MAX. 25 TAHUN

Ara Segara
Chapter #11

Lihat Lebih Dekat

Pernyataan cinta tidak akan merusak ikatan yang sesungguhnya. Jika ikatan itu rusak, maka sebenarnya ikatan itu tidak pernah ada dari awal. Begitu juga ikatan yang Remi pikir selalu menghubungkan dirinya dengan Kiara.

Selama bertahun-tahun lamanya, Remi menunggu Kiara membuka hati untuknya. Berpikir bahwa hati perempuan itu bisa luluh akan segala kebaikannya. Namun, ia tidak pernah tahu jika cinta bukan tentang baik atau buruk. Cinta adalah perasaan yang bisa diberikan kepada seseorang, dan yang orang lain bagikan kepada kita. Cinta tidak pernah memilih, tetapi manusia yang melakukannya.

Tidak peduli berapa lama waktu berlalu, perasaan Kiara hanyalah untuk Ombo. Remi bukannya tidak tahu, tapi lebih mudah mengabaikan hal itu untuk memanjakan perasaannya daripada menerima kebenarannya.

Namun, ucapan adiknya tampaknya memberikan dampak yang begitu besar terhadap perasaannya hingga membuatnya mulai menerima kebenaran bahwa hati Kiara akan selalu milik Ombo, dan begitu juga sebaliknya.

Begitu mobil Kiara memasuki area parkiran, Remi berjalan menghampiri. Kiara tampak terkejut sekaligus bingung.

“Hai, Ra,” sapa Remi sambil tersenyum tipis.

Kiara tersenyum sambil mengangguk. “Ada apa, Kak Re? Apa sikap aku kurang jelas buat kamu? Atau—”

“Aku mau minta maaf karena udah memaksakan kamu punya perasaan yang sama kayak aku,” potong Remi cepat.

Pernyataan Remi kali ini tampaknya membuat Kiara tak percaya, bahkan ia sampai menganga hingga tidak tahu harus menanggapi bagaimana.

“Maaf karena selama ini aku selalu mengganggu kamu. Maaf juga karena butuh waktu lama buat aku mengerti bahwa enggak artinya enggak. Maaf, Kiara,” lanjut Remi dengan nada bicara yang begitu lembut.

Tak lama Kiara tersadar dan langsung menutup mulutnya. “Kak Re, apa yang bikin kamu tiba-tiba berubah pikiran dan menerima kenyataan kayak gini? Kamu nggak lagi kesambet, ‘kan?” tanyanya dengan raut wajah tak percaya.

Remi tertawa kecil, “Kehidupan itu dinamis. Manusia juga pasti berubah,” jawabnya enteng.

Kiara menggeleng cepat. “Enggak, aku serius, Kak Re. Apa alasannya?”

“Tami.”

“Tami? Tami yang pacarnya Ombo itu?”

“Tami yang pacarnya Ombo itu adalah adik aku.”

“Hah?” Kiara tercengang.

Remi mengangguk samar. “Setelah Tami memutuskan buat keluar dari rumahku, semuanya berubah. Aku sadar kalau perasaanku ke kamu nggak sebanding dengan perasaanku kehilangan Tami.”

“Woah… kalau cerita hidupku jadi novel, pembaca pasti bakalan kena second lead syndrome,” komentar Kiara bergurau.

“Apaan, sih…” Remi tertawa renyah dengan wajah tersipu, “…tapi, aku serius. Cinta itu sebuah perasaan, bukan obsesi. Kayak perasaan kamu ke Ombo, dan sebaliknya juga. Aku rasa nggak ada yang bisa masuk di antara kalian, enggak aku, ataupun Tami.”

Kiara terdiam. Ia hanya tersenyum lembut sambil menatap Remi.

