12 tahun lalu.
Di jantung Ibu Kota negara, terdapat SMA negeri terbaik yang tidak hanya dipenuhi oleh anak-anak yang mengandalkan kecerdasan, tetapi juga anak-anak yang mengandalkan koneksi dan uang dari orang tua mereka. Tentu saja Ombo menjadi golongan yang pertama.
Setelah melewati masa orientasi siswa, sudah cukup membuat Ombo membayangkan banyak hal. Kebebasan hidup anak remaja yang beranjak dewasa, bertemu orang-orang baru yang memiliki pandangan hidup yang jauh berbeda darinya, juga senyum dan tawa yang memenuhi hari-harinya, membuatnya tidak bisa berhenti tersenyum.
Hari pertamanya resmi menjadi seorang siswa SMA, ia pikir tidak ada yang istimewa yang akan terjadi di kampus. Ternyata takdir menemukan jalannya sendiri. Hari itu menjadi kali pertamanya bertemu dengan Kiara.
Ombo yang sangat antusias menjalani pelajaran matematika pertamanya di kelas, tidak pernah sedetik pun mengalihkan pandangannya dari sang guru. Setiap kata yang keluar dari mulut gurunya terdengar sangat manis. Namun, itu tidak berlangsung lama sampai perempuan ajaib itu muncul.
Perempuan itu membuka pintu ruangan kelas seolah sengaja mendobraknya. Dalam sekejap, perempuan itu mengalihkan pandangan semua orang mengarah kepada dirinya, termasuk Ombo.
“Maaf, Pak. Saya terlambat masuk ke kelas Bapak.” Perempuan itu mengucapkannya sambil menahan napasnya terengah-engah seperti baru saja selesai lari maraton.
“Ya sudah, tidak apa-apa. Duduk sana.”
Dengan mengenakan seragam yang warnanya agak memudar, perempuan itu berjalan ke arah Ombo. Meskipun terlihat sangat sederhana, tapi cukup untuk membuat jantung Ombo berdebar kencang. Saat tubuhnya mendarat di kursi kosong yang ada di samping Ombo, tercium aroma bunga clementine yang berpadu dengan citrus dan sentuhan hangat dari vetiver oil. Ombo sangat suka dengan pilihan parfum perempuan itu.
“Hai.”
Sontak Ombo terlihat panik dan buru-buru membuang muka.
Dia sadar nggak ya kalau aku lagi memperhatikannya? Duh, gimana ini? Aku harus bales apa? Hai? Nggak, kesannya jutek banget. Hai juga? Ih, jangan, deh. Sok akrab banget.
“Mau nanya, dong. Tadi udah absen belum, ya?”
Huh? Dia nanya apa? Duh, nggak focus banget sih lu, Ombo. Sekarang dia pasti bakal mikir aku sombong. Nengok aja kali, ya? Pengen lihat mukanya, tapi nanti dia kepedean lagi.
“Halo? Kamu bisa denger aku, ‘kan?”
“Hah?” Ombo hanya melihat Kiara melalui sudut pinggir matanya, seperti orang yang sedang ketakutan.
“Emangnya aku sejelek itu, ya?”
“Kamu cantik, kok,” jawab Ombo cepat.
Tanpa sadar, Ombo mengatakannya dengan lantang. Ia bahkan tidak terpikir akan menjadi bahan ejekan orang-orang setelah kelas selesai.
Meski masih kelihatan malu, pelan-pelan Ombo menoleh ea rah Kiara. Seperti pohon yang menyambut hujan, senyumnya mekar seolah mengajak tersenyum. Inilah pertama kalinya mata mereka saling terpaut.
Hening.
Satu persatu orang di sekeliling kami seolah menghilang. Aku tidak tahu dengannya, tetapi dialah satu-satunya yang kulihat di ruangan ini.
***
“Hai, Ombo!”
