MAX. 25 TAHUN

Ara Segara
Chapter #17

Manifestasi

Tidak peduli kepada siapa berjanji dan berapa banyak rencana yang dibuat, siapa yang tahu ke mana arah angin akan berhembus? Begitulah adanya kehidupan manusia. Beberapa kejadian mungkin terjadi sebagai perwujudan dari harapan manusia, tapi sisanya tetap berada di luar kendali manusia.

Meskipun pada awalnya semua yang Ombo lakukan adalah bentuk perjuangannya untuk memantaskan diri menjadi pasangan yang setara bagi Tami, tetapi semuanya berubah saat Kiara kembali menampakkan diri dalam kehidupannya. Seketika segala bayangan tentang masa depan hubungan Ombo dan Tami menjadi semakin jelas.

Setelah hampir seminggu lebih tidak berkomunikasi dengan Ombo, akhirnya Tami memutuskan untuk menemui Ombo di Bandung. Menggunakan mobil mewah berwarna putih miliknya, Tami berhenti di sebuah restoran Korea. Sosok tinggi dan ramping itu keluar dari mobil, kemudian berjalan memasuki restoran.

 “I never knew you could come on time.”

Ombo tersenyum mendengar celetukan Tami. Ia bangkit berdiri dan langsung memeluk Tami. “I never knew I could miss you this much.”

“Mmm… really? I thought you miss someone else.”

Seketika Ombo terdiam dan raut wajahnya menjadi tegang.

Kidding, bro.”

Ombo langsung bernapas lega. Ia tertawa kecil sambil geleng-geleng kepala. “Kamu tuh emang nyebelin, ya.”

Tami tersenyum. “O’iya, kamu udah pesen makanan?”

“Aku nggak ngerti nama-nama makanannya. Lagian kamu ngapain sih ngajak ketemuan di restoran Korea gini? Private room pula.”

“Ya terus kamu pengen orang-orang denger pembicaraan kita gitu? Kamu pengen jadi couple tukang berantem yang jadi tontonan banyak orang kayak dulu, huh?”

Hening.

Ombo dan Tami saling menatap satu sama lain. Tak sampai lima detik, keduanya tertawa secara bersamaan. Sekarang, semua kenangan buruk selama mereka menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih telah berubah menjadi kenangan lucu yang bisa mereka tertawakan bersama.

Perlahan Ombo menghentikan tawanya ketika menatap dalam wajah Tami. Ada perasaan bersalah yang begitu besar setiap kali ia tertawa lepas seperti sekarang, terutama jika itu di lakukan di hadapan Tami.

“Ombo…” Tami sudah tidak lagi memanggil Ombo dengan sebutan ‘mas’ seperti dulu. Namun, itu terdengar lebih baik dari sebelumnya karena sekarang ia bisa mengukir senyum setiap kali menyebut nama Ombo.

“Tami, aku minta maaf. Itu aja. Nggak ada pembenaran atas segala sikap berengsek aku ke kamu. Aku bener-bener minta maaf.” Ombo mengucapkannya dengan begitu tulus. Ia benar-benar tampak menyesal atas semua perlakuan buruknya terhadap Tami.

“Sebenernya tanpa perlu kamu minta maaf, aku udah maafin kamu, kok.” Tami menanggapi dengan santai.

Ombo menganga tak percaya. Tak lama ia mengerjap. “Kenapa segampang itu? Kamu harusnya nggak boleh maafin orang segampang itu, Tami,” ucapnya kesal sendiri.

Tami tersenyum lembut. “Menolak permintaan maaf seseorang itu jadi nggak nyaman buat aku. Mungkin juga, itu karena aku pernah melakukan kesalahan dan aku tahu gimana menanggung rasa bersalah itu sendirian. Buat menerima dan mengakui kesalahan kita aja butuh proses yang panjang,” ujarnya dengan bijak.

Ombo merenungkan kata-kata Tami. Ia mencerna makna dari setiap kalimat yang terucap dari mulut Tami, hingga berujung pada kesimpulan bahwa semua yang telah terjadi adalah takdir Tuhan. 

“Ombo Manggala…” panggil Tami dengan mata berkaca-kaca.

“Ya?”

Thank you for being a lesson to me.”

Seketika Ombo menitikkan air mata. Ini terasa perih, tapi cukup melegakan. “Are you saying goodbye?” tanyanya lembut.

I love you that much, tapi kayaknya kita lebih cocok jadi adik kakak, deh,” jawab Tami.

Ombo mengangguk-angguk. “Aku tahu kamu cinta sama aku, tapi kamu nggak pernah jatuh cinta sama aku.”

Tami menyipitkan matanya menatap Ombo. “Gimana kamu bisa tahu?”

“Hubungan yang lahir dari perasaan kesepian, nggak akan pernah menjadi cinta.”

True, tho. Aku selalu berusaha ngasih semua cinta yang aku punya buat orang lain, sampai-sampai aku nggak tahu gimana caranya bertahan sendirian tanpa ngerasa kesepian.”

“Makanya, kamu tuh harus lebih sering bersosialisasi. Jangan mesra-mesraan sama kamera dan laptop doang.” Ombo sengaja mengucapkannya karena ia tahu bahwa Tami mudah sekali kesal jika disindir soal kebiasaannya yang tidak bisa lepas dari dua benda kesayangannya.

Tami menghela napas kesal, dan menatap Ombo dengan wajah datar. “Now I can see you as my brother. It’s really, really, truly annoying.”

“Apa sekarang kita udah baik-baik aja?” tanya Ombo memastikan.

Tami berpura-pura berpikir, “Hemm… gimana, ya? Emangnya ada ya orang abis putus, tapi masih baik-baik aja sama mantannya?” ucapnya bergurau.

“Ya kalau mantannya anti-marriage kayak kamu sih…”

“Kalau calon suaminya kayak kamu, aku bahagia banget disebut anti-marriage,” sela Tami cepat.

“Tuh, ‘kan… ngajak ribut mulu. Tami, semua orang tuh pasti pengen menikah, jadi jangan bilang gitu.” Ombo berusaha meyakinkan Tami dengan nada bicara yang lembut.

Tami mengangguk. “Right. Kalau aku jadi cowok, aku pasti pengen cepet-cepet nikah. Punya istri yang ngurusin semua keperluan aku, masakin aku, dan mengandung anak aku. Aku nggak perlu mikir ribuan kali buat membagi waktu antara keluarga dan karier aku,” cerocosnya.

Ombo tertawa renyah.

“Kenapa ketawa?” tanya Tami sedikit tersinggung.

“Mungkin beberapa cowok berpikir kayak gitu, tapi aku enggak. Aku pengen menikah karena aku pengen menghabiskan sisa hidupku sama satu-satunya orang yang aku cintai. Karena menurutku, nggak semua orang beruntung punya kesempatan buat menikah sama orang yang mencintai kita dan kita juga cinta sama orang itu.”

I hate to say it, but damn… sejak kapan kamu sok jadi motivator gini, huh?”

Seketika Ombo menatap Tami sambil memasang ekspresi marah. Alih-alih takut, Tami malah tertawa. Tawa itu pun disambut Ombo dengan tawa yang lebih lepas. Keduanya melanjutkan waktu bersama dengan makan siang yang begitu hangat bak saudara kandung yang sudah lama tidak bertemu. Tak lupa mereka juga menyelingi obrolan dengan canda tawa.

Lihat selengkapnya