MAX. 25 TAHUN

Ara Segara
Chapter #15

Waktu yang Tepat

Jakarta, Februari 2023…

 

Ombo mendongak ke gedung tinggi di depannya. Ia memandangi dengan perasaan asing, sebelum melangkah masuk dengan sedikit gugup.

“Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?” suara dari balik meja resepsionis menyambutnya begitu ia mendekat.

“Pagi. Saya ke sini untuk menemui Mr. Chan.”

Kedua wanita di balik meja resepsionis itu saling bertukar pandang, terkejut karena tidak biasanya seorang pria yang kelihatan biasa-biasa saja datang menemui bos mereka.

“Apa Anda sebelumnya sudah punya janji dengan Mr. Chan?”

“Ya, Mr. Chan sendiri yang meminta saya datang ke sini.”

“Maaf sebelumnya, dengan Bapak siapa, ya?”

“Ombo Manggala.”

“Baiklah. Tolong tunggu sebentar, ya.”

“Oke.” Ombo mengangguk sambil tersenyum tipis. Setelah menunggu beberapa saat, wanita itu menyuruhnya naik ke atas untuk langsung menemui sekretaris terlebih dahulu. Dari apa yang ia lihat, ia menduga kalau Mr. Chan sedang sangat sibuk dengan pekerjaannya.

‘Naik lift, belok kanan, dan Anda akan melihat meja sekretaris presiden direktur.’

Hanya itu yang diingat Ombo dengan jelas. Wanita yang ada di lantai bawah mengatakan ia bisa naik ke lantai ini untuk menghubungi sekretaris Mr. Chan, tetapi ketika ia naik, ia tidak menemukan siapa pun di sana.

Ombo hendak berbalik, tapi ia mendengar suara tangisan anak dari dalam ruangan. Meski sempat ragu, ia pun memutuskan untuk segera masuk ke ruangan. Mungkin ini tidak sopan, namun karena anak itu ada di dalam, ia tidak bisa hanya berdiri diam.

“Jangan nangis. Nih, papi oles salepnya, ya.”

Saat ia masuk, Ombo melihat dan mendengar suara lembut seorang pria yang sedang duduk, membungkuk menghadap ke lutut seorang anak perempuan yang sedang menangis di sofa.

“Fira, kamu sudah kembali?” Pria itu menoleh ke arah Ombo, mengira itu adalah sekretarisnya. Ia langsung tersadar ketika ia melihat bahwa itu bukan sekretaris.

Mr. Chan…?” Ombo sedikit kaget karena pria itu ternyata adalah Mr. Chan. Perkiraannya salah. Mr. Chan bukan sibuk dengan pekerjaan, melainkan sedang sibuk mengurus anaknya.

“Aduh, Ombo. Sorry, sorry. Saya lupa ada janji sama kamu pagi ini, ya?”

“Nggak apa-apa, Mr. Chan. Take your time.” Ombo berjalan menghampiri Mr. Chan, lalu ia duduk berlutut di hadapan anak perempuan yang masih tersedan-sedan itu. “Hai, aku Ombo. Nama kamu siapa?”

Anak perempuan yang berusia sekitar enam tahun itu tidak menjawab. Ia hanya menatap Ombo dengan wajah sendu.

“Ji-a. Panggil aja Ji-a,” jawab Mr. Chan.

“Ji-a…?” Ombo tersenyum, “Namanya cantik, secantik orangnya.”

Spontan Ji-a tersenyum, dan senyuman itu cukup mengagetkan Ombo dan Mr. Chan.

“Lutut kamu kenapa, Ji-a?” tanya Ombo lembut.

“Tadi jatuh di tangga,” jawabnya yang kemudian menurunkan bibir seperti hendak menangis lagi.

“Oh, jatuh. Jadi, sekarang Ji-a kesakitan dong, ya?”

Ji-a mengangguk.

“Ya udah, kalau emang sakit berarti lukanya harus diobati. Mau, ya?”

Ji-a menggeleng.

“Kenapa nggak mau?”

“Perih banget.”

