MAX. 25 TAHUN

Ara Segara
Chapter #5

Beri Kesempatan

Terdengar suara Patricia memerintahkan kru untuk mengatur set dan properti secara berkala, sementara Tami tetap berdiri dengan senyuman dan mata menawan yang memancar, tanpa terganggu suara lantang Patricia. Ia terpaku pada sebuah kamera DSLR yang berbaring santai di atas sofa.

“Apa kamu lagi meditasi di sini? While everyone is busy with their own stuff, huh?” suara bosnya menarik Tami keluar dari lamunannya, mendorongnya untuk mengembalikan senyuman dan kembali ke perannya sebagai staf marketing di situ.

“Sorry, Kak.”

“Aku gak pernah ngerti kenapa kamu rela mengubur mimpi kamu jadi fotografer, cuma buat jadi staf marketing di sini,” Patricia terus mengagumi pesona dari adik sahabatnya itu. Andai ia seorang pria, mungkin ia tidak akan ragu untuk mengejar dan merebutnya dari Ombo.

Tami menurunkan pandangan, merenungi ucapan bosnya. Tak lama, ia menoleh ke arah Patricia sambil tersenyum, “Semua pekerjaan baik, kok. Lagi pula, kalau aku nggak kerja di sini, aku nggak akan punya bos sebaik Kak Pat,” ucapnya setengah bergurau.

You don’t need a boss, you have to be a boss.”

I can’t, aku nggak sekaya Kak Pat.”

Patricia tertawa kecil, “That’s not what I meant. Kamu tahu, ‘kan?”

Tami menghembus napas berat, “Kak Pat tahu sendirilah, Kak Remi benci banget sama daddy karena dulu beliau rela ninggalin keluarganya demi jadi fotografer profesional di luar negeri.”

“Remi tuh iri aja sama daddy-nya, soalnya dia nggak bisa tuh berhadapan sama cewek-cewek seksi,” kata Patricia bergurau.

Tami tersenyum, “Let say, ini yang Kak Remi mau.”

“Terus, gimana sama maunya kamu? Apa yang kamu mau?”

Seketika Tami tak bisa berkata-kata. Ada satu kalimat yang ia harap bisa keluar dari mulutnya, tapi lidahnya kaku seolah menolak bersuara.”

Well, seumur hidup itu perjalanan yang panjang. Kamu harus yakin sama siapa dan apa yang kamu lakukan sepanjang perjalanan itu,” lanjut Patricia.

“Tapi, kayaknya… semuanya udah terlambat. Tahun ini umur aku udah dua puluh lima, udah ketuaan buat ngejar mimpi.”

“Siapa bilang? Terlambat itu kalau kamu udah mau meninggal, dan kamu punya penyesalan. Menyesal nggak mengatakan ini, menyesal nggak melakukan itu, menyesal karena kamu nggak bisa mengubah apa pun. Itu yang namanya terlambat.”

Tami terdiam merenungi kata-kata Patricia. Bahkan, hingga hari ini, Tami masih diselimuti oleh dilema: apakah mimpiku akan mendapat dukungan dari orang-orang terdekatku? Bagaimana jika itu justru membuatku kehilangan orang-orang terdekatku?

“Miss Patricia, sorry ganggu.”

Tiba-tiba salah seorang kru menghampiri dengan wajah gelisah.

“Ya, kenapa?”

“Tadi Pak Agil dapat kabar kalau istrinya yang lagi hamil kecelakan motor, terus dia langsung pamit buat ke rumah sakit.”

“Ya udah, kita punya tiga kameraman, ‘kan? Ada Yudha sama Riko.”

“Iya, tapi—”

“Jangan bilang mereka cuti hari ini?”

Kru itu terdiam, kemudian menunduk dengan muka takut.

“Ini gimana, sih?” Patricia langsung naik pitam. “Kok, bisa-bisanya mereka dikasih izin cuti di hari yang sama? Terus sekarang, gimana? Pemotretannya harus hari ini, soalnya talent kita tuh artis terkenal, nggak mungkin kita main re-schedule aja.”

“Gimana kalau aku aja yang motret-nya, Kak?”

Meski tahu pekerjaan impian Tami adalah menjadi fotografer, Patricia tetap saja terkejut saat Tami berceletuk tanpa pikir panjang seperti itu.

“Hari ini kita cuma pemotretan, dan bikin konten Reksa Dana buat media sosial aja, ‘kan? Aku bisa gantiin Pak Agil, if you don’t mind, of course.”

Are you sure?”

Tami menghela napas dalam-dalam, “Hemm,” jawabnya sambil mengangguk.

 

***

 

Dua pasang mata tak berhenti menatap satu sama lain di dalam kafe yang begitu luas dan ramai oleh pengunjung. Kiara duduk di meja bar, berpura-pura bertanya kepada beberapa barista mengenai kopi. Di situ, ada Kenta yang senyum-senyum sendiri melihat Kiara yang sengaja datang untuk memerhatikan Ombo.

Meski ini hari pertamanya bekerja sebagai pelayan di kafe, Ombo mampu melakukan pekerjaannya dengan baik. Hanya saja, matanya terus tertuju ke arah Kiara. Ia tidak nyaman karena Kiara terus memperhatikannya, hingga ia pun memutuskan untuk menghampiri Kiara.

“Apa kamu nggak ada kerjaan lain selain berdiri di sini?”

Seketika para barista menoleh ke arah Ombo dengan muka bingung. Mungkin mereka agak kaget melihat ada karyawan yang berbicara sekasar itu kepada manajernya.

Tami tersenyum puas. Lantas ia mendekatkan wajahnya ke depan wajah Ombo, “Apa kamu lagi mengumumkan hubungan kita ke semua orang di kafe ini?” ucapnya pelan. “Have some manners, please.”

“Maaf, Bu Kiara,” Ombo mengucapkannya dengan nada kesal.

“Maaf diterima. Sekarang kamu boleh kembali kerja.”

Ombo memutar bola matanya sambil menghembuskan napas panjang.

“Kiara?”

Saat Ombo berbalik ke belakang, sudah ada Jordi berdiri di hadapannya. Jordi tercengang melihat Kiara, persis seperti sedang melihat mayat hidup berdiri di depannya.

Kiara tak kalah terkejut melihat Jordi muncul di hadapannya. Itu bukan keterkejutan yang baik, justru sebaliknya.

 

***

 

Beberapa menit lalu, Jordi berencana memberikan kejutan kepada Ombo dengan datang ke kafe untuk menyemangati sahabatnya. Namun, ia menjadi satu-satunya yang terkejut melihat Kiara yang secara tiba-tiba kembali ke kehidupan Ombo.

Dongkol, Jordi menarik kursi hingga berdecit kencang. Ia mencoba untuk mengintimidasi Ombo, meski wajah mulus yang memiliki guratan feminine itu sama sekali tidak mendukung perannya.

Lihat selengkapnya