MAX. 25 TAHUN

Ara Segara
Chapter #15

Segalanya Runtuh

Langit pagi tidak secerah hari sebelumnya. Awan mendung senada dengan suasana di dalam ruang makan. Ombo berdiri mematung saat melihat Tami sudah bergabung di meja makan bersama yang lainnya.

“Rapi banget lu pagi-pagi gini. Mau ke mana, Om?” tanya Jordi yang heran melihat Ombo mengenakan kemeja dan celana bahan formal.

Ombo tidak menjawab.

“Sarapan dulu, yuk.” Ibu bangkit berdiri. “Sini, kamu duduk di sebelah Tami. Biar ibu duduk deket Jordi.”

Ombo mengabaikan ibu dan terus menatap tajam ke arah Tami. “Ngapain pagi-pagi gini kamu udah di sini, Tam? Apa Remi nggak ngasih kamu sarapan sampai kamu harus sarapan di rumah Jordi?”

Tami memasang wajah datar dan sama sekali tidak terkejut atas pertanyaan ketus Ombo. Hal itu pun membuat Ombo semakin merasa bahwa Tami memang sengaja datang untuk mendapatkan dukungan ibu agar tetap bisa bersama dengannya.

“Memang Tami yang menghubungi ibu duluan tadi malem, tapi ibu yang sengaja mengundang Tami untuk sarapan bareng kita semua,” jawab ibu mewakili Tami.

Ombo menoleh ke arah ibu. “Ibu? Ngapain sih, bu?”

“Ya karena ibu teh pengen aja.”

“Terus ibu pernah tanya nggak pengennya aku apa?” suara Ombo jelas tidak senang.

“Ombo, kamu teh nggak boleh ngomong gitu ke ibu,” sela ayah.

Spontan Ombo menatap ayah sambil tersenyum ketus. “Terus aku bolehnya apa, yah? Jadi pekerja kantoran nggak boleh, jadi penulis nggak boleh, sekarang bahkan bicara layaknya orang dewasa sama ibuku sendiri, juga nggak boleh?”

Sepanjang hidupnya, ibunya tidak pernah peduli apa yang Ombo inginkan, sementara ayahnya tidak pernah mendukung apa yang menjadi keinginannya. Dari yang bisa ia ingat, ia tidak pernah menjadi anak nakal yang membuat orang tuanya kewalahan, atau protes karena merasa terlalu lelah setiap kali mencoba menjadi yang terbaik untuk membuat kedua orang tuanya bangga. Namun, kali ini ia sudah tidak bisa lagi menahan perasaannya.

“Terus kamu teh pengennya apa, huh? Kembali lagi sama si Kiara? Emang kurangnya si Tami di mana, sih? Naha kamu teh meni tergila-gila sama si Kiara?” nada bicara ibu mulai meninggi dan penuh kemarahan.

“Ibu—”

“Ibu mau kamu cepet-cepet ngelamar Tami, kalau perlu minggu ini juga,” potong ibu cepat.

Bukan hanya Ombo yang terkejut, tetapi Tami, ayah dan Jordi pun sama terkejutnya. Mereka tidak menyangka bahwa ibu akan mengucapkan hal sepenting itu dengan begitu enteng.

“Ibu, Ombo udah bilang kalau Ombo belum siap berkeluarga. Apalagi, Ombo belum punya rumah dan pekerjaan tetap. Tami juga belum tentu mau menikah dengan aku, bu.” Ombo berusaha semaksimal mungkin untuk menanggapi dengan tenang dan menjelaskannya dengan penjelasan yang masuk akal.

Ibu menoleh ke arah Tami dengan penuh harapan. “Tami, kamu teh mau, ‘kan menikah dengan Ombo? Kalau kamu mau menikah sama Ombo, ibu teh bakalan ngasih rumah buat hadiah pernikahan kalian. Terus, soal pekerjaan mah gampang, nanti Ombo bisa bisnis jual-beli tanah kayak ayahnya,” suaranya jelas sedikit memaksa.

“Apa Tante Lilis pernah menawarkan hal yang sama ke Kiara? Supaya Kiara mau menikahi Ombo?”

Begitu mendengar pertanyaan Tami, Ombo mengernyitkan dahi. Ia menatap ibunya dengan penuh tanda tanya.