Ombo tersenyum samar, “Perih, ya? Tapi, luka emang perih kalau diobati, Ji-a. Kalau nggak cepat-cepat diobati, nanti lukanya jadi membekas di lutut kamu, loh. Emangnya kamu mau punya bekas luka sampai kamu udah gede nanti?”

“Emang iya, Om? Emang lukanya bakal ada bekasnya? Nanti berarti lutut aku jadi item, dong? Jadi jelek?”

Ombo mengangguk, “Iya. Terus akhirnya kamu nggak bisa pakai baju princess kayak gini lagi, emang nggak apa-apa?”

Ji-a menggeleng cepat. “Nggak mau. Ya udah papi, cepat obatin Ji-a. Ayo, pi!”

Mr. Chan menatap anaknya terheran-heran. “Beneran mau? Ah, enggak, ah. Nanti kamu nangis lagi,” ucapnya bergurau kepada anaknya.

“Beneran. Sekarang aku tahan sakitnya, yang penting nanti aku nggak punya bekas luka kalau udah dewasa, pi. Ayo cepetan!”

“Oh, iya, iya. Siap, princess.” Mr. Chan langsung mengoles salep ke lutut anaknya dengan lembut.

Hal-hal kecil seperti ini seolah mengingatkan Ombo bahwa tidak perlu menunggu jadi orang hebat untuk memberi kesan yang baik terhadap orang lain, cukup menjadi orang yang peduli dan bersikap hangat. Sebab, bersikap dingin dan tidak acuh hanya akan menjadikannya manusia yang tidak berguna.

 

***

 

“Saya juga senang memandangi dunia luar yang sibuk dari balik jendela ini.” Mr. Chan membawa secangkir kopi, dan Ombo langsung menerimanya dengan senyuman.

“Makasih, Mr. Chan.”

Dari balik jendela kaca ruangan Mr. Chan di lantai 12, keduanya berdiri sambil memandangi gedung-gedung tinggi yang berjajar dan kendaraan yang terlihat seperti mainan di jalan raya.

“Saya nggak pernah tahu kalau kamu bisa cepat akrab dengan anak kecil,” celetuk Mr. Chan sambil melirik Ombo dengan senyuman kecil.

Ombo tersenyum, “Nggak juga, Mr. Chan. Saya masih belajar buat berkomunikasi dengan baik, dan mencoba untuk membuka diri dengan mengatakan apa aja yang ada di pikiran saya, tanpa rasa takut lagi.”

Mr. Chan mengangguk-angguk. “Bagus kalau kamu mau belajar. Ya… bisa dibilang hidup itu memang hanya tentang belajar dan belajar. Belajar menerima perasaan kita sendiri, belajar memberi perasaan kita pada orang lain, belajar memainkan peran baru dalam segala tahap kehidupan, dan yang paling penting adalah belajar untuk merasa cukup,” ucapnya menanggapi dengan bijak.

Ombo berdeham seolah membersihkan tenggorokannya sebelum kembali berbicara. “Mr. Chan, saya boleh tahu sesuatu nggak?”

“Apa yang mau kamu tahu?” tanya Mr. Chan sambil menatap Ombo dengan serius.

“Kenapa Mr. Chan menawarkan saya sebagai chef talent buat program baru di Youtube-nya ChanJoo? Saya belum punya pengalaman dan saya juga bukan chef terkenal. Gimana kalau saya viewers-nya sedikit?”

“Kalau saya saja yakin dengan kamu, kenapa kamu ragu?” Mr. Chan bertanya balik dan sontak membuat Ombo tercengang. “Kalau saya mau, saya bisa cari talent yang mungkin lebih punya banyak pengalaman di kitchen, lebih banyak followers di media sosial, tapi tidak saya lakukan. Tahu kenapa?”

Ombo menggeleng. “Kenapa, Mr. Chan?”

“Karena bukan mereka yang saya mau,” jawab Mr. Chan ringan, “Yang saya mau adalah memberi kesempatan kepada kamu dan membuktikan bahwa saya memang benar.”

Lihat selengkapnya