MAX. 25 TAHUN

Ara Segara
Chapter #8

Found Out

Seorang suster membuka pintu ruangan, sontak membuat Kiara bangkit dari duduknya. Terjadi kontak mata di antara mereka, lantas ia berinisiatif berjalan menghampiri suster tersebut.

“Saya Kiara, walinya Ombo, sus.”

“Oh, selamat malam, Bu Kiara.”

“Gimana keadaan, Ombo?”

“Silakan masuk, Bu. Biar dokter Frans yang menjelaskannya kepada Ibu.”

Kiara berjalan memasuki ruangan dengan wajah khawatir sekaligus penasaran. Di situ, tampak dokter Frans sedang mencatat sesuatu di komputer tablet miliknya.

“Permisi, dok.”

Dokter Frans menoleh, “Selamat malam, Ibu. Ini pertama kalinya saya melihat ada seseorang yang menemani Bapak Ombo ke rumah sakit.”

“Gimana keadaan Ombo, dok? Dia sakit apa?” tanya Kiara mengalihkan pembicaraan.

“Untung saja tadi saya sempat melihat Pak Ombo saat sempat mau pulang, dan untungnya juga keadaan Pak Ombo tidak kembali seperti semula. Pak Ombo hanya kelelahan dan sepertinya terlalu banyak pikiran, makanya daya tahan tubuhnya menurun lagi.”

“Maksudnya nggak kembali seperti semula itu apa, dok?”

Terjadi jeda lama sebelum akhirnya dokter Frans menjawab, “Saya adalah dokter spesialis bedah saraf, dan Pak Ombo adalah pasien saya selama dua tahun belakangan ini.”

Kiara mengernyitkan kening, berusaha mencerna kata-kata dokter Frans yang lebih seperti teka-teki baginya. “Maaf, dokter. Tapi, apa dokter bisa langsung aja ke intinya? Sebenernya Ombo sakit apa?”

Dokter Frans menatap ke arah Ombo seolah meminta persetujuan. Cukup lama, hingga ia menghela sepenggal napas dan kembali menatap Kiara.

“Dua tahun lalu, Pak Ombo adalah pasien yang saya vonis terkena tumor otak stadium akhir.”

Kiara mematung. Mulutnya setengah menganga, wajahnya pucat pasi, dan telapak tangannya mulai terasa dingin. Rasa takut bercampur rasa bersalah terlukis di wajahnya. Ia tidak tahu harus bersikap bagaimana setelah menerima informasi ini.

Bayangkan saja, ia pernah memutuskan hubungannya dengan Ombo secara sepihak, tanpa meninggalkan apa-apa, kecuali luka yang teramat dalam. Setelah lima tahun berlalu, ia bertemu kembali dengan mantannya hanya untuk menemukan kenyataan pahit bahwa mantannya menderita tumor otak.

Tentu saja ini membuat Kiara bertanya-tanya: Apakah ini salahku? Apakah aku yang sudah menyebabkan Ombo sakit sampai separah ini? Apakah semua penderitaan yang dialami Ombo adalah kesalahanku? Andai saja kami tidak pernah menjalin hubungan. Andai saja saat itu tidak pernah ada cinta.

Andaikan, kami tidak pernah bertemu.

 

***

 

Ong Asset Sekuritas.

Hari kerja adalah hari yang selalu memberikan kejutan bagi banyak orang. Beberapa dari mereka menghadapi omelan pedas dari bos, beberapa mendapatkan teguran karena hasil kerja mereka kurang memuaskan, dan sisanya terpaksa menghadapi klien yang menjengkelkan.

Berbeda dengan para karyawan yang menggunakan jam makan siang mereka untuk mengisi energi, Tami justru duduk terisak-isak di toilet. Cukup lama. Setelah merasa lelah sendiri, ia mulai mengatur napasnya berusaha tenang. Sebelum keluar, ia memastikan wajahnya sudah kering dan rambutnya masih rapi.

Are you done?” Patricia menatap Tami melalui cermin wastafel, sontak membuat Tami terkejut dengan kehadirannya.

“Kak Pat?”

Patricia berbalik menghadap Tami, kemudian tersenyum lembut.

“Sejak kapan Kak Pat ada di situ?”

“Sejak kapan suka nangis di toilet kayak gitu?” Patricia bertanya balik dengan nada khawatir.

“Mmm… aku—”

“Apa kamu merasa tertekan bekerja di Ong Asset? Apa aku yang udah bikin kamu tertekan? Atau ada yang ganggu kamu di tim marketing, sampai kamu nggak bisa menahannya kayak gini?”

“Enggak, Kak. Ini bukan karena Kak Pat atau orang lain,” Kiara menjawab cepat karena tidak ingin jika Patricia salah paham dengannya, “It’s just me.”

What is it?”

Nothing.”

Patricia tersenyum bingung, “Kalau kamu nggak kenapa-kenapa, terus—”

I feel nothing,” potong Tami dengan wajah datar.

Patricia agak terkejut dengan pengakuan Tami, tapi ia berusaha memahami.

“Rasanya kosong, tapi menyesakkan,” Tami mengatakannya sambil memandang lurus ke satu arah dengan tatapan kosong.

“Itu karena kamu menahannya.”

“Huh?”

“Kamu selalu tahu apa yang kamu mau, tapi kamu nggak pernah ngelakuin apa-apa sama kemauan kamu itu. Kamu berusaha mempertahankan orang-orang yang kamu cintai, tapi kamu nggak mau merelakan diri kamu sepenuhnya untuk mereka. Mau sampai kapan kayak gitu?”

Seketika Tami tertegun menatap Patricia. Pertanyaan itu seperti menyayat hatinya hingga berdarah. Ia tahu apa yang ia mau, tapi tidak pernah berani mengambil risiko untuk melakukannya.

“Kak Pat…” Tami memanggil nama Patricia dengan ragu.

“Ya?”

“Apa Kak Pat pernah ngerasa kasihan sama orang yang seharusnya kakak cintai? Dan, itu ngebuat kakak jadi mengasihani diri sendiri? Apa itu wajar?”

Patricia tidak langsung menjawab, ia tampak memikirkan jawaban atas pertanyaan tersebut. Lama sekali, sampai-sampai Tami menghela napas berat.

“Gimana bisa menyenangkan hati orang lain, tanpa harus mengorbankan hati kita sendiri?”

“Sebenernya apa yang lagi kamu omongin, Tam? Aku makin nggak ngerti.”

“Ombo sakit tumor otak, Kak,” ucap Tami dengan suara bergetar.

Patricia tercengang. Ia tersenyum tak percaya, “Bilang sama aku kalau kamu cuma bercanda?”

Tami menggeleng, “I’m not joking. It really happened. Jordi bilang, sekarang Ombo udah sembuh dari penyakitnya, tapi tetep aja, dia udah menyembunyikan hal sepenting itu dari semua orang. I mean… dua tahun? Am I a joke to him? Apa aku yang jahat karena nggak sadar dia sakit parah, atau dia yang jahat karena nggak menganggap aku sepenting itu di hidupnya?”

“Aku nggak tahu, Tam. Aku bahkan nggak tahu harus gimana menanggapi informasi ini. It’s a lot,” komentar Patricia dengan raut muka yang masih tak percaya.

“Ya, me too. It’s a lot to process,” Tami membalas dengan lesu.

“Terus, sekarang apa yang mau kamu lakukan?” tanya Patricia penasaran.

Lihat selengkapnya