MAX. 25 TAHUN

Ara Segara
Chapter #12

Adalah Kebenarannya

Kiara percaya bahwa semua jalan yang manusia lalui dalam kehidupan, entah dengan satu cara atau rangkaian cara tidak masuk akal, mengarah pada apa yang telah ditentukan sebelumnya oleh Tuhan. Ia percaya pada takdir.

Kepercayaan itu tentu saja berbanding terbalik dengan Ombo. Ia tidak tidak pernah percaya dengan yang namanya takdir, bahkan tidak setuju jika takdir itu ada. Mungkin ada bagi orang lain, tetapi itu bukan urusannya. Ia sudah terlanjur muak. Terlahir dari keluarga yang tidak bisa memberi dukungan dalam berbagai situasi kehidupan bukanlah takdir, melainkan kesialan.

Tidak semua orang memiliki seseorang yang bisa menjadi sandaran, dan dapat diandalkan ketika kita membutuhkannya. Jika ada, maka itu sebuah keberuntungan.

Kehadiran Kiara seolah mengubah segalanya, dan membuat Ombo merasa menjadi orang paling beruntung di dunia karena memiliki Kiara. Seseorang yang menjadi sandarannya. Perempuan itu bahkan selalu ada di sisi Ombo, dan tidak pernah mengalihkan pandangannya walau sedetik saja.

Pagi itu Kiara sudah menyiapkan sarapan untuk Ombo. Melihat pria yang ia cintai masih tertidur pulas di sofa, ia tidak tega untuk membangunkannya dan memilih duduk menunggu.

Namun, Ombo terbangun begitu mencium aroma nasi goreng yang ada di meja. Perlahan ia membuka kedua matanya, Kiaralah yang pertama kali menjadi pemandangannya ketika bangun tidur. Spontan ia tersenyum, lalu bergerak untuk duduk.

“Kamu udah dari tadi di sini? Kenapa nggak bangunin aku?”

“Aku tahu kamu pasti bakalan bangun karena cium aroma nasi goreng ini. Hidung kamu itu, ‘kan sensitif banget.”

“Ya udah, tunggu apa lagi? Ayo kita makan,” ucap Ombo bersemangat. Ia langsung buru-buru mengambil nasi goreng yang ada di meja dan memakannya dengan lahap.

Alih-alih ikut mengambil sepiring nasi goreng miliknya di meja, ia justru memandangi Ombo dengan mata berbinar-binar. Senyuman di wajahnya tampak berasal dari hati. Lembut dan penuh kekaguman. Mungkin itu yang mereka bilang tentang dicintai oleh orang yang tepat. Saat yang kamu lakukan hanyalah menjadi dirimu sendiri dan tanpa usaha apa pun, dapat membuat seseorang jatuh cinta tanpa kesukaran.

Tiba-tiba saja Ombo menurunkan pandangan dan berhenti mengunyah, padahal nasi di dalam mulutnya masih penuh. Sontak membuat Kiara menyadari perubahan raut wajah itu.

“Kamu kenapa, Om?” tanya Kiara dengan nada khawatir.

Perlahan Ombo melirik Kiara, “Aku salah nggak sih kalau marah sama orang tuaku?” Pertanyaan itu dijawab dengan pertanyaan baru oleh Ombo, hingga membuat Kiara bingung.

“Sebenarnya marah itu wajar, karena marah, ‘kan juga sebuah perasaan. Nggak ada salah, nggak ada benar juga,” jawab Kiara seadanya.

“Kamu tahu nggak, Ra?”

“Apa?”

“Waktu aku kecil, ibu selalu bikin nasi goreng buat sarapan aku dan Teh Obit. Sesibuk dan seburu-buru apa pun ibu, pasti selalu ada waktu buat menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya,” ujar Ombo dengan pandangan yang terpaku ke satu arah seolah sedang bernostalgia dengan kenangan masa kecilnya.

“Ibu kamu mungkin bukan ibu yang sempurna, tapi dari cerita kamu… kayaknya ibu kamu udah berusaha semampunya buat jadi ibu yang baik.” Kiara menanggapi dengan hati-hati seolah tidak ingin memperburuk hubungan antara Ombo dan ibunya.

Ombo mengerjap, kemudian menatap ke arah Kiara. “Apa menurut kamu, aku harus pulang ke rumah hari ini?”

Kiara tersenyum, “Terus kalau kamu nggak pulang, kamu tidur di sofa lagi? Emangnya kamu nggak kangen sama kasur di rumah kamu?”

“Maksud kamu, kasur jadul yang sering kena bocor?” Ombo mengangguk cepat, “Ya, aku kangen banget.”

“Maksudnya, bocor air mata kamu?” balas Kiara mengejek.

“Yeeeeh!”

Sepanjang pagi itu obrolan mereka terus berlanjut. Keduanya bak sahabat lama yang sedang reuni, penuh kegembiraan dan tawa. Sesekali, mereka berhenti untuk mendengarkan musik. Kiara meletakkan wajahnya di lengan Ombo, begitu lagu cinta yang membuat hati bergetar mulai diputar.

 

***

 

Tami merasa canggung duduk di ruang tamu bersama ibu dan ayah Ombo. Kaki kanannya tidak berhenti bergerak, tanda ia tak nyaman. Ia memaksakan senyum sambil berharap Obit cepat keluar dari kamarnya, dan ia bisa cepat keluar juga dari rumah itu.

“Udah lama ya kamu nggak main ke sini, Tam,” celetuk ayah berusaha mencairkan suasana, “Kamu kelihatan makin cantik dan kurus, pasti ikut program diet, ya?”

Tami tersenyum canggung, “Iya, Om. Tapi, aku nggak ikut program diet apa-apa, kok. Cuma lagi suka nge-gym aja.”

“Oh, gitu. Keren kamu, Tam. Pantas aja lengan kamu kelihatan berotot.” Ayah mengacungkan kedua jempolnya, “Keren, Tam!”

Ibu menghembus napas kencang sehingga membuat Tami dan ayah menatap ke arahnya. Keduanya langsung terdiam dengan wajah bingung.

“Tami, ibu boleh tanya sesuatu?”

Tami mengangguk sambil tersenyum samar, “Boleh, Tante.”

“Apa yang kamu katakan sama Obit sampai-sampai dia rela pulang ke Indonesia? Karena setahu ibu, Obit nggak akan pulang kalau nggak ada hal yang sangat penting dan mendesak.”

Spontan Tami menelan ludah. Ia tidak langsung menjawab, sebab ia harus berhati-hati dengan ucapannya. Ia tahu betul bahwa ia tidak punya hak apa pun untuk mengatakan yang sebenarnya tentang Ombo. Apa pun yang menjadi rahasia Ombo haruslah terserah pada Ombo, bukan padanya.

“Ayo, Tam. Kita pergi sekarang.”

Akhirnya Tami bisa bernapas lega begitu Obit menunjukkan batang hidungnya. Beberapa menit menunggu sudah seperti berjam-jam lamanya. Lantas Tami bangkit berdiri, sepertinya ia ingin sekali cepat-cepat pergi dari situ.

Lihat selengkapnya