MAX. 25 TAHUN

Ara Segara
Chapter #14

Traitor

Menjalani hidup dengan luka masa lalu yang belum sembuh sepenuhnya bukanlah hal yang mudah, tetapi menjalani hidup tanpa tahu siapa yang sebenarnya menyebabkan luka tersebut adalah bagian tersulitnya.

Yang Ombo tahu, Kiaralah yang bersalah atas penderitaannya selama ini.

Meskipun begitu, Ombo tetap mencintai Kiara, terlepas dari apa yang pernah Kiara lakukan di masa lalu. Ombo akan selalu jatuh cinta lagi, dan lagi. Hanya kepada Kiara. Tidakkah ini terdengar salah? Tapi, inilah kebenarannya.

Setelah pertengkarannya dengan Tami di kafe, Ombo tidak bisa tidur dan terus memikirkan kata-kata Tami. Ada pertanyaan yang terus berputar-putar di kepalanya: Apa aku sudah sejahat itu terhadap Tami? Kenapa aku berubah jadi orang jahat? Apa karena aku selalu merasa orang lain yang bertanggung jawab atas kegagalanku? Apa hanya karena merasa tersakiti, aku jadi menyakiti orang lain? Apa selama ini aku terlalu menutup mata? Apa yang Tami lihat, tapi tidak kelihatan olehku?

Sontak Ombo bangun dan beranjak dari tempat tidur. Ia berjalan menuju lemari, lalu mengeluarkan sebuah kotak besar. Di dalamnya, ada barang-barang kenangan selama ia masih berpacaran dengan Kiara, dan ada satu barang yang masih terbungkus rapi. Itulah hadiah ulang tahun terakhir dari Kiara.

Ombo memutuskan untuk membuka hadiah itu. Ternyata Kiara memang tidak berbohong, itu benar-benar miniatur rumah impian Ombo. Sebuah rumah sederhana yang berwarna serba putih, dan terdapat taman belakang yang dipenuhi rerumputan hijau.

Melihat rumah impiannya, membuat Ombo tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Ia merasa terharu. Ini seolah membangkitkan dirinya dari ‘kematian’ lima tahun lalu, di mana ia mengubur dirinya bersama segala kenangan yang pernah ia ciptakan dengan Kiara.

Sekarang, ia dan semua kenangan kembali kepadanya dengan perasaan yang berbeda. Ada perasaan baru yang tidak bisa ia beri nama, tapi itu terasa nyata.

 

***

 

Thank you, tapi aku nggak minum kopi.”

Tanpa melihat siapa yang menaruh minuman di depannya, Patricia berbicara sambil terus fokus memainkan ponselnya. Setiap pagi ia memang selalu menyempatkan waktu untuk duduk sendirian di rooftop gedung, dan hanya ada dua orang yang tahu akan kebiasaan anehnya itu.

“Itu bukan kopi, tapi hot matcha latte tanpa gula.”

Patricia langsung mengenali suara itu. Ia menoleh. “Tami?”

Ini pertama kalinya Tami memasang wajah tak bersahabat terhadap Patricia. Ia tampak sudah muak dengan segala yang terjadi.

“Tami, soal di kafe waktu itu—”

Tami menyerahkan sebuah amplop kepada Patricia, yang tentunya membuat Patricia bingung.

“Apa ini?”

“Aku resign dari Ong Asset Sekuritas.”

Is this really necessary? Apa ini gara-gara Ombo atau Remi? Atau aku?”

“Bukannya ini yang Kak Pat mau? Aku keluar dari Ong Asset dan kejar mimpi aku jadi fotografer profesional?”

“Apa Ombo bener-bener kembali lagi sama Kiara?”

Tami tersenyum tak percaya. “Are you kidding me? Kak Pat mau bawa-bawa Kiara lagi dalam permasalahan ini?”

“Aku nggak bawa-bawa Kiara, tapi dari awal dia emang udah ada di dalam permasalahan ini, Tam. Kiara tuh—”

“Apa jangan-jangan kamu yang ngadu ke ibunya Ombo, ya?” potong Tami tajam.

Patricia mengernyitkan dahi. “Excuse me…? Maksud kamu apa, Tam?”

“Nggak usah pura-pura gitu di depan aku. Ngaku aja, Kak Pat yang udah ngirim video viral itu ke ibunya Ombo, makanya ibunya sampe datang ke Jakarta. Iya, ‘kan?”

“Ibunya Ombo ada di Jakarta?” tanya Patricia dengan ekspresi kaget.

“Apa jangan-jangan, dulu Kak Pat sama ibunya Ombo yang bikin Kiara mutusin Ombo? Right. Damn, it all makes sense now.” Tami mengucapkannya dengan sarkastis, hingga membuat Patricia tampak dongkol.

“Jangan karena aku nunjukin rasa nggak suka aku sama Kiara, terus kamu bisa nuduh aku seenaknya kayak gini. Aku nggak pernah ngerusak hubungan siapa pun, and I swear to God,” balas Patricia tegas.

“Terus kalau bukan Kak Pat, siapa lagi? Selain aku, cuma kamu yang punya nomor ibunya Ombo.”

Are you sure?” tanya Patricia sambil tersenyum tipis.

Tami tidak langsung menanggapi. Ia berpikir sejenak, memutar ulang memorinya agar tak salah dalam menjawab.

“Tami, kamu tahu kenapa aku lebih suka sendiri dan milih buat nggak punya temen?”

Tami masih tidak menanggapi.

Traitor. That was him, and maybe still him. Aku nggak tahu apa yang sebenernya terjadi waktu itu, dan aku nggak mau cari tahu karena itu bukan tugas aku untuk cari tahu. Terserah kamu mau percaya atau enggak,” lanjut Patricia terdengar meyakinkan.

Hingga akhir kalimat, Tami tetap tidak bereaksi. Ia terus berpikir, tanpa mau berasumsi. Satu-satunya orang yang akan mengatakan kejujuran hanyalah yang mengalaminya sendiri. Mungkin ini waktu yang tepat untuk menghadapi ketakutannya, dan menyelesaikan segala permasalahan yang berhubungan dengan Ombo.

 

***

 

Jordi turun ke lantai dasar dan melihat sahabatnya sedang sibuk di dapur. Tidak biasanya Ombo bangun pagi-pagi sekali. Ini mencurigakan. Lantas ia menghampiri Ombo dan mengajukan permintaan, “Bikinin nasi goreng pake telor mata sapi, ya. Nggak pake lama.”

Ombo menoleh ke belakang, lalu tersenyum, “Dih, males banget. Bikin sendiri.”

“Lah, itu lu bikin nasi goreng buat siapa? Tumben amat.”

“Bukan buat siapa-siapa. Ini sih buat bekel makan siang gua aja.”

“Bohong banget.”

Tong ngomong eta teh buat si Kiara,” sambung ibu yang tiba-tiba muncul di tengah-tengah obrolan mereka.

Lihat selengkapnya