MAX. 25 TAHUN

Ara Segara
Chapter #3

7 Menit

Sembilan tahun lalu.

Di jantung Ibu Kota negara, terdapat universitas negeri terbaik yang tidak hanya dipenuhi oleh orang-orang yang mengandalkan kecerdasan, tetapi juga orang-orang yang mengandalkan koneksi dan uang dari orang tua mereka. Tentu saja Ombo menjadi golongan yang pertama.

Keinginannya untuk menjadi pria mandiri yang kelak mendapatkan kesuksesannya, membuat Ombo belajar mati-matian demi mendapatkan beasiswa S1 di salah satu universitas negeri terbaik di Jakarta. Meski tidak memenuhi harapan ayah yang menginginkannya menjadi seorang tentara, ia tetap bisa mendapatkan beasiswa tersebut.

Satu bulan tinggal di Jakarta dan melewati masa orientasi mahasiswa, sudah cukup membuat Ombo membayangkan banyak hal. Kebebasan hidup di luar kota, bertemu orang-orang baru yang memiliki pandangan hidup yang jauh berbeda darinya, juga senyum dan tawa yang memenuhi hari-harinya, membuatnya ingin menetap di kota itu selamanya.

Hari pertamanya resmi menjadi seorang mahasiswa, ia pikir tidak ada yang istimewa yang akan terjadi di kampus. Ternyata takdir menemukan jalannya sendiri. Hari itu menjadi kali pertamanya bertemu dengan Kiara.

Ombo yang sangat antusias menjalani kelas pertamanya, tidak pernah sedetik pun mengalihkan pandangannya dari dosen yang mengajar di hari itu. Setiap kata yang keluar dari mulut sang dosen terdengar sangat manis baginya. Namun, itu tidak berlangsung lama sampai perempuan ajaib itu muncul.

Perempuan itu membuka pintu ruangan kelas seolah sengaja mendobraknya. Dalam sekejap, perempuan itu mengalihkan pandangan semua orang mengarah kepada dirinya, termasuk Ombo.

“Maaf, Pak. Saya terlambat masuk ke kelas Bapak.” Perempuan itu mengucapkannya sambil menahan napasnya terengah-engah seperti baru saja selesai lari maraton.

“Ya sudah, tidak apa-apa. Duduk sana.”

Dengan mengenakan kemeja putih longgar dan celana jeans biru yang memudar, perempuan itu berjalan ke arah Ombo. Meskipun terlihat sangat sederhana, tapi cukup untuk membuat jantung Ombo berdebar kencang. Saat tubuhnya mendarat di kursi kosong yang ada di samping Ombo, tercium aroma bunga clementine yang berpadu dengan citrus dan sentuhan hangat dari vetiver oil, tanpa sadar telah membuat Ombo senyum-senyum sendiri.

“Hai.”

Sontak Ombo terlihat panik dan buru-buru membuang muka.

Dia sadar nggak ya kalau aku lagi memperhatikannya? Gimana ini? Aku harus bales apa? Hai? Nggak, kesannya jutek banget. Hai juga? Nggak, kurang maco.

“Mau nanya, dong. Dosennya udah ngebahas apa aja?”

Belum juga dijawab, tapi kok dia udah nanya lagi, sih? Dia bakal mikir aku sombong nggak, ya? Duh, pengen lihat mukanya, tapi nanti dia kepedean lagi.

“Halo? Kamu bisa denger aku, ‘kan?”

“Hah?” Ombo hanya melihat Kiara melalui sudut pinggir matanya, seperti orang yang sedang ketakutan.

“Emangnya aku sejelek itu, ya?”

“Kamu cantik, kok,” jawab Ombo cepat.

Tanpa sadar, Ombo mengatakannya dengan lantang. Ia bahkan tidak terpikir akan menjadi bahan ejekan orang-orang setelah kelas selesai.

Meski masih kelihatan malu, pelan-pelan Ombo menoleh ke arah Kiara.

Seperti pohon yang menyambut hujan, senyumnya mekar seolah mengajak tersenyum. Inilah pertama kalinya mata mereka saling terpaut.

Hening.

Satu persatu orang di sekeliling kami seolah menghilang. Aku tidak tahu dengannya, tetapi dialah satu-satunya yang kulihat di ruangan ini.

 

***

 

“Hai, Ombo!”

Patricia, satu-satunya senior yang dekat dengan Ombo setelah masa orientasi mahasiswa selesai, menyambutnya saat ia membuka pintu ruangan senat mahasiswa.

