MAX. 25 TAHUN

Ara Segara
Chapter #14

Membarui Tekad

Tiga hari setelah konflik keluarga itu, mereka masih saling diam satu sama lain. Tidak ada kata maaf terucap, meski maksud hati ingin mengatakannya. Tidak ada sarapan bersama di meja makan. Tidak ada jam malam untuk menghabiskan waktu bersama di ruang tamu. Yang ada hanya ruang kosong. Hampa.

Betapa menyakitkannya saat bersikap diam dan tidak peduli kepada keluarga setiap kali terjadi pertengkaran. Tidak bisa memberi tahu alasan di balik emosi yang terpendam karena mungkin akan lebih menyakiti mereka, terutama ketika mereka adalah alasan terbesarnya.

Malam itu mereka tidak sengaja harus berkumpul bersama di ruang tamu karena hujan deras hingga menyebabkan langit-langit rumah mereka bocor. Lagi, dan lagi.

“Cape banget kalau harus terus ngelap kayak gini. Kalian kenapa nggak bilang kalau keadaan rumah rusak separah ini, sih?” Obit mengeluh sekaligus mengomeli kedua orang tuanya karena tidak memberi tahu tentang keadaan rumah.

“Udahlah, kerja itu jangan pakai mulut, Obit. Nanti nggak selesai-selesai,” balas ibu.

“Ya, bukannya gimana-gimana, bu. Cuma aku—”

“Apa kita bakalan terus bersikap kayak gini?” Ombo memotong tajam ucapan Obit, “Seolah nggak terjadi apa-apa?”

Mereka bertiga terdiam dan tidak tahu bagaimana harus menanggapi Ombo.

“Aku cuma mau kita saling mendukung. Aku butuh dukungan kalian, bukan dukungan yang ada saat aku berhasil, tapi juga dukungan saat aku gagal,” lanjut Ombo dengan penuh penekanan.

Ibu bangkit berdiri, lalu berjalan mendekati Obit. Ia menariknya dan berjalan mendekati Ombo. Dengan senyuman lembut ibu lantas memegang tangan kedua anaknya. “Ibu tahu mungkin ini udah terlambat, tapi mulai sekarang dan selamanya, ibu akan berusaha untuk selalu mendukung anak-anak ibu.”

Tindakan tidak terduga itu membuat Ombo dan Obit sangat terkejut dan hampir tak percaya.

“Maafin, ibu. Maaf karena ibu nggak tahu kalau cara ibu mencintai kalian ternyata udah melukai kalian, membuat kalian merasa sesak sampai nggak bisa bernapas. Maafin, ibu.” Ibu berlinang air mata, mengungkapkan perasaannya di hadapan anak-anaknya. Ia memilih untuk belajar mencintai anak-anaknya dari awal lagi, dengan cara mencintai yang bisa dimengerti oleh anak-anaknya.

Perlahan senyum merekah di wajah Ombo. Ia memandangi wajah ibunya yang berlinang air mata. “Makasih ya, bu. Ombo sayang banget sama ibu.” Ombo memeluk erat ibunya.

Melihat ibu mengulurkan tangannya, Obit ikut menghambur ke dalam dekapan ibu. “Obit juga sayang banget sama ibu.”

Mendengar kedua anaknya mengungkapkan rasa cinta dan kebahagiaan melalui air mata haru, membuat semua itu sepadan bagi ibu untuk membuka hatinya terhadap apa pun pilihan anaknya dalam hidup ini, termasuk dalam kehidupan percintaan.

“Ayah juga mau ikut atuh!”

Ayah langsung berjalan cepat memeluk istri dan anak-anaknya dengan wajah bahagia. “Maafin ayah juga, ya. Ayah bakalan berusaha buat jadi suami dan ayah yang lebih baik untuk kalian.”

 Setelah sekian lama, mungkin ini pertama kalinya keluarga Manggala meneteskan air mata bahagia. Tidak ada beban lagi. Tidak ada juga perasaan tersembunyi yang bisa meledak kapan saja.

Hari ini, kesalahpahaman itu bergerak ke arah yang seharusnya. Kini, Ombo mulai percaya bahwa kesembuhannya dari tumor otak memanglah keajaiban Tuhan. Mungkin inilah mengapa ia harus melalui semua penderitaan itu selama bertahun-tahun.

