Klakson mobil jeep hitam mengilap itu mengagetkan Tami yang tengah asyik duduk melamun sendirian di sebuah bengkel.
“Hai, sister!” Jordi keluar dari mobil sambil menyapa Tami dengan bersemangat.
Tami hanya menanggapi dengan senyuman.
Jordi langsung duduk di samping Tami, lalu merangkulnya, “What’s wrong, sist?”
“Biasa, tiap pake mobilnya Kak Remi, pasti ujung-ujungnya mogok.”
“Bukan mobilnya, tapi kamu. Kamu lagi kenapa?” suara Jordi yang begitu tenang saat bertanya, sontak membuat Tami tidak bisa menyembunyikan perasaannya.
“It’s a bit complicated,” Tami menjawab singkat.
“Ombo, ya? Soal dia nganggur—”
“Kiara itu siapanya Ombo?” potong Tami cepat.
“Huh?” Tentu saja Jordi mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Tami, tapi ia memilih untuk berpura-pura tidak mendengar.
Tami menoleh, menatap Jordi dengan raut wajah serius. “Don’t play with me. Bisa tolong jawab aja, nggak?”
Jordi mengangguk cepat. “Bisa. Bisa banget,” jawabnya dengan ekspresi wajah takut. “Kiara itu mantannya Ombo waktu SMA. Cinta pertamanya.”
“Kenapa dulu mereka putus?” tanya Tami penasaran.
“Yang aku tahu dari pov-nya Ombo sih… Kiara minta putus karena mau kerja sambil kuliah di Bandung. Minta putusnya juga lewat chat doang,” ujar Jordi apa adanya.
Tami mengangguk seolah sedang mencerna semua cerita itu dan menggabungkannya dengan segala kebetulan yang terjadi belakangan ini.
Selang beberapa detik, Jordi langsung menyadari sesuatu. “Tapi, kenapa kamu tiba-tiba tanya tentang Kiara? Tahu Kiara dari mana?”
“Dia manajernya Ombo di kafe,” jawab Tami datar.
“Manajer?” Jordi mengerutkan alis dan hidungnya, merasa bingung, “Ngapain Ombo di kafe?”
“Kamu belum tahu? Ombo kerja jadi waiter di Mix&Max café.”
“Ombo? Kamu lagi ngomongin Ombo yang kita kenal? Mana mau dia kerja jadi pelayan gitu? Gengsilah dia.”
“It is what it is. Mungkin juga itu karena pengaruh dari Kiara. I mean… in a positive way.”
Jordi terdiam sambil terus mencerna informasi yang menurutnya tidak masuk akal ini. Ia merasa sangat mengenal Ombo, dan Ombo yang ia kenal tidak akan mau memiliki ‘peran kecil’ dalam situasi apa pun.
Namun, mengapa kali ini berbeda? Apa kehadiran Kiara begitu berdampak besar dalam kehidupan sahabatnya itu? Setelah semua yang terjadi di masa lalu?
***
“Ini masih awal bulan, yah. Masa uang belanjanya udah tinggal satu juta? Terus akhir bulan nanti kita mau makan apa? Makan angin?” Ibu memarahi ayah yang duduk menunduk di sofa.
Ombo yang dari tadi sudah berdiri di depan pintu dan mendengar semua ucapan ibu, lantas berpura-pura mengetuk pintu. “Assalamualaikum.” Perlahan ia membuka pintu, kemudian langsung bersalaman kepada ibu dan ayah.
Ibu menghela napas panjang, berusaha sekuat tenaga menahan emosinya agar tidak semakin meledak.
Melihat ekspresi wajah ibunya yang masih memendam kekesalan, Ombo melangkah mundur agar berjarak dari ibunya. “Ada apa, bu?”
“Kalau kamu tahu ada apa-apa juga percuma. Nggak bisa bantu,” jawab ibu ketus.
“Gimana bisa bantu kalau Ombo nggak pernah tahu apa-apa? Dari dulu ibu selalu menganggap Ombo itu cuma anak kecil dan nggak pernah kasih kesempatan Ombo buat berbuat apa-apa, bahkan coba buat dengerin pendapat Ombo aja enggak pernah,” balas Ombo dengan emosional.
Ibu menatap tajam Ombo. “Jadi, kamu nggak mau dianggap anak kecil lagi?”
Ombo mengangguk dengan mata berkaca-kaca.
“Kalau gitu kamu harusnya bersikap layaknya orang dewasa. Kerja, bayar makanan kamu sendiri, bayar tagihan listrik rumah, bayar pajak, bayar tagihan Pak RT tiap bulan, bayar semua tagihan hidup itu dengan uang kamu sendiri. Apa kamu sanggup jadi dewasa, huh?”
Seketika Ombo terdiam. Ia mematung sambil menatap wajah ibunya. Bagaimana ibunya tega mengatakan hal itu kepadanya? Apa ibu tidak berpikir bahwa ia juga sudah berusaha melakukan yang terbaik, hanya saja ia selalu gagal. Tidakkah itu terlintas di dalam pikirannya?
“Ombo, Ombo… kenapa kamu itu selalu kayak gini?” Ibu berdecak kesal, “Kalau kamu memang belum bisa membantu keluarga, seenggaknya jangan bikin susah keluarga. Nggak usah ngomong yang macam-macam kalau akhirnya cuma jadi beban pikiran orang tua.”
“Udah, bu…”
“Udah apa?”
Ibu langsung menyahut ucapan ayah hingga membuat ayah diam seribu bahasa.
“Punya dua laki-laki di rumah, tapi nggak bisa apa-apa. Kalau gini terus mendingan ibu tinggal sendirian aja sekalian.” Ibu melengos pergi dengan membawa kekesalannya ke kamar.
Spontan Ombo dan ayah saling menatap satu sama lain. Meski ibu sudah pergi, tapi auranya seolah sudah menyatu dengan ruangan itu sehingga tidak satu pun dari mereka yang berani membuka mulut.
Tanpa mengatakan sepatah kata, Ombo berjalan masuk ke kamarnya. Ia tidak peduli dengan perasaan ayahnya, sama seperti ayahnya yang ia pikir tidak pernah peduli dengan perasaannya.
***