Tami terlihat sangat cantik, walaupun wajahnya tampak sedikit arogan. Sudah hampir satu jam ia duduk sendirian di salah satu meja di kafetaria kantor. Menghabiskan waktu dengan menatap layar ponselnya. Meski begitu, matanya sama sekali tidak bisa diajak kompromi. Secangkir kopi pun tidak mampu menahan kantuknya.
“Secangkir kopi gratis untuk perempuan tercantik di sini.”
Spontan Tami terperanjat. Ia mengelus-elus dadanya sambil menatap Remi. Cukup lama hingga ia menyadari bahwa yang berdiri di hadapannya adalah kakaknya. “Kak Remi?”
Remi tersenyum. “Boleh ikut duduk, nggak?”
“Nggak tahu, ah,” jawab Tami ketus.
Remi sangat mengenal sifat adiknya ketika sedang marah pada seseorang, Tami pasti tidak akan tega mengusir atau bersikap kasar terhadap orang itu. Lantas ia duduk di depan Tami.
Tami melirik sinis kakaknya, “Ngapain di sini? Bukannya ini jam kerja?”
“Kamu juga ngapain di sini? ‘Kan ini jam kerja,” balas Remi seakan-akan mengejek.
Mendengar jawaban kakaknya, Tami menghela napas panjang dan memelototi kakaknya seolah bersiap ingin membunuhnya.
“Bercanda.” Raut wajah Remi langsung berubah menjadi sedih. “Kamu kok gitu banget sih sama kakak? Mau sampai kapan kamu marah sama kakak, huh? Kakak tuh kesepian tahu di rumah sendirian.”
“Aku juga kesepian, Kak,” ucap Tami menanggapi dengan serius. “Di sini sepi banget…” Tami menunjuk ke hatinya sendiri, “…di dalam sini, kosong banget.”
Ungkapan Tami itu seperti pedang tajam yang menusuk ke hatinya. Jika ia tahu bahwa selama ini adiknya tidak merasa bahagia, maka ia pasti akan melakukan apa saja untuk membuatnya bahagia. “Terus kenapa kamu nggak pernah ngomong sama kakak?”
Inikah waktu yang tepat untuk mengatakan yang sejujurnya kepada kakaknya? Tami sedikit ragu. Ia takut jika reaksi kakaknya tidak sesuai dengan harapannya. Sambil mengumpulkan keberanian, Tami menarik napas dalam-dalam. Perlahan ia memberanikan diri menatap Remi. “Kak, sebenernya aku pengen resign dan—”
“Fotografer? Kamu pengen jadi fotografer? Kenapa kakak harus tahu ini dari Patricia? Kenapa kamu kasih tahu mimpi kamu sama orang lain, dan bukan kakak? Can you talk to me first before anyone else? Apa kamu nggak menganggap aku sebagai kakak kamu, Tami?” suara Remi bergetar hingga membuat matanya berkaca-kaca.
Reaksi kakaknya yang di luar dugaan, sontak membuat Tami tercengang. Ia menelan ludah sebelum mengatakan, “Bukan gitu, Kak. Tapi, aku takut kakak kecewa dan marah karena apa yang aku mau itu nggak sesuai sama harapan yang kakak punya buat aku. Kakak benci banget sama papi karena dia lebih milih ngejar kariernya sebagai fotografer dibandingkan keluarganya. Aku nggak mau dibenci sama kakak. Aku takut.”
“Astaga, Tami…” Remi memalingkan wajah, menghela sepenggal napas. Berusaha agar air matanya tidak jatuh. Tak lama, ia kembali menatap adiknya, “…kamu itu bukan papi. Kamu itu Tami, adik yang paling aku sayang melebihi sayangku sama mami dan papi. Aku nggak mungkin membenci kamu cuma gara-gara kamu milih profesi yang sama kayak papi. I love you, you know that, right?”
Entah sejak kapan wajahnya berlinang air mata, tapi sorot mata itu jelas menunjukkan kepedihan. Tami menggeleng sambil berusaha terus menyeka air matanya sendiri. “Aku nggak tahu, Kak. Semua yang aku lakukan dari mulai jadi juara kelas, masuk kampus terbaik dengan jurusan bisnis, sampai kerja di Ong Asset, semuanya aku lakukan supaya kakak bisa sayang sama aku. Selama ini aku selalu ngerasa kakak nggak pernah sayang sama aku kalau aku jadi diriku sendiri.”
