MAX. 25 TAHUN

Ara Segara
Chapter #11

Lihat Lebih Dekat

Pagi-pagi sekali, Kiara sudah menyiapkan secangkir kopi susu dan sepiring nasi goreng. Kaki rampingnya melangkah pelan menuju ruang tamu. Di situ, ada Ombo yang masih tidur nyenyak di sofa. Ini seperti mengulang ke masa-masa mereka masih menjadi sepasang kekasih, di mana Ombo selalu menginap di rumahnya jika memang sudah merasa terlalu lelah.

Mendengar suara piring yang tidak sengaja bersentuhan dengan meja kaca, Ombo terbangun.

“Maaf. Jadi kebangun, ya?” ucap Kiara merasa bersalah.

Membuka mata dan langsung disuguhkan dengan lukisan Tuhan paling indah, biasanya hanya ada dalam imajinasinya. Ombo langsung buru-buru bangun dan membetulkan posisi duduknya.

“O’iya, ini ada kopi sama nasi goreng buat kamu. Aku jamin ini lebih enak dari yang dulu pernah aku bikin buat kamu.”

Ombo tersenyum malu, “Nasi goreng tanpa kecap? Kamu masih inget?”

“Yap,” Kiara mengangguk sambil tersenyum, “Pake telur dadar juga.”

“Ya udah, aku makan, ya.”

Kiara tersenyum senang saat melihat Ombo memakan masakannya dengan sangat lahap. Setelah satu kebodohan yang pernah ia lakukan, ia masih tak percaya jika laki-laki yang sangat dicintainya dapat kembali ke kehidupannya secepat ini. Sungguh terasa seperti mimpi di siang bolong baginya.

“Emmm… enak banget, Kiara. Ini beneran lebih enak dari yang dulu pernah kamu bikin buat aku,” komentar Ombo.

Kiara menyipitkan matanya, “Berarti dulu yang aku bikin tuh gak enak, ya?”

Spontan Ombo mengangguk.

“Ih! Kok, ngangguk? Emang beneran nggak enak nasi goreng yang dulu aku bikin?”

Ketika menyadarinya, Ombo langsung berhenti mengunyah dan tersenyum lebar sambil menatap Kiara, “Bukannya nggak enak, tapi kurang rasa aja.”

“Ih… itu lebih jahat!” Kiara berteriak sambil memukul manja lengan Ombo.

“Ya nggak apa-apa, namanya juga masih belajar. Yang penting sekarang enak, kok.”

“Beneran enak?”

“Enak, kok. Apalagi kalo ditambah garam dikit lagi.”

“Ihh… Ombo…”

Sepanjang pagi itu, obrolan mereka terus berlanjut. Keduanya bak sahabat lama yang sedang reuni, penuh kegembiraan dan tawa. Sesekali, mereka berhenti untuk mendengarkan musik. Kiara meletakkan wajahnya di lengan Ombo, begitu lagu cinta yang membuat hati bergetar mulai diputar.

 

***

 

Duduk berhadap-hadapan dengan orang tua Ombo di meja makan, membuat Tami tidak dapat menyembunyikan ketegangannya. Sudah dua gelas air putih habis diminumnya, padahal ia sama sekali belum menyentuh roti yang ada di piringnya.

“Tami, kamu teh nggak kembung minum wae?” Ayah bertanya dengan raut muka bingung sekaligus khawatir.

“Mmm… nggak. Emang gitu, Om.” Tami langsung memegangi tenggorokannya berpura-pura memasang ekspresi wajah tidak nyaman sambil berbatuk-batuk kecil. “Tenggorokan aku kering banget, jadi haus terus.”

“Oh, kitu. Ya udah atuh, minum lagi biar tenggorokannya basah, Tam,” balas ayah setengah bergurau.

“Iya, Om.” Tami kembali mengisi gelasnya dengan air, lalu meminumnya dengan perasaan tak keruan.

“Kamu teh sering nginep di sini ya, Tami?”

Air dari mulutnya langsung menyembur, begitu mendengar pertanyaan keluar dari mulut ibu. Tami cepat-cepat mengelap bibirnya menggunakan tangan dengan cukup agresif. “Maaf. Emm… apa, Tante? Tante Lilis tadi nanya apa?”

“Kamu udah sering nginep di sini, ya? Ada atau nggak ada Ombo di rumah ini. Buktinya kemarin malem kamu malah pulang sama si Jordi. Mana kalian berdua pada pake baju ngetat gitu lagi.” Ibu mengucapkannya dengan nada menyebalkan, bahkan raut wajahnya pun tampak sangat menyebalkan.

“Ibu, ulah ngomong kitu, atuh. Malu-maluin aja. Mungkin aja Tami sama si Jordi teh ketemu di jalan atau abis ada kegiatan apa, ‘kan kita nggak tahu,” protes ayah.

Alisnya bertaut, bibirnya memasang senyum kekesalan. Sudah jelas Tami tidak terima dengan ucapan ibunya Ombo yang terkesan merendahkannya. Namun, ia berusaha mengendalikan emosi dengan menarik napas dalam-dalam, mendinginkan hatinya yang panas selama beberapa detik.

Bae, ah. Udah ayah diem aja. Ibu nanya ke Tami, biarin dia yang jawab,” Ibu membalas ucapan ayah dengan kesal.

Tami berdeham kencang sebelum akhirnya menjawab, “Aku sama Jordi emang punya jadwal nge-gym bareng, di satu tempat yang sama. Ombo juga kalau nggak ada kerjaan, kadang-kadang suka ikut, kok.”

“Si Ombo mah emang gak ada kerjaan,” sela ayah, otomatis langsung membuat ibu memelototinya.

“Ini juga pertama kalinya aku nginep di rumah Jordi, dan aku juga nggak tahu kalau ternyata anak kesayangan Tante itu nggak ada di rumah karena mungkin dia ada di rumah seseorang. I don’t know, tho. Intinya, aku bukan perempuan yang kayak Tante Lilis pikirin, dan aku harap ini pertama kalinya Tante berpikiran jelek tentang perempuan yang jadi pasangannya Ombo.” Tami menutup ucapannya dengan sarkastis, hingga membuat ibu merasa tersindir dan lebih memilih memalingkan wajah.

Ayah merasa kikuk berada di antara dua wanita yang sama-sama memiliki karakter yang menonjol dan berprinsip kuat. Ia lebih memilih menundukkan wajah, lalu memakan rotinya sambil bersenandung pelan.

“Selamat pagi, semua!” Jordi muncul dan menyapa dengan wajah ceria. Ia memilih duduk di sebelah Tami, tanpa tahu apa yang baru saja terjadi di antara Tami dan ibu. “Kok, pada diem? Ada apa huh?”

“Ini Jordi, tadi—”

“Jordi, kamu bisa antarkan ibu ke tempat kerjanya Ombo?” Ibu sengaja memotong ucapan ayah karena tidak ingin memperpanjang masalah.

Jordi menoleh ke arah Tami, tapi Tami tidak acuh. Tami kelihatan masih merasa kesal, dan bahkan enggan mendengar apa pun yang berhubungan dengan Ombo.

Ibu tersenyum sambil menatap Jordi lurus-lurus, “Jordi, bisa, ‘kan?”

Spontan Jordi menoleh. Melihat ekspresi ibu yang seperti itu, membuatnya takut jika harus menolak ibu. “Mmm… iya, bu. Nanti Jordi anterin, ya.”

Lihat selengkapnya