MAX. 25 TAHUN

Ara Segara
Chapter #6

Dream Job

Jordi meletakkan piring makanannya dan duduk di hadapan sahabatnya, Ombo, yang tampak sangat tertekan. Wajah tampannya terlihat sangat lelah seolah-olah ia sudah tidak tidur selama beberapa hari. Jordi sangat mengenal Ombo, lebih dari mengenal dirinya sendiri. Ia sadar betul jika Ombo tidak dapat menemukan jawaban atas pertanyaannya, ia akan kesulitan tidur dan tidak berselera untuk makan.

Ini bukan tentang insomnia atau adanya masalah pencernaan dalam tubuhnya, melainkan Kiara. Jika Ombo mulai mengalami sulit tidur dan sulit makan, maka Kiaralah sumber masalahnya.

“Nggak tidur lu semalem?”

“Sedikit kurang tidur aja, Jor,” Ombo menjawab sambil mendorong piringnya sedikit menjauh.

Melihat kelakuan Ombo, Jordi langsung mendesah kesal. Kali ini, tampaknya Jordi tidak dapat menahan kekesalannya karena sesuatu yang dipikirkan Ombo, juga harus dipikirkannya. Jika tidak, ia takut tumor dalam otak Ombo muncul kembali, dan tumbuh menjadi lebih parah dari sebelumnya.

“Om, liburan ke bandung, yuk? Udah lama lu nggak pulang kampung, ‘kan?”

“Terus kerjaan gua gimana?”

“Izin aja.”

“Gua baru kerja seminggu, Jor.”

“Ya udah, resign aja.”

Ombo langsung memberi tatapan tajam, “Gua aja belum ngerasain gaji pertama gua jadi waiter, dengan entengnya lu nyuruh gua resign? Dah gila lu.”

“Abis lu kayak zombie, sih. Lagian, emangnya Tami nggak masalah kalau lu ketemu Kiara tiap hari?”

“Enggak, dia santai aja. Lagian kalau Tami ngelarang, gua bakalan tetep kerja di situ, sih.”

Why? Lu masih berharap bisa balikan sama Kiara?”

Ombo tidak menyangkal, tapi juga tidak membenarkan. Ia terdiam. Cukup lama, hingga akhirnya mengatakan, “Bulan lalu gua ambil pinjol, Jor.”

Sontak Jordi tersedak, lantas ia buru-buru meminum air di gelasnya sampai habis tak tersisa.

“Nggak apa-apa lu, bro?”

“Bra, bro, bra, bro! Gua heran, yak. Ada aja gebrakan baru lu yang rasanya bikin kepala gua mau meledak. Buat apa lu pinjem duit online gitu, Om? Lu kalau butuh duit, ngomong aja ke gua. Ini kenapa lu ngasih tutorial cara bikin susah diri sendiri, sih? Huh? Tahu, nggak? Paham, nggak?” Jordi mengomeli Ombo dengan emosi naik-turun.

Relax, Jor. Lu kenapa kayak kesurupan nyokap gua, sih?” balas Ombo enteng.

“Sekarang gua mau nanya, lu minjem berapa, huh?”

“Dikit.”

“Jujur lu.”

“Cuma 50 juta.”

Are fucking kidding me? Lu anak konglomerat, huh? Bisa-bisanya bilang 50 juta itu kecil. Lu mau bayar pake apa, Om? Gimana caranya?”

Ombo mendengus kesal, “Ya, ‘kan ini gua kerja, Jor. Makanya gua udah bilang, gua nggak bisa main resign gitu aja.”

Jordi berdecak heran, sampai menggelengkan kepala. “Gua nggak ngerti jalan pikiran lu. Buat apa sih lu pinjem duit sebanyak itu?”

“Ya menurut lu buat apa? Lu pikir selama dua tahun ini, gimana gua bertahan hidup? Dari mana gua bayar obat-obatan gua kalau bukan dari pinjol, huh?” Ombo mengatakannya dengan nada meninggi. Ia tampak tidak bisa menahan emosinya.

Jordi menghela napas panjang. Kali ini kekhawatirannya bukan hanya tentang uang, tetapi juga tentang kondisi kesehatan Ombo yang kapan saja bisa mengalami penurunan karena stres yang berlebihan.

“50 juta tuh udah sama bunganya?” tanya Jordi lembut.

Ombo menggeleng, “Belum. Bunganya udah setengah dari pinjaman.”

