MAX. 25 TAHUN

Ara Segara
Chapter #9

Ikatan Yang Tak Terpisahkan

Ombo lebih memilih diam ketika berhadapan dengan masalah atau saat memiliki konflik dengan seseorang. Ia memang selalu seperti itu. Di sisi lain, Tami tidak jauh berbeda dari Ombo. Tami lebih suka menghindari konflik karena banyak ketakutan dalam dirinya. Itulah mengapa masalah di antara mereka tidak pernah terselesaikan.

Alih-alih menghubungi kekasihnya dan membuat janji untuk bertemu, Ombo lebih memilih menyibukkan diri dengan pekerjaan di kafe. Ia berpikir bahwa tidak perlu ada yang dibahas lagi, terlebih saat ia meyakini apa yang ia percaya. Yang mana, hal itu sama sekali tidak pernah keluar dari mulut Tami secara langsung.

Hari itu kebetulan kafe lebih ramai dari biasanya, bahkan seorang manajer pun sampai turun tangan untuk melayani pelanggan. Bagi Ombo, ini seperti melihat perempuan yang dulu pernah membuatnya jatuh cinta—masih cinta.

 Perempuan tangguh yang bekerja tanpa lelah. Perempuan yang selalu memikirkan kebahagiaan semua orang, kecuali dirinya sendiri. Perempuan yang rela mengorbankan masa mudanya, demi keluarga yang memperlakukannya seperti mesin uang. Kiara adalah perempuan itu. Perempuan yang tidak pernah menghilang sedetik pun dari hati dan pikirannya.

“Kamu ini gimana, sih? Bisa kerja nggak? Saya itu pesan steak dengan kematangan medium rare, ini kenapa yang datang malah medium?”

Melihat seorang pelanggan kafe memarahi Kiara, sontak Ombo langsung berjalan cepat menghampiri Kiara.

“Mohon maaf, Pak. Sepertinya ini pesanan pelanggan lain, tapi saya malah memberikannya kepada Bapak. Saya mohon maaf, Pak.”

“Bodoh kali kamu! Masa gitu aja bisa salah, sih? Ini pasti gara-gara kamu terlalu malas buat double check pesanan pelanggan.”

“Sekali lagi, sebagai manajer kafe ini, saya mohon maaf atas kecerebohan saya, Pak.”

“Manajer? Cewek bodoh dan malas seperti kamu jadi manajer?” Pria setengah baya itu langsung mengamati Kiara dari ujung rambut hingga ujung kaki, lalu ia setengah tersenyum, “Sekarang saya cukup mengerti kenapa kamu bisa jadi manajer di sini. Berapa, huh?”

Ombo menyingkirkan pikirannya dan melepas amarahnya. Tanpa segan, ia mendaratkan pukulan keras ke wajah pria itu. Bukan sekali, tapi tiga kali. Tidak puas hanya memukul, Ombo menarik tubuh pria itu agar bangun dari duduknya, lalu mencengkeram lehernya seolah ingin membunuh pria yang ada di hadapannya, detik itu juga.

“Minta maaf nggak lu?”

Kiara buru-buru mendekati, lalu memegang tangan Ombo dengan wajah khawatir sekaligus takut. “Ombo, udah, ya. Tolong jangan diterusin. Aku udah minta maaf tadi—”

“Dia yang harusnya minta maaf, bukan kamu!” potong Ombo tajam, “Kakek berengsek ini udah kurang ajar sama kamu, Kiara. Dia udah menghina, dan bahkan merendahkan kamu di hadapan banyak orang,” lanjutnya sambil terus menatap lurus wajah pria itu.

“Ombo, please… lihat aku… please…,” Kiara mengucapkannya dengan lembut dan nada memohon.

Perlahan, kepalanya mulai bergerak. Dengan mata merah dan berkaca-kaca, ia menatap wajah Kiara.

“Udah, ya? Aku baik-baik aja, kok.”

Ucapan Kiara sepertinya membawa kembali Ombo ke alam sadarnya. Tatapan penuh amarah itu, perlahan berubah menjadi sebuah ketakutan. Setelah melihat ke sekelilingnya, ia baru menyadari bahwa orang-orang sedang menontonnya, bahkan merekam kejadian itu menggunakan ponsel mereka.

Ombo melepaskan tangannya dari leher pria itu, lalu berjalan pergi dengan langkah cepat sambil menundukkan wajah.

 

***

 

Biasanya, Tami tidak makan siang di kafetaria kantor. Kalaupun ia merasa lapar saat pekerjaan sudah selesai, ia tidak akan keluar dari ruangan divisi marketing. Ia hanya makan saat Remi mengajaknya, tanpa ada waktu yang pasti.

Hari ini agaknya berbeda, sebab ia memilih pergi ke kafetaria seorang diri. Ia ingin tahu sejauh mana ia bisa melangkah, tanpa bergantung pada kakaknya. Meskipun itu hanya sekedar pergi makan siang sendirian.

Tami berdiri mematung. Melihat semua meja sudah penuh oleh orang-orang yang sedang menikmati makan siang mereka, ia mendesah kesal.

“Males banget kalau rame banget kayak gini. Nggak jadi, ah,” Tami berbicara kepada dirinya sendiri dengan raut wajah lesu.

“Aku udah bilang HP kamu jangan di silent. Kebiasaan.”

Begitu Tami menoleh, Patricia sudah berdiri di sampingnya sambil memegang satu cup kopi yang sengaja di dekatkan ke wajah Tami.

For me?” tanya Tami.

Patricia mengangguk, “Kayaknya kamu belum tahu apa-apa, ya?”

Tami menyeruput kopinya dengan nikmat, sebelum menanggapi, “Maksudnya?”

“Cek media sosial, deh. Ombo lagi viral.”

“Ombo viral? Emangnya dia ngapain, Kak?”

You have to see it yourself, Tam. Go check your phone.”

Tami mengambil ponselnya dari saku belakang celananya, lalu mengecek akun media sosialnya untuk memastikan. Tak sampai sepuluh detik, Tami langsung menemukan video viral yang menunjukkan Ombo sedang memukuli pelanggan kafe.

What the hell? Sebenernya apa yang terjadi? Aku nggak pernah lihat Ombo semarah ini sama orang lain, bahkan sampai ngamuk kayak orang kesurupan,” Tami mengomentari dengan raut wajah bingung sekaligus tak percaya.

Lihat selengkapnya