Setiap hari adalah hari yang sama, dan peran yang sama. Ombo tetap si pengangguran, dan Tami adalah si pekerja keras. Memandangi Tami sibuk di depan laptop, terkadang membuat Ombo terganggu. Jangankan untuknya, bahkan Tami tidak punya waktu untuk memperhatikan diri sendiri.
“Rambut kamu agak ganggu nggak, sih?”
“Hemm?”
“Sini, aku ikat, ya.”
Ombo bangkit berdiri, kemudian menyisir rambut Tami dengan jari jemarinya dan mengikatnya agar membuat Tami lebih nyaman.
Tami menengadahkan mukanya ke arah Ombo. Spontan Ombo tersenyum saat melihat Tami tidak bisa menahan senyumannya karena salah tingkah sendiri.
“Ada apa, sih? Out of nowhere, kamu tiba-tiba jadi sweet gini.”
“Loh, emangnya selama ini aku nggak pernah sweet ke kamu?” Ombo menanggapi seperti seorang yang sedang tersinggung. Lantas ia kembali duduk di samping Tami.
“Pernah, sih. Itu juga waktu awal-awal pacaran aja.”
“Masa?”
Tami mengangguk dengan wajah menggemaskan.
“Jadi, menurut kamu, aku ikatin rambut kamu itu sweet?”
“Iyalah, hal-hal kecil kayak gini tuh lebih berarti buat aku daripada obsesi kamu yang pengen belanjain aku barang-barang branded. Actions speak louder than words, Mas.”
Ombo tahu akan hal itu, tapi tetap saja harga dirinya akan jatuh jika ia tidak bisa setara dengan Tami. Tiga tahun lalu, saat Ombo meminta Tami menjadi kekasihnya, ia mengira akan bisa melampaui Tami sebelum usianya 25 tahun. Namun, kenyataan ia menjadi seorang pengangguran justru menjatuhkan harapannya di depan Tami.
“Mas?”
Tami memanggil Ombo dengan lembut, di saat bersamaan tangannya menggenggam tangan kekasihnya. Sepanjang mereka berhubungan, sepertinya ini kali pertama Ombo merasakan hatinya bergetar karena sentuhannya.
“Aku minta maaf karena selama ini aku lebih mementingkan klienku daripada kamu. Setelah aku pikir-pikir, kayaknya aku terlalu sibuk sama kerjaan dan jarang punya waktu buat kamu. Jadi…” Tami menjeda seolah ragu akan ucapannya sendiri. “…mmm… aku berpikir pengen ambil cuti supaya bisa quality time bareng kamu. Gimana?”
“Huh?” Ombo cukup terkejut mendengarnya, tapi ia buru-buru menggeleng. “Jangan, Tam.”
“Jangan?” Tami mengerutkan alisnya. “Jangan apa, Mas?”
“Jangan ambil cuti,” jawab Ombo.
“Loh, kenapa jangan?”
“Karena kayaknya aku yang bakalan nggak punya waktu buat kamu.”
Tami menyipitkan matanya sambil menatap Ombo. “Why? Kamu mau ngapain? Jangan aneh-aneh, deh. Aku tuh—”
“Enggak. Bukan gitu, dengerin aku dulu, Tam,” sela Ombo.
Tami memutar bola matanya sambil menghembuskan napas kencang. “Fine. I’m listening now.”
“Aku dapet kerja.” Ombo mengucapkannya dengan begitu singkat, tanpa basa-basi.
Ini cukup mengejutkan dan membuatnya hampir tak percaya. Tami sempat tercengang beberapa detik sebelum akhirnya memberikan senyuman kepada Ombo. “Wow… congratulations! I’m proud of you, Mas!”
Ombo sangat senang begitu Tami memberikan pelukan hangat kepadanya. Kalimat sederhana yang keluar dari mulut kekasihnya, cukup membuatnya merasa tersanjung. “Makasih, Tam.”
Tami yang masih merasa tak percaya sekaligus penasaran, lantas melepas pelukannya. “Mas, kalau aku boleh tahu, kamu kerja di mana? Jadi apa?”
Senyum di wajahnya seketika memudar begitu pertanyaan itu muncul. Ia berpikir sejenak sebelum menjawab. Banyak sekali skenario yang tertulis di kepalanya, antara mengatakan yang sejujurnya atau berbohong demi menyelamatkan harga dirinya sebagai seorang lelaki di hadapan Tami.
“Mas? Kok, diam?” tanya Tami lembut.