MAX. 25 TAHUN

Ara Segara
Chapter #10

Karena Dia Bukan Kamu

Kiara cukup konsisten dengan perkataannya bahwa ia akan membantu Ombo menyelesaikan novelnya. Pun Ombo mulai luluh dan meruntuhkan dinding pembatas di antara dirinya dengan Kiara. Bersama Kiara, Ombo merasa bisa melalui segala permasalahan dalam hidupnya, sekalipun itu masalah yang mustahil untuk dicari penyelesaiannya.

Saat keduanya asyik berbincang, tiba-tiba Kiara teringat akan sesuatu dan memilih untuk menanyakan langsung kepada Ombo.

“Ombo, aku pengen tanya sesuatu, deh.”

“Tanya apa?”

“Kamu inget nggak kado terakhir yang aku kasih di hari ulang tahun kamu?”

Ombo langsung terdiam. Seketika memorinya memutar ulang kenangan buruk yang sudah lama ia kubur dalam-dalam, termasuk hadiah terakhir yang diberikan oleh Kiara di hari ulang tahunnya lima tahun lalu.

“Kok, diem?” tanya Kiara sedikit ragu.

“Gak tahu. Aku nggak buka kado itu. Udah nggak tahu ke mana juga,” jawab Ombo seadanya.

Raut wajah Kiara langsung berubah menjadi sedih bercampur kecewa, tapi ia juga tahu bahwa ia tidak punya hak untuk merasakan hal itu. Lantas ia berusaha menutupi perasaannya dengan senyuman, “Oh, gitu. Nggak apa-apa, kok. Aku ngerti.”

Jika seseorang mengatakan bahwa dirinya tidak apa-apa, maka kenyataannya justru sebaliknya. Ombo melirik ke arah Kiara karena merasa tak enak hati harus berbohong kepada Kiara. Rasanya terlalu memalukan jika ia mengatakan yang sejujurnya. Kejujuran bahwa ia masih menyimpan semua barang-barang pemberian Kiara di satu kotak besar di kamarnya. Sebuah kotak kenangan yang selalu ia bawa ke mana pun ia pergi.

“Sayang banget kamu belum sempet lihat, padahal itu rumah impian kamu, loh.”

“Huh?”

“Ya bukan rumah beneran sih, tapi lebih ke miniatur rumah impian kamu.”

Ombo mengerutkan alisnya, “Miniatur rumah impian aku? Emangnya aku pernah ngomongin hal kayak gitu sama kamu?”

Kiara mengangguk sambil tersenyum, “Kamu bilang, kamu pengen punya rumah yang sederhana aja, tapi ada taman belakang yang luas supaya bisa jadi tempat buat kumpul keluarga dan temen-temen juga. Kamu juga bilang kalau aku boleh desain dapur semau aku soalnya kamu tahu kalau aku seneng banget bikin video masak ala-ala chef gitu.”

Pupil matanya selalu melebar setiap kali memandangi wajah dan mendengarkan Kiara berbicara. Namun, yang membuat ia melongo tak percaya adalah fakta bahwa Kiara masih ingat setiap kata yang pernah diucapkannya saat mereka masih menjadi sepasang kekasih. Jika bukan Kiara yang mengingatkannya, mungkin ia sudah lupa dengan impiannya yang satu itu.

“Ombo…” Kiara memanggil lembut sambil meraih tangan Ombo dan memegangnya, “…aku cuma pengen kamu selalu ingat semua mimpi-mimpi kamu itu, supaya kamu bisa terus bergerak ke depan.”

Ombo tersenyum hambar, “Kamu salah, dan ayahku mungkin bener. Aku kebanyakan bermimpi dan mimpi-mimpiku tuh terlalu besar buat nyaliku yang kecil, makanya sekarang aku berakhir nggak jadi apa-apa,” balasnya dengan nada pesimis.

“Bukan nggak jadi apa-apa, tapi belum.”

“Mau sampai kapan? Sekarang aja umurku udah 27 tahun. Apa aku harus nunggu umurku 30 tahun dulu, baru aku bisa dapet kerja di perusahaan besar dengan gaji dua digit? Apa aku harus nunggu umurku 40 tahun dulu, baru aku bisa jadi penulis terkenal? Apa aku harus nunggu umurku 50 tahun dulu, baru aku bisa punya mobil dan rumah impianku? Atau, aku harus nunggu umurku 60 tahun dulu, baru aku bisa dibilang mapan sama ayahku?” Ombo memutar bola matanya, lalu menghembus napas berat. “Mungkin aku bakalan mati duluan sebelum mimpi-mimpiku jadi kenyataan.”