Mungkin ini suatu manifestasi dari cinta yang konsisten. Dari semua yang telah berubah, hanya cintanya yang tidak pernah berubah. Tetap ada pada satu hati. Tidak pernah ke mana-mana.

 

***

 

Tidak peduli kepada siapa berjanji dan berapa banyak rencana yang dibuat, siapa yang tahu ke mana arah angin akan berhembus? Begitulah adanya kehidupan manusia. Beberapa kejadian mungkin terjadi sebagai perwujudan dari harapan manusia, tapi sisanya tetap berada di luar kendali manusia itu sendiri.

Meskipun pada awalnya semua yang Ombo lakukan adalah bentuk perjuangannya untuk memantaskan diri menjadi pasangan yang setara bagi Tami, tetapi semuanya berubah saat Kiara kembali menampakkan diri dalam kehidupannya. Seketika segala bayangan tentang masa depan hubungan Ombo dan Tami menjadi semakin jelas.

Setelah seminggu berlalu, akhirnya Tami memutuskan untuk menyelesaikan segalanya. Menggunakan mobil mewah berwarna putih miliknya, Tami berhenti di sebuah restoran Korea. Sosok tinggi dan ramping itu keluar dari mobil, kemudian berjalan memasuki restoran.

 “I never knew you could come on time.”

Ombo tersenyum mendengar celetukan Tami. Ia bangkit berdiri dan langsung memeluk Tami. “I never knew I could miss you this much.”

“Mmm… really? I thought you miss someone else.”

Seketika Ombo terdiam dan raut wajahnya menjadi tegang.

Kidding, bro.”

Ombo langsung bernapas lega. Ia tertawa kecil sambil geleng-geleng kepala. “Kamu tuh emang nyebelin, ya.”

Tami tersenyum. “O’iya, kamu udah pesen makanan?”

“Aku nggak ngerti nama-nama makanannya. Lagian kamu ngapain sih ngajak ketemuan di restoran Korea gini? Private room pula.”

“Ya terus kamu pengen orang-orang denger pembicaraan kita gitu? Kamu pengen jadi couple tukang berantem yang jadi tontonan banyak orang kayak dulu, huh?”

Hening.

Ombo dan Tami saling menatap satu sama lain. Tak sampai lima detik, keduanya tertawa secara bersamaan. Sekarang, semua kenangan buruk selama mereka menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih telah berubah menjadi kenangan lucu yang bisa mereka tertawakan bersama.

Perlahan Ombo menghentikan tawanya ketika menatap dalam wajah Tami. Ada perasaan bersalah yang begitu besar setiap kali ia tertawa lepas seperti sekarang, terutama jika itu di lakukan di hadapan Tami.

“Ombo…” Tami sudah tidak lagi memanggil Ombo dengan sebutan ‘mas’ seperti dulu. Namun, itu terdengar lebih baik dari sebelumnya karena sekarang ia bisa mengukir senyum setiap kali menyebut nama Ombo.

“Tami, aku minta maaf. Nggak ada pembenaran atas segala sikap berengsek aku ke kamu. Aku bener-bener minta maaf.” Ombo mengucapkannya dengan begitu tulus. Ia benar-benar tampak menyesal atas semua perlakuan buruknya terhadap Tami.

“Sebenernya tanpa perlu kamu minta maaf, aku udah maafin kamu, kok.” Tami menanggapi dengan santai.

Ombo menganga tak percaya. Tak lama ia mengerjap. “Kenapa segampang itu? Kamu harusnya nggak boleh maafin orang segampang itu, Tami,” ucapnya kesal sendiri.

Tami tersenyum lembut. “Menolak permintaan maaf seseorang itu jadi nggak nyaman buat aku. Mungkin juga, itu karena aku pernah melakukan kesalahan dan aku tahu gimana menanggung rasa bersalah itu sendirian. Buat menerima dan mengakui kesalahan kita aja butuh proses panjang,” ujarnya dengan bijak.

Ombo merenungkan kata-kata Tami. Ia mencerna makna dari setiap kalimat yang terucap dari mulut Tami, hingga berujung pada kesimpulan bahwa semua yang telah terjadi adalah takdir Tuhan. 

“Ombo Manggala…” panggil Tami dengan mata berkaca-kaca.

“Ya?”

Thank you for being a lesson to me.”

Seketika Ombo menitikkan air mata. Ini terasa perih, tapi cukup melegakan. “Are you saying goodbye?” tanyanya lembut.

Lihat selengkapnya