MAX. 25 TAHUN

Ara Segara
Chapter #4

Luka & Sepi

Kekacauan di ruang gawat darurat adalah pemandangan yang sudah biasa, apalagi saat ini ia berada di rumah sakit yang sama di mana dokter memvonisnya tumor otak. Seiring berjalannya waktu, Ombo pun menjadi terbiasa dengan suasana rumah sakit.

Begitu mendapatkan telepon, Ombo langsung datang, tanpa berpikir dua kali. Ia mengamati ruang gawat darurat saat seorang perawat memberi tahu bahwa Kiara berada di balik tirai yang ditutup untuk menjaga privasi. Timbul perasaan ragu untuk menghampirinya. Dari kejauhan, Ombo berdiri sambil berpikir. Cukup lama.

“Ombo?”

Kenta menepuk pundaknya dari belakang. Ombo terlihat cukup terkejut karena tadi ia tidak melihat Kenta ada di sekitar lantai ini.

“Akhirnya lu datang juga.”

“Bang Ke, ada di sini? Terus kenapa tadi aku dapet telepon dari rumah sakit buat diminta jadi walinya Kiara? Maksudnya, Bu Kia.”

Kenta tersenyum seolah tahu ada sesuatu di antara Ombo dan Kiara.

“Bu Kia pengennya lu, Ombo.”

“Kiara masih punya bapak dan adik, apa dia nggak bilang?”

Kenta menggeleng.

“Sebenernya apa yang terjadi sama Kiara? Bu Kia. Sorry.”

It’s okay if you feel uncomfortable. Lu bisa panggil Bu Kia dengan namanya kalau di depan gua.”

Ombo mengangguk kecil, “Kiara kenapa?”

“Dari sore tadi sampe kafe mau tutup, Bu Kia duduk lama banget di meja bar. Mukanya kayak orang depresi. Ya karena gua worries, gua tanya dong dia kenapa, ada masalah apa.”

“Terus Kiara cerita ke Bang Ke?”

Nope. Bu Kia cuma minta dibuatin hot latte with brown sugar.”

Ombo langsung menghembus napas kesal. Jika Kiara melakukannya dengan sengaja, maka Ombo benar-benar marah dengan Keputusan Kiara untuk menyakiti diri sendiri.

Kenapa kamu nggak membiarkan aku hidup dengan tenang tanpa kamu?

Tapi, apa aku pernah merasa tenang barangkali hanya sehari?

“Ombo? Lu masih dengerin gua, ‘kan?”

“Ya, masih, kok.”

“Iya, jadi setelah dia minum latte itu tiba-tiba dia kayak sesak napas gitu. Ngomong aja susah. Kayak lagi kehabisan oksigen, ngeri banget lihatnya.”

“Kiara alergi susu.”

“Huh?”

Kenta menatap Ombo tak percaya. Tampaknya ia masih mencerna ucapan Ombo, dan mencoba memprosesnya dengan kenyataan. “Tunggu, ini maksud lu… Bu Kia tahu kalau dia alergi susu, tapi tetep dia minum? Wah, udah gila. Mau bunuh diri tuh orang.”

“Ini bukan pertama kalinya.”

You must be kidding me?

Ombo memalingkan wajah, tidak berani menanggapi. Di hadapannya, Kenta menatapnya seolah menunggu jawaban bahwa apa yang ia katakan hanyalah kebohongan.

Tapi, bukankah kenyataannya sudah jelas di depan mata?

“Udah lu samperin, deh. Sana. Gua nggak mau berurusan sama cegil alias cewek gila,” Kenta mengucapkannya setengah berbisik.

“Bang Ke nggak mau nengok dulu gimana keadaannya Kiara sekarang?”

Kenta tersenyum canggung. “Gua udah tahu ujungnya bakal ke mana. Bu Kia pasti kesenengan lihat lu.”

“Huh?”

That was her mission.”

 

***

 

Dengan perasaan ragu, Ombo menyingkap tirai dan melihat Kiara dengan rambut panjangnya yang diikat ke atas sedang berbaring lemas di atas tempat tidur rumah sakit. Jika Kiara menyakiti dirinya agar Ombo merasa kasihan kepadanya, sepertinya Kiara berhasil.

Kedua mata sayu itu mendaratkan tatapan kepada Ombo. Tangannya bergerak cepat melepas masker oksigen, sontak membuat Ombo tak bisa menyembunyikan rasa khawatir di wajahnya.

“Bisa nggak kamu berdirinya lebih deket lagi?”

Pikiran Ombo sudah ingin menjauh dari perempuan gila ini, tetapi tubuhnya mendekat lebih cepat dari pikirannya.

Sial.

“Kenapa kamu, huh?” tanya Ombo ketus.

“Kamu tahu kenapa,” Kiara menjawab ringan.

“Aku nggak tahu. Seorang manajer harus bisa menjelaskan kepada bawahannya, ‘kan? Karena bawahan nggak tahu apa-apa tentang atasannya kalau dia nggak ngomong.”

“Sarkas. Kayak bukan kamu.”

“Aku nggak akan sarkastis, kalau kamu nggak berulah kayak gini.”

“Ombo—”

“Aku udah pernah bilang sama kamu, jangan nyakitin diri kamu sendiri secara sengaja kayak gini. Kamu mau cari perhatian? Fine, bikin video joget pake baju seksi terus upload di media sosial, aku jamin kamu dapet perhatian dalam semalam.”

“Ombo, aku nggak sebodoh itu kalau sekedar buat cari perhatian.”

“Ya, karena kamu lebih bodoh dari yang kamu pikirin. Ngapain kamu sengaja minum latte yang jelas-jelas ada kandungan susunya dan bikin kamu hampir mati? Apa yang lebih bodoh dari bunuh diri, huh?”

Saat Kiara mulai mencerna kata-kata Ombo, matanya bak kaca retak yang siap pecah. Ia tahu apa yang ia lakukan adalah salah, dan tidak ada pembenaran untuk itu.

“Cuma dengan cara ini aku bisa ketemu kamu lagi. Ini satu-satunya hal yang ada di pikiran aku buat tahu apakah kamu masih peduli sama aku atau enggak,” ucap Kiara dengan wajah memelas.

“Semakin kamu ngejelasin, semakin jelas kebodohan kamu di mata aku. Kamu tahu nggak? Di luar sana banyak orang yang bener-bener sekarat karena penyakit parah atau kecelakaan? Apa kamu nggak punya rasa peduli sama mereka? Dengan egoisnya kamu buang-buang waktu dokter dan perawat di sini dengan menjadikan aku sebagai alasan.”

“Maafin aku, Om. Maaf aku udah pilih cara yang salah buat ketemu kamu.”

Lihat selengkapnya