“Ketok dulu kali,” Jordi mengeluh dengan nada bercanda.

“Udah di sini aja lu. Ya udah, deh… sorry, ya.”

“Ah, bodo amat. Ganggu aja lu.”

It’s okay. Untung aja kamu datang, jadi aku gak harus lama-lama berduaan sama si Jordi.”

“Ih, kenapa sih Kak Pat? Aku tuh nggak gigit, loh.”

“Nggak gigit, tapi awas ngejar, Kak.”

“Diem, nggak lu? Nggak kok, Kak Pat. Aku udah jinak. Sumpah.”

Meski Jordi berusaha mengatakannya dengan yakin, tapi Patricia tetap saja tidak menggubrisnya. Ia tetap sibuk memainkan laptopnya.

“Oh, katanya ada angkatan kalian yang daftar ke senat, tapi dia gak ikut ospek. Katanya fakultas manajemen bisnis juga, kalian kenal?”

Spontan Ombo dan Jordi saling menatap satu sama lain.

“Gua anak bisnis digital, ya mana tahu. Lu kenal, Om?”

“Apa mungkin…?”

Sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya, terdengar ketukan pintu yang seketika memotong obrolan mereka. Tanpa menunggu ada yang menyahut, orang itu sudah membuka pintu.

“Oh, Remi.”

Remi Jeenawan, laki-laki tampan dan cerdas yang menjadi idola seluruh mahasiswa di kampus. Ketua senat dari fakultas bisnis digital itu memiliki guratan wajah tegas yang terkesan dingin, tetapi kepribadiannya sangat hangat.

Hey there, ibu sekretaris,” Remi berbicara lembut kepada Patricia.

“Ada apa, Paketu?” jawab Patricia.

“Kebetulan ada Ombo dan Jordi, gua mau mengenalkan calon anggota baru.”

“Oh, yang lu bilang dia nggak ikut ospek itu, Rem?” sambung Patricia.

“Yap. Mmm… hey, kamu… masuk yuk.”

Perempuan ajaib itu muncul kembali di hadapan Ombo. Tanpa jeda, kedua mata mereka terpaut dengan sendirinya, seperti magnet.

“Coba kenalin diri kamu ke mereka,” ucap Remi.

“Halo, semuanya. Aku Kiara Koswara dari fakultas manajemen bisnis.”

Right. Kiara, ini Patricia, sekretaris senat.”

“Hai, Kiara.”

“Dan, dua cowok di depan kamu ini Ombo sama Jordi, mereka berdua sama-sama mahasiswa baru kayak kamu.”

“Hai, Kiara. I’m Jordi, panggil aja Jo.”

“Hai...” Kiara melambaikan tangannya ke arah Ombo. Alih-alih menanggapi, Ombo justru mematung dan membuat orang-orang di ruangan menatap ke arahnya dengan bingung.

“Gua yang ngomong, woy! Hai-nya malah ke sebelah,” keluh Jordi.

“Ombo, are you okay?” tanya Patricia dengan nada khawatir.

“Ini kayaknya si Ombo lagi terpukau sama kecantikannya Kiara, Kak Pat,” celetuk Jordi.

“Oh, Ombo bisa ngerasa gitu juga, ya? Emang Kiara secantik itu ya, Om?” Patricia sengaja menanyakan hal itu karena ingin membuat Ombo semakin salah tingkah.

“Udah, udah. Pat, Jordi, kalian jangan ngegodain Ombo terus, ah.”

Ombo langsung menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Cukup lama. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk memberanikan diri berbicara kepada Kiara.

“Hai, Kiara.”

 

***

 

Tidak lama setelah Ombo duduk di taman kampus menunggu Jordi dengan frustasi, seseorang datang dengan aroma tubuh yang familier. Ombo yang sedang dalam keadaan kesal, lantas memilih mengabaikan. Ia melanjutkan kegiatannya membaca novel.

“Tempat di sebelah kamu itu untuk duduk, ‘kan?”

“Bukan,” Ombo menjawabnya dengan ketus, bahkan ia tidak sudi menatap wajah lawan bicaranya.

“Jutek amat, sih.”

“Ya lagian udah tahu buat duduk, ngapain pake nanya.”

Tingkat kekesalan Ombo sudah mencapai puncaknya. Lantas ia mendongak dan melemparkan pandangan tak bersahabat, tanpa tahu bahwa seseorang yang berdiri di hadapannya adalah Kiara.

“Kiara?”

Lihat selengkapnya