Fine. Gua lunasin.”

Matanya langsung melotot, Ombo tampak sangat terkejut. “Jor…”

“Lu harus janji sama gua kalau lu bakal kerja keras, tapi jangan terlalu keras sama diri lu. Kenapa? Karena lu nggak boleh sakit lagi, dan harus hidup lebih lama buat bayar utang-utang lu ke gua. Paham?”

Ucapan Jordi sangat menyentuh hati sahabatnya, sampai-sampai matanya berkaca-kaca. Ombo merasa ia bukan orang baik yang pantas diperlakukan sebaik itu. Hingga detik ini, ia masih sering bertanya-tanya tentang apa yang pernah ia lakukan hingga bisa mendapatkan sahabat seperti Jordi.

“Yeeeh… malah diem. Paham nggak lu?”

Ombo tersenyum sambil mengangguk. Tak lama, ia buru-buru memalingkan wajah karena tidak bisa menahan air matanya.

 

***

 

Setiap hari akan selalu menjadi hari yang baru, begitulah manusia menenangkan dirinya bahwa akan selalu ada kesempatan baru untuk memulai segalanya. Kesempatan ini pun tidak boleh terbuang sia-sia oleh Ombo.

Waktu sudah menunjukkan jam sepuluh malam, semua lampu di ruangan kafe dimatikan. Alih-alih pulang setelah pekerjaannya selesai, Ombo justru duduk di sudut ruangan kafe. Wajah yang terkena cahaya dari layar laptop itu menampakkan semangat yang membara. Jari jemarinya berusaha bergerak menyentuh keyboard, tapi tidak berhasil. Ia tidak dapat menemukan satu kata pun untuk melanjutkan tulisannya.

“Ah, kenapa sih aku? Apa ini gara-gara aku udah lama nggak nulis, ya?”

Entah sudah berapa lama Ombo tidak bersentuhan dengan sesuatu yang sangat ia cintai. Selain membaca novel, menulis sebuah kisah menjadi novel adalah cinta matinya. Sejak masih duduk di bangku sekolah, ia sudah memiliki impian menjadi seorang penulis.

Dahulu, Ombo berpikir menjadi seorang penulis yang sukses merupakan hal yang mudah. Seiring berjalannya waktu, ia menyadari bahwa tidak ada yang mudah di dunia ini. Bukan hanya dirinya yang sering ditolak oleh banyak perusahaan, novelnya juga sering ditolak oleh banyak penerbit. Meski terluka karena banyak penolakan, ia tidak pernah melupakan mimpinya begitu saja. Bahkan, hingga di usianya yang menginjak dua puluh tujuh tahun, ia masih memimpikannya.

Walaupun, terkadang ia masih bertanya-tanya: Apakah di usiaku saat ini, aku masih pantas untuk mengejar mimpiku? Kalaupun aku harus menyerah, rasanya tanggung. Tapi, kalau aku lanjutkan, belum tentu berhasil. Gimana kalau aku gagal lagi? Bukannya itu cuma buang-buang waktu? Tapi…

Selalu ada kata ‘tapi’ dalam setiap keraguan, itulah mengapa manusia terkadang memutuskan untuk berhenti. Namun, kali ini Ombo memutuskan untuk terus melangkah meski ragu akan sampai tujuan.

“Ayo, Ombo. Semangat, Ombo. They can do it, you can do it, I can do it!”

“Aduh, aduh, enak banget nih makan mie instan jam segini.”

Ombo kaget sekaligus bingung, saat ia melihat Kiara tiba-tiba meletakkan semangkuk mie di meja, lalu duduk di depannya. Hal itu tentu saja langsung membuat darah Ombo bergejolak.

“Aku udah pernah bilang, jauh-jauh dari aku. Udah, deh. Aku lagi nggak mau ribut, mendingan kamu pergi dari sini. Sekarang.”

Kiara menggaruk telinganya seolah sengaja mengabaikan ocehan Ombo. Bukannya beranjak pergi, ia justru menyeruput mie dengan begitu nikmat.

“Hey, halo? Kamu sengaja, ya? Hey, Kiara?”

“Hemm? Kamu ngomong sama aku?” ucap Kiara sambil mengunyah makanan di mulutnya.

Ombo menghela napas, mencoba menahan kekesalannya. “Bisa cari meja lain, nggak? Lagian ngapain makan mie di kafe yang udah tutup? Nggak punya rumah?”

Lihat selengkapnya