 

***

 

Tidak ada yang tahu seberapa besar penderitaan yang ia alami dari waktu ke waktu, tetapi Kiara melihat versi Ombo yang paling rapuh. Di situlah Ombo menyadari bahwa ia membutuhkan segalanya untuk bertahan dalam pertempurannya yang sunyi. Jika Kiara tidak pernah muncul, maka mungkin ia sudah menyerahkan diri dan mengaku kalah pada dunia.

Akhir pekan ini, Ombo meminta Kiara untuk datang ke rumahnya. Ia mulai luluh dan meruntuhkan dinding pembatas di antara dirinya dengan Kiara. Bersama Kiara, Ombo merasa bisa melalui segala permasalahan dalam hidupnya, sekalipun itu masalah yang mustahil untuk dicari penyelesaiannya.

Saat keduanya asyik berbincang, tiba-tiba Kiara teringat akan sesuatu dan memilih untuk menanyakan langsung kepada Ombo.

“Ombo, aku pengen tanya sesuatu, deh.”

“Tanya apa?”

“Kamu inget nggak kado terakhir yang aku kasih di hari ulang tahun kamu?”

Ombo langsung terdiam. Seketika memorinya memutar ulang kenangan buruk yang sudah lama ia kubur dalam-dalam, termasuk hadiah terakhir yang diberikan oleh Kiara di hari ulang tahunnya sembilan tahun lalu.

“Kok, diem?” tanya Kiara sedikit ragu.

“Gak tahu. Aku nggak buka kado itu. Udah nggak tahu ke mana juga,” jawab Ombo seadanya.

Raut wajah Kiara langsung berubah menjadi sedih bercampur kecewa, tapi ia juga tahu bahwa ia tidak punya hak untuk merasakan hal itu. Lantas ia berusaha menutupi perasaannya dengan senyuman. “Oh, gitu. Ya, nggak apa-apa. Aku ngerti, kok.”

Jika seseorang mengatakan bahwa dirinya tidak apa-apa, maka kenyataannya berkata sebaliknya. Ombo melirik ke arah Kiara karena merasa tak enak hati harus berbohong kepada Kiara. Rasanya terlalu memalukan jika ia mengatakan yang sejujurnya. Kejujuran bahwa ia masih menyimpan semua barang-barang pemberian Kiara di satu kotak besar di kamarnya. Sebuah kotak kenangan yang selalu ia bawa ke mana pun ia pergi.

“Sayang banget kamu belum sempet lihat, padahal itu talenan yang ada ukiran nama kamu, loh.”

“Huh?”

“Waktu itu aku membelikan kamu talenan kayu yang ada ukiran nama kamu di bagian pegangannya.”

Ombo mengerutkan alisnya, lalu tersenyum bingung. “Aneh banget. Lagi pula, ngapain kamu kasih aku talenan?”

“Ya nggak anehlah,” balas Kiara dengan nada meninggi seolah tersinggung akan ucapan Ombo. “Sekarang coba bawa talenan di dapur kamu ke sini.”

“Huh?” Ombo melongo.

“Hah, heh, hoh! Bawa talenan di dapur kamu ke sini, Ombo Manggala,” ucap Kiara tegas.

Spontan Ombo bangkit berdiri, lalu berjalan cepat ke dapur. Ini seperti kebiasaan lama. Di mana Ombo selalu takut jika Kiara sudah berbicara dengan suara besarnya seolah suami yang takut oleh istrinya.

Tak sampai sepuluh detik, Ombo kembali dan menyerahkan talenan kayu dari dapurnya kepada Kiara.

“Nih…” Kiara mengangkat talenan itu tepat di hadapan wajah Ombo, “…apa yang kamu lihat?”

 “Mmm…” Ombo bingung harus menjawab apa, sebab yang ia lihat hanyalah talenan kayu yang sudah usang dan banyak sayatan bekas pisau.”

“Jawab, Ombo Manggala.”

“Nggak tahu.”

“Kok, nggak tahu?”

“Ya yang aku lihat cuma kayu dengan banyak garis-garis yang mirip sayatan gitu.”

“Tepat!” ucap Kiara dengan keras.

Lihat selengkapnya