MAX. 25 TAHUN

Ara Segara
Chapter #7

Bisakah Kita Berteman Saja?

Ini sama sekali bukan apa yang ia harapkan.

Ombo tidak pernah membayangkan bahwa ia harus bekerja di bawah kepemimpinan mantan kekasih yang paling ia benci, dan sekarang ia terpaksa menerima bantuan yang ditawarkan oleh Kiara. Semua ini tentu tidak perlu terjadi jika ia mampu menyampingkan egonya, tapi itu suatu hal yang mustahil. Ombo lebih memilih menyelamatkan harga dirinya di hadapan Tami dan Remi, bahkan jika itu berarti ia harus bekerja sama dengan Kiara.

“Kayaknya masih banyak banget kekurangan dari karakter Venusha dan Marshal. Pantas aja kamu nggak bisa menentukan ending buat cerita mereka, soalnya di tiap chapter-nya aja banyak plot hole.”

Ombo tidak bisa menyembunyikan perasaannya, ia merasa tersinggung dengan komentar Kiara. Jika sudah menyangkut novel, ternyata Kiara bisa menjadi kritikus yang lebih kejam daripada Tami.

“Ngomong tuh jangan asal-asalan. Emang kamu yakin udah baca semuanya? Nggak diloncat-loncat? Ah, udahlah kalau nggak bisa bantu, mendingan diam,” katanya dengan kesal.

“Aku udah beneran udah baca semua. Tapi, novel yang kamu tulis ini emang masih banyak banget kekurangannya.”

Ombo tampak semakin kesal, amarahnya mulai bergejolak.

“Maaf kalau kamu kesel karena aku blak-blakan mengkritik tulisan kamu. Tapi, sebuah novel fiksi, harus punya mini-climax dan cliffhanger di setiap chapter-nya. Di novel ini, nggak ada yang bikin orang tertarik buat terus membacanya. Kamu cuma fokus menjelaskan tentang betapa baiknya karakter Marshal, dan betapa jahatnya karakter Venusha. Hitam dan putih, sedangkan karakter harusnya abu-abu supaya pembacanya merasa penasaran.”

Kejujuran dari mulut manis perempuan kejam itu bagaikan tamparan keras di wajahnya. Ombo telah menulis setiap bab dengan hati-hati selama lebih dari setahun. Ia bahkan mengoreksinya untuk memastikan tidak ada kesalahan ketik atau kesalahan kecil lainnya. Tapi, Kiara bilang apa?

“Kamu serius?” tanya Ombo pasrah.

“Tapi, aku bisa lihat konsistensi kamu dalam setiap dialog antar karakter,” jawab Kiara memuji usaha Ombo, berharap bisa sedikit menghibur. “Dalam cerita kamu, udah jelas karakter utamanya Venusha dan Marshal, tapi kayaknya karakter Lunar menarik juga.”

“Apa yang bikin Lunar menarik?”

“Lunar kelihatan kayak princess yang hidup di istana megah, tapi sebenernya dia cuma dijadikan binatang peliharaan yang harus hidup sesuai kemauan owner-nya. Dia kelihatan baik sama Marshal, tapi bukan karena dia jatuh cinta.”

“Terus karena apa?”

“Kamu yang cari tahu sendirilah. Aku juga banyak kerjaan yang harus dipikirin.”

“Ya udah, sih. Aku juga punya pikiran, bisa cari tahu sendiri.”

Ending? Udah kepikiran belum?”

“Mmm… ya…,” Ombo mengangguk, “…belum.”

Kiara menyipitkan matanya, menatap Ombo dengan tampang kesal, “Karakter masih mentah, nggak ada ending, lebih mirip buku harian anak SMA.”

Seketika Ombo merasa diserang brutal oleh pernyataan Kiara. Perempuan itu mengatakannya seolah tanpa mempertimbangkan bagaimana perasaanku terhadap kejujurannya. Jika tatapannya bisa membunuh seseorang, mungkin Kiara sudah mati saat itu juga.

“Aku belum pernah menerbitkan novel secara profesional, gimana bisa aku langsung nulis semua aspek dengan sempurna?”

“Bener banget, makanya kamu harus terus bergerak, terus menulis. Nggak semua orang bisa jadi penulis, tapi aku tahu kamu bisa. Aku percaya kamu bisa, Ombo.”

Ombo mengerjap, hatinya merasa tersentuh. Belum ada orang yang menyatakan bahwa ia bisa. Pun belum pernah ada yang percaya bahwa ia bisa.

Meski merasa terhina, tapi ia justru semakin termotivasi. Kata-kata yang keluar dari mulut perempuan kejam itu membuatnya tidak ingin menyerah begitu saja.

 

***

 

Klakson mobil jeep hitam mengilap itu mengagetkan Tami yang tengah asyik melamun, duduk sendirian di sebuah bengkel.

“Hai, sister!” Jordi keluar dari mobil sambil menyapa Tami dengan bersemangat.

Tami hanya menanggapi dengan senyuman.

Jordi langsung duduk di samping Tami, lalu merangkulnya, “What’s wrong, sist?”

“Biasa, tiap pake mobilnya Kak Remi, pasti ujung-ujungnya mogok.”

“Bukan mobilnya, tapi kamu. Kamu lagi kenapa?” suara Jordi yang begitu tenang saat bertanya, sontak membuat Tami tidak bisa menyembunyikan perasaannya.

It’s a bit complicated,” Tami menjawab singkat.

“Ombo, ya? Soal Kiara dan—”

Ponsel Tami berdering, seketika memotong ucapan Jordi. Tami menghela napas panjang, saat melihat yang menelepon adalah ibunya Ombo.

“Halo, bu?”

“Assalamualaikum, Tami sayang.”

“Oh, ya… waalaikumsalam, bu.”

Lihat selengkapnya