Terdengar suara Patricia memerintahkan kru untuk mengatur set dan properti secara berkala, sementara Tami tetap berdiri dengan senyuman dan mata menawan yang memancar, tanpa terganggu suara lantang Patricia. Ia terpaku pada sebuah kamera DSLR yang berbaring santai di atas sofa.
“Apa kamu lagi meditasi di sini? While everyone is busy with their own stuff, huh?” suara bosnya menarik Tami keluar dari lamunannya, mendorongnya untuk mengembalikan senyuman dan kembali ke perannya sebagai staf marketing di situ.
“Sorry, Kak.”
“Aku gak pernah ngerti kenapa kamu rela mengubur mimpi kamu jadi fotografer, cuma buat jadi staf marketing di sini.” Patricia terus mengagumi pesona dari adik sahabatnya itu. Andai ia seorang pria, mungkin ia tidak akan ragu untuk mengejar dan merebutnya dari Ombo.
Meski merasa tertusuk oleh kata-kata bosnya, Tami berusaha tetap tersenyum. “Semua pekerjaan baik, kok. Lagi pula, kalau aku nggak kerja di sini, aku nggak akan punya bos sebaik Kak Pat,” ucapnya setengah bergurau.
“You don’t need a boss, you have to be a boss.”
“I can’t, aku nggak sekaya Kak Pat.”
Patricia tertawa kecil. “That’s not what I meant. Kamu tahu, ‘kan?”
Tami menghembus napas berat. “Kak Pat tahu sendirilah, Kak Remi benci banget sama papi karena dulu beliau rela ninggalin keluarganya demi jadi fotografer profesional di luar negeri.”
“Remi tuh iri aja sama papinya, soalnya dia tuh nggak bisa berhadapan sama cewek-cewek seksi,” kata Patricia bergurau.
Tami tersenyum pahit. “Let say, ini yang Kak Remi mau.”
“Terus, gimana sama maunya kamu? Apa yang kamu mau?”
Seketika Tami tak bisa berkata-kata. Ada satu kalimat yang ia harap bisa keluar dari mulutnya, tapi lidahnya kaku seolah menolak bersuara.
“Well, seumur hidup itu perjalanan yang panjang. Kamu harus yakin sama siapa dan apa yang kamu lakukan sepanjang perjalanan itu,” lanjut Patricia.
“Tapi, udah terlambat nggak sih, Kak? Tahun ini umur aku udah dua puluh lima, kayaknya udah ketuaan banget deh buat ngejar mimpi.”
“Siapa bilang? Terlambat itu kalau kamu udah mau meninggal, dan kamu punya penyesalan. Menyesal nggak mengatakan ini, menyesal nggak melakukan itu, menyesal karena kamu nggak bisa mengubah apa pun. Itu yang namanya terlambat.”
Tami terdiam merenungi kata-kata Patricia. Bahkan, hingga hari ini, Tami masih diselimuti oleh dilema: apakah mimpiku akan mendapat dukungan dari orang-orang terdekatku? Bagaimana jika itu justru membuatku kehilangan orang-orang terdekatku?
“Miss Patricia, sorry ganggu.”
Tiba-tiba salah seorang kru menghampiri dengan wajah gelisah.
“Ya, kenapa?”
“Tadi Pak Agil dapat kabar kalau istrinya yang lagi hamil itu kecelakan motor, terus dia langsung pamit buat ke rumah sakit.”
“Ya udah, kita punya tiga kameraman, ‘kan? Ada Yudha sama Riko.”
“Iya, tapi—”
“Jangan bilang mereka cuti hari ini?”
Kru itu terdiam, kemudian menunduk dengan muka takut.
“Ini gimana, sih?” Patricia langsung naik pitam. “Kok, bisa-bisanya mereka dikasih izin cuti di hari yang sama? Terus sekarang, gimana? Pemotretannya harus hari ini, soalnya talent kita tuh artis terkenal, nggak mungkin kita main re-schedule aja.”
“Gimana kalau aku aja yang motret-nya, Kak?”
Meski tahu pekerjaan impian Tami adalah menjadi fotografer, Patricia tetap saja terkejut saat Tami berceletuk di hadapan karyawan lain tanpa berpikir panjang.
“Hari ini kita cuma pemotretan, dan bikin konten Reksa Dana buat media sosial aja, ‘kan? Aku bisa gantiin Pak Agil, if you don’t mind, of course.”
“Are you sure?”
Tami menghela napas dalam-dalam. “Ya,” jawabnya dengan penuh keyakinan.
***
Tidak ada yang sempurna saat kamu melakukan sesuatu untuk pertama kalinya. Mungkin itu juga berlaku bagi Ombo, mengingat hari ini adalah hari pertamanya bekerja sebagai pelayan di kafe.
Ombo meletakkan dua gelas minuman di meja. “Ice matcha latte dan hot americano.”
“Sorry, tapi kayaknya tadi saya pesannya cappuccino sama long black, deh,” ucap pelanggan dengan wajah bingung.
“Mas, ice matcha latte dan hot americano di sini!” teriak seorang pria di meja yang berjarak dua meja dari tempat Ombo berdiri.
“Atas nama pegawai saya, saya mohon maaf kepada Bapak dan Ibu.” Kiara muncul dengan permintaan maafnya yang begitu lembut dan sopan sehingga membuat pelanggan kafe tersebut tersenyum seolah memaklumi.
“Iya, enggak apa-apa, Bu. Mungkin dia ini baru ya kerja seperti ini?”
Ombo yang merasa malu, hanya bisa menundukkan wajah.
“Ya, ini hari pertamanya magang di kafe ini, jadi tentu saja Ombo ini masih belajar.” Kiara menoleh ke arah Ombo, lalu menepuk pelan pundaknya. “Ya udah, Ombo kamu kasih minuman ini ke meja sebelah sana, ya,”
Ombo melirik sebentar ke arah Kiara, sebelum ia mengangguk dan memindahkan minuman itu ke meja pelanggan yang memesannya.