MAX. 25 TAHUN

Ara Segara
Chapter #8

Found Out

Mix&Max café.

Saat langit gelap berganti dengan terang, semesta menyambut hari baru. Harapan baru. Kesempatan baru. Mungkinkah itu berlaku baginya? Ombo ingin sekali percaya bahwa suatu hari nanti ia akan menyambut hari baru itu dengan senyuman.

Namun, mungkin tidak untuk hari ini.

Meski ia tersenyum di hadapan para pelanggan kafe, tapi ia sebenarnya menahan pilu. Memendam perasaannya sendiri. Itu sudah seperti menjadi kebiasaan baginya.

Diam-diam, Kiara memerhatikan Ombo. Ia tahu betul jika Ombo selalu ingin mengatasi segalanya sendirian, tanpa pernah memberikan orang terdekatnya kesempatan untuk menolongnya.

“Tolong! Tolong!”

Terdengar suara seseorang meminta tolong di bagian dapur.

Sontak Kiara berlari ke dapur, di situ ia menemukan salah seorang koki pingsan di lantai. Semua orang menghentikan kegiatan mereka karena terkejut sekaligus panik, sementara Kiara berusaha menunjukkan sikap tenang agar tidak semakin membuat para pegawainya panik.

“Salah satu dari kalian cepat telepon ambulans, dan jangan bikin keributan yang bisa bikin panik para pelanggan di depan.”

“Baik, Bu Kiara.”

“Ini Rendi kenapa, Chef Edi?” tanya Kiara kepada kepala koki kafe.

“Dari tadi pagi mukanya memang sudah pucat, dan dia juga sempat muntah-muntah, Bu. Saya kurang tahu Rendi ini saki tapa atau punya penyakit apa, tapi melihat dia pingsan seperti sekarang… sepertinya keadaannya cukup parah, Bu,” ujar Chef Edi.

Dengan langkah pelan dan tanpa suara, Ombo melangkah masuk ke dapur. Ia sangat terkejut melihat seseorang tergeletak di lantai hingga membuatnya tidak tahan untuk membuka mulutnya. “Itu dia kenapa?”

Spontan Kiara dan Chef Edi menengok ke belakang.

“Astaga, kamu ngagetin aja,” ucap Kiara sambil mengelus dada.

Ombo buru-buru mendekat, “Dia pingsan? Kenapa?”

“Kita belum tahu kenapa, tapi kayaknya kita jadi kekurangan orang di dapur.” Kiara mulai tidak bisa menyembunyikan rasa paniknya. “Chef Edi bisa handle hari ini tanpa asisten, nggak?”

Chef Edi menghembus napas berat. “Seperti saya akan kewalahan, Bu. Kalau usia saya masih dua puluhan, mungkin bukan masalah besar. Masalahnya, saya sudah setengah abad, Bu. Bukannya mau mengeluh, tapi stamina saya agak berkurang.”

“Kalau nggak keberatan, saya bisa jadi asisten Chef Edi buat hari ini,” celetuk Ombo.

Kiara dan Chef Edi langsung menatap Ombo dengan mulut menganga. Keduanya tampak heran sekaligus bingung dengan celetukan Ombo.

Begitu menyadari reaksi mereka berdua, Ombo menjadi merasa malu. Ia pun tertawa canggung untuk menutupi rasa malunya. “Sorry. Cuma mau menawarkan jasa aja. Kalau nggak—”

“Boleh, deh,” sela Kiara. “Chef Edi nggak masalah, ‘kan kalau dibantu sama Ombo?”

“Mmm…” Chef Edi bingung harus menjawab apa. Ia memandang ke arah Ombo sambil berpikir keras, kemudian kembali menatap Kiara, “…kalau ibu nggak masalah, saya juga nggak masalah. Tapi, ibu yakin dia bisa bantu saya di dapur?”

“Bisa, Chef. Saya yakin bisa bantu semaksimal mungkin,” jawab Ombo bersemangat.

Kiara tersenyum lebar. “See? Udah dijawab sendiri sama orangnya, Chef.”

Chef Edi tersenyum sambil menganggukkan kepala seolah memberi izin Ombo untuk menjadi asistennya seharian penuh.

Ombo mungkin telah menjelma menjadi pria yang kaku, dingin dan berjarak dengan siapa pun yang mencoba menghancurkan dinding pembatasnya, tetapi itu tidak serta-merta menghilangkan kebaikan yang ada dalam dirinya.

Di dalam tubuh pria dewasa itu, masih ada anak kecil yang berharap bisa menghidupi mimpinya.

 

***

 

Ong Asset Sekuritas.

Hari kerja adalah hari yang selalu memberikan kejutan bagi banyak orang. Beberapa dari mereka menghadapi omelan pedas dari bos, beberapa mendapatkan teguran karena hasil kerja mereka kurang memuaskan, dan sisanya terpaksa menghadapi klien yang menjengkelkan.

Berbeda dengan para karyawan yang menggunakan jam makan siang mereka untuk mengisi energi, Tami justru duduk terisak-isak di toilet. Cukup lama. Setelah merasa lelah sendiri, ia mulai mengatur napasnya berusaha tenang. Sebelum keluar, ia memastikan wajahnya sudah kering dan rambutnya masih rapi.

Are you done?” Patricia menatap Tami melalui cermin wastafel, sontak membuat Tami terkejut dengan kehadirannya.

“Kak Pat?”

Patricia berbalik menghadap Tami, kemudian tersenyum lembut.

“Sejak kapan Kak Pat ada di sini?”

“Sejak kapan kamu suka nangis di toilet kayak gini?” Patricia bertanya balik dengan nada bercanda.

“Mmm… aku—”

“Apa kamu merasa tertekan bekerja di Ong Asset? Apa aku yang udah bikin kamu tertekan? Atau ada yang ganggu kamu di tim marketing sampai-sampai kamu nggak tahan lagi dan nangis di sini?”

“Enggak, Kak. Ini bukan karena Kak Pat atau orang lain,” Kiara menjawab cepat karena tidak ingin jika Patricia salah paham dengannya, “It’s just me.”

What is it?”

Nothing.”

Patricia memutar bola matanya. “Nothing,” ucapnya mengulang dengan nada mengejek. “Nggak mungkin nothing, kalau kamu—”

I feel nothing,” potong Tami dengan wajah datar.

Patricia agak terkejut dengan pengakuan Tami, tapi ia berusaha memahami.

Lihat selengkapnya