MAX. 25 TAHUN

Ara Segara
Chapter #16

Semaksimal Mungkin

Jakarta, Juli 2023…

 

Ini adalah arisan keluarga pertama di tahun 2023, setelah enam bulan tidak berkumpul karena kesibukan masing-masing. Tidak seperti biasanya, kali ini Ombo tidak datang dengan tangan kosong. Ia bersama ibu dan ayah membawa beberapa kotak makanan ringan.

Pakde Eko dan Bude Ira menyambut mereka dengan senyuman, kecuali kepada ayah. Jika Ombo yang dulu mungkin hanya akan diam dan memendam kekesalannya sendiri, kali ini agaknya berbeda.

“Selamat datang, Lilis, Ombo…” sapa Bude Ira dengan ramah.

“Lilis, Ombo… akhirnya kalian datang juga,” sambung Pakde Eko.

Ombo melangkah mundur dan menolak ketika Pakde Eko hendak memeluknya. Sontak membuat semua orang bingung.

“Pakde Eko sama Bude Ira, gak mau menyapa ayah aku? Kalau kalian lupa, biar aku ingatkan.” Ombo merangkul dan membawa ayahnya berdiri di hadapan Pakde Eko dan Bude Ira. “Ini Bapak Tio Manggala, suami dari Ibu Lilis Manggala. Beliau adalah ayah dari Ombo Manggala dan Obit Manggala. Satu-satunya suami dan ayah yang kami punya. Beliau juga seorang pemilik kedai makanan yang belakangan ini lagi viral. Jadi, beliau ini manusia, bukan hantu. Kalian juga harus menyapa beliau. Perlakukan beliau layaknya manusia di keluarga ini. Meskipun kalian nggak suka sama seseorang, tapi kalian harus tahu bagaimana caranya menghargai seseorang.”

Pakde Eko menelan ludah sambil memalingkan wajah. Ia tampak malu dan tidak percaya bahwa Ombo bisa memberikan reaksi sekeras itu kepadanya.

“Ombo, kamu ini lama-lama makin kurang ajar, deh. Apa ini gara-gara kamu kelamaan jadi pengangguran, ya? Makanya kamu jadi manusia gagal begini,” balas Bude Ira.

“Mbak tolong dijaga mulutnya, ya. Mbak Ira ini terlalu sibuk ngurusin anak orang, sampai anak sendiri nggak pernah diurus.” Ibu langsung membalas dengan nada meninggi, hingga membuat Ombo dan ayah merasa tak percaya bahwa ibu bisa seberani itu di hadapan keluarganya.

Bude Ira memutar bola matanya sambil tersenyum tak percaya. “Apa maksud kamu, Lilis?”

“Obit bilang dia melihat Mariska di Australia, katanya Mariska kerja jadi waiter di salah satu bar di Perth. Dua minggu lalu juga saya ketemu sama Mario, dia sendiri yang bilang kalau dia di-drop out dari kampusnya.” Ibu menghela sepenggal napas. Ia menatap Bude Ira sambil geleng-geleng kepala. “Atas segala kegagalan anak-anak Mbak, seenaknya aja Mbak menghina Ombo dengan menganggap menjadi pengangguran adalah sebuah kegagalan. Asal Mbak tahu aja ya, Ombo itu manusia yang lagi berproses, bukan manusia gagal.”

Pakde Eko dan Bude Ira terdiam seolah sudah kehilangan kata-kata. Antara percaya dan tidak percaya.

“Udahlah, kayaknya percuma ngomong sama orang yang kecerdasan emosionalnya di bawah rata-rata. Mau ngomong sampai lebaran monyet juga mereka nggak akan ngerti-ngerti. Ayo, ayah, Ombo. Kita pulang aja.”

“Huh?” Ombo dan ayah kompak kaget sekaligus bingung.

“Ayo, pulang!” ajak ibu dengan penuh kekesalan.

Ombo dan ayah langsung mengangguk bersamaan. Keduanya buru-buru menyusul ibu yang berjalan di depan mereka dengan langkah cepat dan lebar-lebar.

Bagi Ombo, ini adalah kemenangan. Mendapat pembelaan dan pengakuan bahwa dirinya bukan manusia gagal sangatlah memicu semangatnya untuk lebih bekerja keras. Terutama ketika pembelaan dan pengakuan itu datang dari ibunya.

Mendadak kepercayaan dirinya bertambah berkali-kali lipat. Senyumnya pun merekah bak bunga baru mekar. Meski beban itu tidak sepenuhnya hilang, setidaknya ia bisa menegakkan kepala dan melihat ke depan.