Mendengar Ombo mengeluh, Kiara justru tertawa renyah.

Ombo mengerutkan alis, menatap Kiara dengan raut muka tersinggung, “Kok, ketawa?”

“Ya abisnya kamu lucu. Kamu tuh terlalu ngikutin penilaian objektif masyarakat banget. Harus punya gaji dua digit di umur dua puluhan, kalau belum punya kendaraan atau rumah sendiri di umur tiga puluhan berarti belum sukses, kalau belum menikah sampai umur empat puluhan berarti gak laku atau dicap suka sama sesama jenis. Cape, deh,” ujar Kiara setengah mengejek.

“Kamu bisa ngomong gitu karena kamu udah mendapatkan semuanya, jadi kamu nggak merasa khawatir pas umur kamu udah di atas 25 tahun,” Ombo mengucapkannya enteng.

Kiara menghela sepenggal napas sebelum membalas, “Tujuan hidup orang itu beda-beda, jadi jalannya juga pasti nggak sama. Terus, gimana bisa kita menentukan batas waktu kita cuma dari omongan objektif orang-orang? Yang bahkan mereka aja nggak pernah melihat seberapa besar usaha kita, dan sepanjang apa prosesnya.”

Hatinya terenyuh. Ombo berusaha menahan air mata. Ia tidak menyangka jika ucapan Kiara mampu membuatnya sadar bahwa betapa berharganya waktu yang ia miliki saat ini.

“Ombo, mewujudkan mimpi itu nggak kayak makan gula, di mana saat gulanya sampai di lidah akan langsung terasa manisnya. Mimpi itu ibarat mahakarya dari senimannya, di mana harus ada air mata, rasa hampir putus asa, ketidakberdayaan, dan juga kesabaran dalam prosesnya. Itulah yang menjadikan mimpi bernilai mahal dan mengagumkan.”

 Ombo tersenyum samar. Tidak peduli berapa lama waktu yang akan menjadi miliknya, ia merasa harus tetap berjuang untuk mimpi-mimpinya. Ia harus tetap berusaha untuk mewujudkannya, meski masih merasa takut.

 

***

 

Setelah menyelesaikan kegiatan di pusat kebugaran, Tami terpaksa harus menumpang dengan Jordi. Ia tidak punya pilihan lain. Hanya Jordi satu-satunya orang yang tidak akan pernah bilang tidak kepadanya.

Wajah cantik dengan rahang tajam itu mendesah pelan, menahan semua perasaan yang menumpuk di dadanya. Apalagi jika mengingat kembali kemesraan antara Ombo dan Kiara, serta pertengkarannya dengan Remi dan Patricia. Ia mulai berubah pikiran. Rasanya tidak sanggup jika harus bertemu Ombo dalam keadaan sekacau ini.

“Jo…”

“Jangan bilang kamu berubah pikiran. Tam, ini udah malem banget, lebih aman kalau kamu nginep di rumah aku. Oke? Buat aku, kamu bukan cuma adiknya Remi atau pacarnya Ombo, but I consider you my sister, Tam. I hope you know that.”

Jelas Tami tidak ingin bertemu Ombo, tetapi ia juga tidak bisa mengubah keputusannya begitu saja, jadi ia dengan berat hati setuju untuk menginap di rumah Jordi. Ia tidak ingin menambah kekacauan dengan membuat Jordi kesal atas penolakannya. Ia hanya bisa berharap hatinya cukup kuat untuk berhadapan dengan Ombo malam ini.

 

***

 

Ketika hati saling merindu, tak ada satu pun yang bisa menolak gejolak membara yang telah lama tersimpan di bagian hati terdalam mereka. Ini sudah lewat dari tengah malam, tapi mereka memilih untuk mampir ke sebuah warkop 24 jam yang dahulu pernah menjadi langganan keduanya.

“Waduh, waduh, ke mana aja kalian, nih? Baru mampir lagi ke sini. Awet banget, seneng lihatnya juga. Kalian udah nikah?”

Lihat selengkapnya