Waktu yang melelahkan itu berlalu begitu lambat seakan-akan satu hari kelabu berlangsung selama 48 jam, dan seminggu kelabu berlangsung selama 336 jam.
Ombo membuang-buang waktu dengan meratapi nasib sialnya, menonton podcasts untuk menghibur diri, dan melakukannya berulang kali. Begitu terus selama beberapa waktu hingga ia merasa lelah. Sudah waktunya untuk meratapi diri sendiri dan mencari jalan keluar dari kamar ini.
Ia meletakkan laptop di pangkuannya dan mengklik browser. Tentu saja, situs web yang paling mudah untuk mencari informasi adalah Google.
Ia langsung mengetiknya…
Lowongan kerja online untuk kaum rebahan
… kemudian saat ia ingin menekan enter, ia menghapusnya kembali.
Sial, tenggorokannya gatal ketika hendak mengucapkan kata-kata yang mengerikan itu. Pekerjaan seperti itu sudah jelas tidak cocok untuknya. Ia merasa jauh lebih baik dari itu, bahkan ia jauh lebih baik dari orang-orang yang bekerja dengan mengandalkan koneksi mereka.
Namun, mengingat ia tidak lebih beruntung dari orang-orang tersebut, rasanya sangat menyakitkan. Sakit sekali sampai ia ingin menangis lagi.
Ia pernah berdoa dan berdoa, dari matahari terbit hingga matahari tenggelam. Hingga ia tiba pada satu titik di mana ia merasa tidak jawaban dari doa-doanya. Di situlah ia mulai menjauh dari Tuhan-Nya, dan memasang tembok besar sebagai pertahanan diri.
Kesepian pun perlahan membunuhnya.
Ia sudah tidak punya muka di hadapan siapa pun. Menjadi pengangguran dalam jangka waktu yang panjang dan tidak memiliki siapa pun sebagai sandaran, tentu saja menghancurkan kepercayaan dirinya. Ia sadar betul jika ia telah menjelma menjadi seseorang yang bukan dirinya.
Dengan wajah sendu, Ombo menepuk pundaknya sendiri dan mengatakan, “Tenang, Ombo. Lu bakal baik-baik aja. Tenang.” Ombo mengambil napas dalam-dalam. Ada jeda untuk berpikir sejenak.
“Enggak. Lu nggak baik-baik aja, Ombo. Gimana lu bisa baik-baik aja kalo lu nggak punya duit?”
Ombo langsung menutup laptop, kemudian melemparnya ke kasur.
***
Keluarga semestinya menjadi tempat paling nyaman untuk bersandar saat seisi dunia sedang tidak memberikan kita tempat untuk mengukir mimpi. Sialnya, ia tidak bisa, meskipun masih memiliki keluarga dalam hidupnya.
Atmosfer di ruang makan begitu menghimpit ketika Ombo melangkah masuk dan duduk bersama kedua orang tuanya. Ia berusaha tidak acuh akan sikap orang tuanya, terutama ibu yang menatapnya dengan penuh kekesalan.
Ombo mengambil beberapa centong nasi sehingga piringnya terisi penuh. Sontak ibu melirik sambil menghembuskan napas kencang, yang membuat Ombo merasa tidak nyaman.
“Kamu kalau makan ya kira-kiralah. Kalau nggak ngasih duit, ya ambil nasinya dikit aja. Gak tahu kalau beras lagi mahal?” Ibu menegur dengan nada meninggi.
Merasa harga dirinya direndahkan hanya gara-gara hal sepele, Ombo langsung membantik sendoknya. Ia menatap ibu lurus-lurus. “Segitunya, bu? Sampai-sampai mau makan di rumah orang tua sendiri aja harus bayar dulu? Kalau gitu mendingan aku makan di luar aja sekalian.”
“Oh, silakan aja kalau kamu punya uang,” balas ibu.
Seketika Ombo terdiam.
“Silakan kamu makan di luar, kalau perlu setiap hari. Kamu nggak tahu, ‘kan? Kalau pengeluaran paling besar itu berasal dari kebutuhan sehari-hari, termasuk pengeluaran buat makan. Ibu sih bersyukur banget kalau kamu mau meringankan beban ibu.”
“Beban? Aku beban buat ibu?”
“Ya, kamu dan ayah kamu itu beban buat ibu. Kalian berdua itu cuma mengandalkan pemasukan dari uang pensiunan ibu, tapi kalian masih aja nggak tahu diri dan menjadikan ibu pembantu di rumah ini,” ucap ibu dengan sangat emosional.
Ombo mematung hingga kehabisan kata-kata, sementara ayah langsung berhenti mengunyah dan menggeser piringnya seolah tidak memiliki selera makan lagi.
Kejujuran memang menimbulkan rasa sakit yang teramat dalam, sementara kenyataan menimbulkan ketidaknyamanan dalam waktu yang lama. Rasanya ia ingin pergi jauh dan menghilang dari keluarganya, tapi sayangnya ia terlalu miskin untuk bisa lari dari masalah kehidupan yang pelik ini.
Ia hanya bisa pergi ke kamarnya, dan berabring sambil menahan lapar di atas kasurnya.
***
Sudah beberapa hari berlalu, tapi Ombo masih meratapi nasibnya tanpa mau melakukan apa-apa untuk mengubahnya. Kali ini ia memang tak ada bedanya dengan ikan dalam akuarium, berjalan mengelilingi kesedihannya hingga hanya berujung pada satu solusi yang dapat mengakhiri segalanya dengan cepat.