“Atau justru sebaliknya, Tante menawarkan hal lain supaya Kiara meninggalkan Ombo?” lanjut Tami dengan nada sarkastis.

Raut wajah ibu menjadi tegang, tentu saja ia tidak menyangka bahwa Tami akan menjebaknya di dalam permainannya sendiri.

“Tami, kamu ngomong apa, sih? Jangan ngaco.”

“Diem lu, Jor. Lu nggak diajak ngomong!” bentak Ombo kepada sahabatnya.

“Perempuan itu pasti ngomong yang macem-macem sama kamu ya, Tam?” suara ibu sedikit bergetar saat berbicara kepada Tami.

“Maksudnya ngomong macem-macem apa, bu?” tanya Ombo berusaha selembut mungkin, sebab ia masih berharap bahwa apa yang ada dipikirannya tentang ibu adalah salah.

“Apa perempuan itu kembali gara-gara butuh uang? Seharusnya dia teh nggak pernah kembali lagi ke hidup kamu, Ombo,” jawab ibu setengah berteriak.

“Butuh uang… apa ibu…? Gimana bisa ibu ngomong kalau seharusnya Kiara gak pernah kembali? Apa itu karena…” ucapannya terhenti sejenak karena jantungnya hampir copot hingga membuat bibirnya terkatup rapat. Sekuat tenaga ia menahan air mata. Pernyataan ibunya itu sudah memperjelas bahwa ada yang ibu tahu tentang Kiara yang tidak ia ketahui, sehingga membuat Kiara terpaksa pergi dari hidupnya.

“Ombo, cintanya ibu—”

“Itu karena ibu, ‘kan? Ibu yang nyuruh Kiara putus sama aku?” Emosi Ombo pada akhirnya meluap menjadi air mata. Perasaannya sudah tak bisa dibendung lagi. Seketika segalanya runtuh. Hatinya hancur berkeping-keping. Seluruh penderitaannya selama ini bukanlah salah siapa pun, melainkan karena wanita yang menurutnya paling mencintainya dan memahaminya. Wanita yang ia panggil ibu.

“Kamu teh mencintai perempuan yang salah, Ombo. Perempuan rendahan yang nggak jelas bibit bebet bobotnya. Itu teh bakalan ngerusak nama baik keluarga kita. Apa kamu teh tega lihat ibu sedih sampai kena stroke? Apa kamu nggak mikirin ibu? Apa kamu udah gak sayang sama ibu? Emangnya kamu teh gak takut kehilangan ibu? Kamu teh harus tahu kalau ibu ngelakuin semua itu karena ibu sayang sama kamu.”

“Enggak! Ibu nggak sayang sama aku. Ibu bahkan nggak ada saat Ombo bener-bener membutuhkan ibu. Bu… ibu pernah nggak, sekali aja, mikirin gimana perasaan Ombo? Ibu pasti nggak tahu kalau ibu hampir kehilangan anak bungsu ibu yang udah dua tahun kena penyakit tumor otak.”

Spontan ayah bangkit berdiri dan mentap Ombo dengan mata berkaca-kaca. Inilah patah hati terbesarnya saat ia tahu bahwa anak bungsunya memiliki penyakit separah itu, dan yang ia lakukan selama ini hanyalah menjadi ayah yang buruk bagi anaknya.

“Dari aku masih kecil, ayah selalu mengkritik semua yang aku lakukan dan sama sekali nggak pernah mendukung impianku, dan yang jadi satu-satunya alasan aku pulang ke rumah adalah ibu. Wanita yang melahirkanku, wanita yang menurutku selalu mencintai aku apa adanya, wanita yang menurutku selalu menghargai apa pun pilihanku, dan wanita yang menurutku nggak akan pernah mematahkan hati aku.” Suara Ombo getir seolah kekecewaan dan kesedihan telah menggerogoti hatinya.

“Ombo…” ibu tidak dapat mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata ketika ia dihadapkan pada penyesalan atas kesalahan terbesarnya kepada anak bungsunya. Air matanya mengalir deras, bersamaan dengan Ombo yang berlinang air mata. Suara Ombo yang selalu menyebut ibunya sebagai ibu tercantik terkeren terbaik, mendadak terngiang-ngiang di telinganya.

Lihat selengkapnya