Pernyataan adiknya bagaikan puluhan pisau yang dilemparkan ke dadanya. Menusuk melesak hingga ke bagian terdalam hatinya. Pada akhirnya, air matanya jatuh juga. Bukan karena rasa sakit di hatinya, melainkan rasa sakit yang dirasakan adiknya. Ini kali pertama ia bisa menyaksikan langsung rasa sakit itu dalam sorot mata adiknya.
“Aku merasa tertekan karena harus menyenangkan kakak. But, in the end… aku cape. Aku nggak bisa terus-terusan hidup sesuai keinginan kakak.”
“Emangnya kamu pikir kehidupan kayak apa yang kakak inginkan dari kamu?”
“Kehidupan normal kayak orang-orang. Punya pekerjaan di kantoran, menikah sebelum usia tiga puluh, supaya aku nggak jadi beban lagi buat kakak. Right?”
Remi menyeka air matanya sambil menarik napas dalam-dalam. Lantas ia bangkit berdiri, lalu duduk bersujud di samping adiknya. Ia mengambil tangan Tami, lalu membandingkan dengan tangannya, “Tami, kamu tahu kenapa pola sidik jari setiap orang itu berbeda? Bahkan, pola sidik jari pada saudara kembar identik juga nggak sama. Tahu kenapa?”
Tami menggeleng.
“Itu karena Tuhan menginginkan manusia menjalani kehidupan yang berbeda-beda.” Suara Remi bergetar menahan pilu. Ia mengelus kepala adiknya sambil tersenyum. “Maafin kakak, ya. Kakak bener-bener minta maaf. Sekarang, kamu harus hidup sesuai keinginan kamu.
“Huh...?”
“Pergi ke mana pun yang kamu mau, sejauh apa pun. Kalau kamu cape, jangan lupa pulang. Kakak mohon, jadikan kakak rumah pertama buat kamu.”
Bunyi kursi berdecit terdengar begitu terburu-buru, bersamaan dengan Tami yang menghambur ke dalam dekapan kakaknya. Setelah sekian lama, akhirnya ia bisa bernapas lega.
Meski masih merasa tak percaya, tapi Tami merasa sangat bahagia. Tidak perlu lagi menjadi gadis penurut yang berlindung di bawah ketiak kakaknya, kini ia bisa berdiri di atas kakinya sendiri dan pergi ke mana pun sesuai keinginannya.
Menjadi dirinya sendiri. Sepenuhnya.
***
Terkadang otak manusia berfungsi lebih cepat saat merasa panik. Seolah-olah ada ledakan dalam kepala yang tiba-tiba menurunkan mental hingga persepsi orang lain menjadi tidak ada gunanya sama sekali.
Tiba di depan pagar rumah, Ombo masih punya waktu untuk memikirkan banyak hal yang berbeda mengenai banyak kemungkinan. Ia bahkan menahan tubuhnya ketika Obit menariknya untuk segera masuk.
Obit menatap adiknya sambil mengerutkan alis, “Apa lagi, sih? Kenapa, Om?”
Karena selalu ada cara salah atau benar dalam melakukan sesuatu, Ombo merasa bahwa ini cara yang salah di waktu yang tidak tepat. “Aku kayaknya belum siap. Biar aku pikir-pikir lagi cara yang benar buat kasih tahu semuanya ke ibu dan ayah. Ya, Teh? Plisss?”
“Mau sampai kapan?” tanya Obit penuh penekanan. “Kamu itu kena tumor otak, bukan masuk angin yang bisa sembuh dengan obat warung.”
“Siapa yang kena tumor otak?”
Spontan Ombo dan Obit menoleh begitu ayah membuka pagar. Keduanya membisu karena kaget dengan kehadiran ayah.
“Tadinya ayah mau buang sampah, tapi ayah nggak sengaja dengar omongan kalian berdua. Siapa yang kena tumor otak?” Ayah menatap Obit berharap mendapat jawaban, tapi Ombo justru menatap Ombo. “Siapa yang sakit tumor otak?” tanya ayah sedikit membentak.
Dengan raut wajah bingung bercampur panik, Ombo langsung menundukkan wajahnya. Ia sama sekali tidak berani menatap wajah ayahnya.
Ayah memandang ke arah Ombo dengan mata berkaca-kaca. “Ombo? Kamu…? Kamu yang sakit?”
Ombo tidak menjawab. Bibirnya sudah bergetar menahan tangis. Ia benar-benar tidak ingin menjawabnya.
Ada jeda beberapa detik hingga akhirnya ayah memeluk erat anak bungsunya. Cukup lama. Tangis ayah pecah ketika mendekap tubuh Ombo, begitu juga dengan Ombo.
“Obit, telepon ambulans. Kita ke rumah sakit,” ucap ayah yang kemudian melepas pelukannya.