Perempuan itu terlihat seksi tanpa perlu usaha apa-apa. Ia pun tidak menemukan kekurangan itu dari Tami.

“Fisik oke, kepribadian oke, karier apalagi. Iya, nggak?”

“Well, kita nggak pernah tahu kalau kita nggak ada di posisi Ombo. Mungkin bukan karena ada yang kurang dari Tami, tapi justru sebaliknya.”

“Maksud lu, Kak?”

“Mungkin aja Ombo yang merasa dirinya kurang untuk Tami. Mungkin juga, Tami nggak bisa ngisi kekosongan dalam diri Ombo.”

Why is loving someone so complicated?”

Patricia tersenyum. “It’s not love which is complex, we make it complicated.”

“Ouh… the princess appears and walks towards us, Kak.” Jordi mengucapkannya pelan sambil tersenyum ke arah Tami yang sedang berjalan ke arahnya.

You, guys... pasti abis gosipin orang, deh.” Tami langsung menanyakan sambil memakai bathrobe miliknya.

“Si Jordi tuh, ngomongin kamu sama Ombo,” jawab Patricia apa adanya.

Jordi menyikut lengan Patricia sambil melotot, tampak panik.

Tami mengernyitkan dahi, “What’s wrong with me and Ombo?”

Actually, everything about you and Ombo feels wrong.” Jordi menjawab dengan suara pelan dan setengah takut.

“Oh, shut up…” Tami menggeram, tampak kesal dengan jawaban Jordi, “…jangan ngomong gitu lagi. Aku sama Ombo udah pacaran selama tiga tahun, dan itu bukan waktu yang sebentar. Stop bikin aku semakin ragu.”

“Ragu? Kamu ragu sama Ombo?” tanya Patricia.

“Sama diri aku sendiri. Aku jadi ragu kalau aku bisa terus sama-sama dengan Ombo. I mean… being with him, it just felt so hard. Aku nggak ngerti maunya dia itu apa, karena aku udah coba buat bantu dia dan itu susah banget.” Tami mengungkapkan perasaannya dengan wajah sedih sekaligus bingung.

“Intinya sih lu nggak bisa bantu orang yang emang nggak mau dibantu. Ombo tuh gengsinya tinggi, dan prinsipnya nggak bisa diganggu gugat,” ucap Jordi menanggapi.

Lihat selengkapnya