Patricia, satu-satunya kakak kelas yang dekat dengan Ombo setelah masa orientasi siswa selesai, menyambutnya saat ia membuka pintu ruang OSIS.
“Ketok dulu kali,” Jordi mengeluh dengan nada bercanda.
“Udah di sini aja lu. Ya udah, deh… sorry, ya.”
“Ah, bodo amat. Ganggu aja lu.”
“It’s okay. Untung aja kamu datang, jadi aku gak harus lama-lama berduaan sama si Jordi.”
“Ih, kenapa sih Kak Pat? Aku tuh nggak gigit, loh.”
“Nggak gigit, tapi awas ngejar, Kak.”
“Diem, nggak lu? Nggak kok, Kak Pat. Aku udah jinak. Sumpah.”
Meski Jordi berusaha mengatakannya dengan yakin, tapi Patricia tetap saja tidak menggubrisnya. Ia tetap sibuk memainkan ponselnya.
“Ombo…” Patricia menaruh ponselnya, lalu menatap Ombo. “…katanya ada anak baru di kelas kamu, ya? Tadi siang dia datang ke sini, dan pengen gabung jadi anggota OSIS. Cantik deh anaknya.”
“Woah… giliran cewek cantik, lu nggak bilang-bilang. Mau lu gebet, ya?” Jordi menggoda Ombo.
“Apaan, sih… gua tuh—”
Sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya, terdengar ketukan pintu yang seketika memotong obrolan mereka. Tanpa menunggu ada yang menyahut, pintu itu sudah dibuka.
“Oh, Remi.”
Remi Jeenawan, laki-laki tampan yang merupakan atlet populer di sekolah. Tentu saja ia menjadi idola hampir seluruh siswa di sekolah. Ketua OSIS yang memiliki guratan wajah tegas yang terkesan dingin itu sebenarnya memiliki kepribadian yang hangat. Semua orang ingin berteman dengannya, tetapi tidak semua orang bisa menjadi temannya.
“Hey there, ibu sekretaris.” Remi berbicara lembut kepada Patricia.
“Ada apa, Paketu?” jawab Patricia.
“Kebetulan ada Ombo dan Jordi, gua mau mengenalkan calon anggota baru.”
“Oh, yang lu bilang dia itu aslinya orang Bandung ya, Rem?” sambung Patricia.
“Yap. Mmm… hey, kamu… masuk yuk.”
Perempuan ajaib itu muncul kembali di hadapan Ombo. Tanpa jeda, kedua mata mereka terpaut dengan sendirinya, seperti magnet.
“Coba kenalin diri kamu ke mereka,” ucap Remi.
“Halo, semuanya. Aku Kiara Koswara.”
“Kiara, kenalin ini Patricia, sekretaris OSIS kita.”
“Hai, Kiara.”
“Dan, dua cowok di depan kamu ini Ombo sama Jordi, mereka berdua sama-sama siswa kelas 10 kayak kamu.”
“Hai, Kiara. I’m Jordi, panggil aja Jo.”
“Hai...” Kiara melambaikan tangannya ke arah Ombo. Alih-alih menanggapi, Ombo justru mematung dan membuat orang-orang di ruangan menatap ke arahnya dengan bingung.
“Gua yang ngomong, woy! Hai-nya malah ke sebelah,” keluh Jordi.
“Ombo, are you okay?” tanya Patricia dengan nada khawatir.
“Ini kayaknya si Ombo lagi terpukau sama kecantikannya Kiara, Kak Pat,” celetuk Jordi.
“Oh, Ombo bisa ngerasa gitu juga, ya? Emang Kiara secantik itu ya, Om?” Patricia sengaja menanyakan hal itu karena ingin membuat Ombo semakin salah tingkah.
“Udah, udah. Pat, Jordi, kalian jangan ngegodain Ombo terus, ah.”
Ombo langsung menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Cukup lama. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk memberanikan diri berbicara kepada Kiara.
“Hai, Kiara…”