Mencari tahu apa yang sedang menunggunya di sana.

 

***

 

Sudah hampir enam bulan belakangan ini Ombo bekerja sebagai chef talent yang mengisi program memasak perusahaan ChanJoo. Ia selalu bolak-balik ke gedung ChanJoo dengan suasana hati yang berbeda-beda. Meski begitu, ia tetap datang setiap minggu untuk melakukan proses shooting.

Minggu ini adalah minggu terakhirnya. Kontraknya habis di bulan ini. Waktu berlalu begitu cepat. Namun, sejujurnya Ombo tidak pernah mengira bahwa ia benar-benar bisa bertahan sampai hari ini, sebab hari ini terhitung lebih jauh dari yang ia perkirakan.

Jika biasanya Mr. Chan tidak pernah datang ke studio untuk mengawasi proses pengambilan gambar, hari ini ia datang.

“Oke, cut! Bungkus! Thank you semua!”

Begitu selesai memeluk para kru dan berterima kasih kepada mereka, Ombo langsung menghampiri Mr. Chan yang sedang duduk sendirian di pojok. Spontan Mr. Chan bangkit berdiri dan memeluk Ombo.

Congrats, Ombo! Viewers kamu bertambah terus tiap hari. Popularitas kamu juga naik, bahkan ada orang stasiun TV yang minta saya buat bujuk kamu ikut kompetisi masak di sana.”

Thanks, Mr. Chan.”

Mr. Chan melepas pelukannya, lalu menatap Ombo dengan raut wajah serius. “Ombo, rencananya saya akan bikin season dua untuk program ini, tapi kamu akan digantikan oleh chef talent baru.”

Raut wajah Ombo langsung berubah menjadi sedih, tapi ia berusaha untuk tetap tersenyum. “Oh, gitu ya, Mr. Chan. Jadi, kontrak saya nggak akan diperpanjang?”

“Ya, saya tidak akan memperpanjang kontrak kamu sebagai chef talent, karena saya ingin mempekerjakan kamu di kantor.”

Ombo tersentak sambil membelalakkan mata, “Huh?” Ia mendengar ucapan Mr. Chan, tapi ia tidak yakin sekaligus tak percaya.

Mr. Chan mengangguk, “Ya, saya maunya memperbarui kontrak kamu menjadi karyawan tetap di ChanJoo, lebih tepatnya sebagai asisten pribadi saya.”

“Huh?” teriak Ombo.

“Kenapa?” Mr. Chan menaikkan alisnya, merasa bingung. “Kamu… tidak mau?”

Ombo langsung menggelengkan kepala. “Eh…” Ombo jadi mengangguk, “Mau, Mr. Chan. Mau banget. Masa nggak mau. Tapi, ini serius?”

Mr. Chan tertawa renyah, “Iya, Ombo. Saya sangat serius.”

Spontan Ombo memeluk Mr. Chan dengan sangat erat. “Makasih, Mr. Chan. Terima kasih atas kesempatan yang Mr. Chan berikan ke saya.” Tiba-tiba ia melepas pelukannya, lalu menatap Mr. Chan lurus-lurus. “Saya janji, saya nggak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Saya juga akan berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga kepercayaan Mr. Chan. Saya jamin, saya bisa diandalkan.”

“Oke, oke, Ombo.” Mr. Chan benar-benar tidak bisa menahan tawanya melihat kegembiraan di wajah Ombo. Ia menepuk pundak Ombo sambil menganggukkan kepala, “Saya butuh bukti. Jadi, saya akan biarkan kamu bekerja dengan cara kamu dan kita lihat hasilnya nanti.”

Ombo mengangguk sambil tersenyum bahagia. “Iya, Mr. Chan. Sekali lagi, terima kasih banyak.”

Setiap manusia pasti pernah merasa patah hati pada keputusan Tuhan, tanpa tahu alasan dibaliknya. Itulah yang pernah dirasakan Ombo. Dan, kini semuanya masuk akal bagi Ombo.

Kehidupan memiliki ritme dan waktunya sendiri, sementara manusia harus mengimbanginya dengan tekad yang kuat untuk tetap hidup. Jika sudah punya tekad, pasti akan baik-baik saja.

Perbesar keyakinan. Itulah hal terpenting yang ia ketahui.

 

***

 

Mix&Max café.

Dan sejauh ia melangkah, semuanya terasa begitu damai dan penuh kegembiraan. Setidaknya, sejauh apa pun itu, segala hal dapat menjadi kedamaian dan kegembiraan ketika orang-orang yang ia pilih terlibat di dalamnya.

Lihat selengkapnya