Seorang suster membuka pintu ruangan, sontak membuat Kiara bangkit dari duduknya. Terjadi kontak mata di antara mereka hingga membuatnya tak tahan diam dan menunggu terus-menerus. Dengan langkah pelan, Kiara berjalan menghampiri suster tersebut.
“Saya Kiara, walinya Ombo, sus.”
“Oh, selamat sore, Bu Kiara.”
“Gimana keadaan, Ombo?”
“Silakan masuk, Bu. Biar Dokter Frans yang menjelaskannya kepada Ibu.”
Kiara berjalan memasuki ruangan dengan wajah khawatir sekaligus penasaran. Di situ, tampak dokter Frans sedang mencatat sesuatu di komputer tablet miliknya.
“Permisi, dok.”
Dokter Frans menoleh. “Selamat malam, Ibu.” Seolah menyadari sesuatu, Dokter Frans kembali menatap ke arah Kiara untuk memastikan. “Ini pertama kalinya saya melihat ada seseorang yang menemani Bapak Ombo ke rumah sakit.”
“Ya, saya…” Kiara berpikir sejenak. Ia tidak tahu harus mengenalkan dirinya sebagai siapa di hidupnya Ombo. Namun, ini bukan waktu yang tepat untuk memikirkan soal itu, kondisi kesehatan Ombo jauh lebih penting dari apa pun. “Gimana keadaan Ombo, dok? Dia sakit apa?” tanya Kiara mengalihkan pembicaraan.
“Untung saja tadi saya belum pulang, dan untungnya juga keadaan Pak Ombo tidak kembali seperti semula. Pak Ombo hanya kelelahan dan sepertinya terlalu banyak pikiran, makanya daya tahan tubuhnya menurun lagi.”
“Maksudnya nggak kembali seperti semula itu apa, dok?”
“Sebelumnya saya minta maaf, saya harus bertanya mengenai hubungan Bu…”
“Kiara.”
“Bu Kiara. Anda ini siapanya Ombo? Karena saya hanya bisa mengatakan ini kepada keluarga dan kerabat terdekatnya saja.”
“Saya sahabatnya dari SMA, hubungan kami sudah seperti keluarga, Dok.”
“Oh, begitu. Baiklah.” Terjadi jeda lama sebelum akhirnya Dokter Frans kembali berbicara. “Saya adalah dokter spesialis bedah saraf, dan Pak Ombo adalah pasien saya selama hampir dua tahun belakangan ini.”
Kiara mengernyitkan kening, berusaha mencerna kata-kata dokter Frans yang lebih seperti teka-teki baginya. “Maaf, dokter. Tapi, apa Dokter bisa langsung aja ke intinya? Sebenernya Ombo sakit apa?”
Dokter Frans menatap ke arah Ombo seolah meminta persetujuan. Cukup lama, hingga ia menghela sepenggal napas dan kembali menatap Kiara. “Dua tahun lalu, Pak Ombo adalah pasien yang saya vonis terkena tumor otak stadium akhir.”
Kiara mematung. Mulutnya setengah menganga, wajahnya pucat pasi, dan telapak tangannya mulai terasa dingin. Rasa takut bercampur rasa bersalah terlukis di wajahnya. Ia tidak tahu harus bersikap bagaimana setelah menerima informasi ini.
Bayangkan saja, ia pernah memutuskan hubungannya dengan Ombo secara sepihak, tanpa meninggalkan apa-apa, kecuali luka yang teramat dalam. Setelah sembilan tahun berlalu, ia bertemu kembali dengan mantannya hanya untuk menemukan kenyataan pahit bahwa mantannya menderita tumor otak.
Jika benar ini adalah takdir Tuhan, maka takdir macam apa ini?
Kenyataan pahit ini tentu saja ini membuat Kiara bertanya-tanya: Apakah ini salahku? Apakah aku yang sudah menyebabkan Ombo sakit sampai separah ini? Mungkinkah ini kesempatan yang Tuhan berikan kepadaku untuk menebus segala kesalahan itu? Atau mungkinkah ini kesempatan yang Tuhan berikan untuk Ombo melalui aku?
Oh, sekarang semuanya masuk akal.
***
Dua jam kemudian…
Perlahan, Ombo membuka kedua matanya. Dalam keadaan lemas, ia melihat wajah Kiara samar-samar. Ia masih belum menyadari apa yang terjadi kepadanya.
Begitu melihat Ombo siuman, Kiara memalingkan wajah, bersama dengan tangan rampingnya yang terlepas dari tangan Ombo. Ia buru-buru menghapus air matanya.
“Kiara…?”
“Iya, ini aku Kiara.”
“Ini aku di mana?” Ombo bertanya sambil berusaha bangun dari tempat tidur, dan langsung ditahan oleh Kiara.
“Kamu nggak boleh ke mana-mana dulu, sebelum dapat suntikan kedua.”
“Huh? Kenapa aku ada di sini?”
Kiara tidak menjawab. Ia hanya memandangi wajah Ombo dengan mata berkaca-kaca.
“Oh!” Ombo kaget karena teringat akan sesuatu, “Tadi aku pingsan di depan Mr. Chan, ya? Duh, terus Mr. Chan gimana? Apa dia marah? Terus komentarnya tentang masakan aku, gimana? Enak nggak menurut dia, Ra? Kamu udah—”
“Ombo…” sela Kiara.
“Huh?” Ombo memasang wajah datar seolah ia tidak merasakan apa-apa. “Oh iya, kamu nggak bilang ke ibuku kalau aku di sini, ‘kan? Soalnya ibu pasti bakalan marah banget. Ibu pasti bakal marah karena harus bayar biaya rumah sakit, ujung-ujungnya ibu pasti cuma menganggap aku sebagai bebannya. Oh, Tami! Kamu juga nggak kasih tahu Tami, ‘kan? Atau Patricia? Atau Jordi? Enggak, ‘kan?”
“Enggak ada yang tahu,” ucap Kiara sambil menatap Ombo lurus-lurus.
“Oh, syukurlah.”
“Itu pertanyaan, bukan pernyataan.”
“Huh?”
“Apa nggak ada yang tahu?” Kiara bertanya dengan suara gemetar. Ia berusaha sekuat tenaga menahan air matanya saat mendengar Ombo terus mengoceh seperti orang linglung. Hatinya ikut sakit melihat orang yang paling dicintainya tampak begitu rapuh dan tidak berdaya di hadapannya.
“Kamu cape nggak, sih?” tanya Kiara lembut.
Ombo langsung terdiam, sama sekali tak bergerak.
Kiara bangkit berdiri, lalu tangan lembutnya memegang wajah Ombo dan membawanya berhadapan dengan wajahnya, “Kamu pasti cape, ya?”