MAX. 25 TAHUN

Ara Segara
Chapter #16

Talk to Me, Please

Tami terlihat sangat cantik, walaupun wajahnya tampak sedikit arogan. Sudah hampir satu jam ia duduk sendirian di salah satu meja di kantin rumah sakit. Meski menatap layar ponsel, matanya sama sekali tidak bisa diajak kompromi. Secangkir kopi pun tidak mampu menahan kantuknya.

“Secangkir kopi gratis untuk perempuan tercantik di sini.”

Spontan Tami mengerjap. Ia mendongak dengan ekspresi terkejut, tapi ia lebih terkejut saat melihat Remi berdiri di hadapannya.

“Boleh ikut duduk, nggak?”

Tami mengangguk dengan raut wajah datar.

Remi tersenyum dan tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bisa berbicara dengan adiknya.

“Tahu dari mana kalau aku ada di sini?”

“Kiara. Tadi aku udah sempet nengok Ombo juga.”

“Kak Remi udah tahu tentang Ombo?”

Remi mengangguk. “Kakak udah tahu semuanya dari Patricia, termasuk soal kamu yang resign dari Ong Asset.”

Inikah waktu yang tepat untuk mengatakan yang sejujurnya kepada kakaknya? Tami sedikit ragu. Ia takut jika reaksi kakaknya tidak sesuai dengan harapannya. Sambil mengumpulkan keberanian, Tami menarik napas dalam-dalam. Perlahan ia memberanikan diri menatap Remi. “Kak, soal itu… mmm… sebenernya…”

“Kenapa kamu nggak pernah ngomong sama kakak kalau kamu pengen jadi fotografer? Kenapa kamu kasih tahu mimpi kamu sama orang lain, dan bukan kakak? Can you talk to me first before anyone else? Apa kamu nggak menganggap aku sebagai kakak kamu, Tami?” suara Remi bergetar hingga membuat matanya berkaca-kaca.

Reaksi kakaknya yang di luar dugaan, sontak membuat Tami tercengang. Ia menelan ludah sebelum mengatakan, “Bukan gitu, Kak. Tapi, aku takut kakak kecewa dan marah karena apa yang aku mau itu nggak sesuai sama harapan yang kakak punya buat aku. Kakak benci banget sama daddy karena dia lebih milih ngejar kariernya sebagai fotografer dibandingkan keluarganya. Aku nggak mau dibenci sama kakak. Aku takut.”

“Astaga, Tami…” Remi memalingkan wajah, menghela sepenggal napas. Berusaha agar air matanya tidak jatuh. Tak lama, ia kembali menatap adiknya, “…kamu itu bukan daddy. Kamu itu Tami, adik yang paling aku sayang melebihi sayangku sama mami dan daddy. Aku nggak mungkin membenci kamu cuma gara-gara kamu milih profesi yang sama kayak daddy. I love you, you know that, right?”

Entah sejak kapan wajahnya berlinang air mata, tapi sorot mata itu jelas menunjukkan kepedihan. Tami menggeleng sambil berusaha terus menyeka air matanya sendiri. “Aku nggak tahu, Kak. Semua yang aku lakukan dari mulai jadi juara kelas, masuk kampus terbaik dengan jurusan bisnis, sampai kerja di Ong Asset, semuanya aku lakukan supaya kakak bisa sayang sama aku. Selama ini aku selalu ngerasa kakak nggak pernah sayang sama aku kalau aku jadi diriku sendiri.”

Pernyataan adiknya bagaikan puluhan pisau yang dilemparkan ke dadanya. Menusuk melesak hingga ke bagian terdalam hatinya. Air matanya jatuh juga. Bukan karena rasa sakit di hatinya, melainkan rasa sakit adiknya yang akhirnya bisa ia lihat dengan mata telanjang.

“Aku merasa tertekan karena harus menyenangkan kakak. But, in the end… aku cape. Aku nggak bisa terus-terusan hidup sesuai keinginan kakak.”

“Emangnya kamu pikir, kehidupan kayak apa yang kakak inginkan dari kamu?”

“Kehidupan normal kayak orang-orang. Punya pekerjaan di kantoran, menikah sebelum usia tiga puluh, supaya aku nggak jadi beban lagi buat kakak. Right?”

Remi menyeka air matanya sambil menarik napas dalam-dalam. Lantas ia bangkit berdiri, lalu duduk bersujud di samping adiknya. Ia mengambil tangan Tami, lalu membandingkan telapak tangan milik Tami dengan telapak tangannya. “Tami, kamu tahu kenapa pola sidik jari setiap orang itu berbeda? Bahkan, pola sidik jari pada saudara kembar identik juga nggak sama. Tahu kenapa?”

Tami menggeleng.

“Itu karena Tuhan menginginkan manusia menjalani kehidupan yang berbeda-beda.” Suara Remi bergetar menahan pilu. Ia mengelus kepala adiknya sambil tersenyum. “Maafin kakak, ya. Kakak bener-bener minta maaf. Sekarang, kamu harus hidup sesuai keinginan kamu."

"Huh...?"

"Pergi ke mana pun yang kamu mau, sejauh apa pun. Kalau kamu cape, jangan lupa pulang. Kakak mohon, jadikan kakak rumah pertama buat kamu.”

Bunyi kursi berdecit terdengar begitu terburu-buru, bersamaan dengan Tami yang menghambur ke dalam dekapan kakaknya. Setelah sekian lama, akhirnya ia bisa bernapas lega. Meski masih merasa tak percaya, tapi ia sangatlah bahagia. Tidak perlu lagi menjadi gadis penurut yang berlindung di bawah ketiak kakaknya, kini ia bisa berdiri di atas kakinya sendiri dan pergi ke mana pun sesuai keinginannya. Menjadi dirinya sendiri. Sepenuhnya.

 

***

 

Otak manusia selalu berfungsi selama dua puluh empat jam dalam seminggu, sepanjang hidup manusia. Anehnya, terkadang otak kita berhenti berfungsi ketika sedang jatuh cinta. Seperti Ombo yang tidak dapat berpikir tentang bagaimana caranya meluluhkan hati ibunya agar merestui hubungannya dengan Kiara. Saat Ombo sudah membuka mulutnya dan hendak mengatakan sesuatu, tiba-tiba tirai terbuka.

Spontan Kiara menengok. Tami datang ditemani Remi yang berdiri di belakang adiknya. Sontak ia langsung buru-buru bangkit dari duduknya.

Sorry ganggu,” ucap Tami.

“Nggaklah, Tam,” sahut Kiara cepat. Ia menarik Tami agar berdiri di sampingnya. “Kamu mau ngomong berdua sama Ombo?”

Tami melirik Ombo sebentar, lalu ia menggeleng. “I’d like to, tapi kayaknya nggak sekarang. Gimana sama kalian? Udah ketemu solusinya?”

Ombo mengangguk. “Kayaknya aku mau resign dari kafe, dan pulang ke Bandung sama orang tuaku.”

Mendengar jawaban Ombo, Kiara dan Tami tampak bingung.

“Kamu mau lari dari semua masalah ini?” tanya Tami.

Ombo menggeleng. “Aku nggak mungkin kembali ke rumah Jordi. Aku nggak bakalan tahan lihat muka dia setelah semua yang terjadi. Jadi, menenangkan diri dengan pulang ke Bandung kayaknya pilihan terbaik. Mungkin, pelan-pelan aku bisa memaafkan ibu, dan ibu juga bisa—”

Are you sure? I mean…” Tami sengaja menyela karena ia meragu jika itu menyangkut ibunya Ombo.

Lihat selengkapnya