MAX. 25 TAHUN

Ara Segara
Chapter #18

Menganggur Juga Melelahkan

Jakarta.

Satu bulan kemudian…

 

Ketika banyak orang berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik dalam sebuah kompetisi yang diberi nama kehidupan, maka mereka akan kehilangan jati diri mereka. Memperbaiki diri untuk menjadi lebih baik dari orang lain adalah pilihan yang kejam untuk menyiksa diri kita sendiri.

Padahal, untuk bertahan melalui segala kerumitan hidup sehari saja sudah cukup menjadi pencapaian besar. Ada orang yang mati-matian bertahan hidup demi orang-orang tersayang mereka, dan ada juga yang mati-matian memohon kepada Tuhan agar diberi kesehatan agar bisa hidup lebih lama bersama orang-orang yang mereka cintai.

Ombo menyadari bahwa Tuhan tidak memberikan kesempatan kedua pada semua orang, dan setiap kesempatan yang diberikan pun pasti ada harganya.

Dan, tidak ada alasan untuk tidak bersyukur. Ombo mendapatkan kehidupan yang selalu diinginkan orang-orang. Kedua orang tua yang masih utuh dan saudara kandung yang selalu mendukungnya. Pasangan yang ia cintai dan juga mencintainya. Beberapa orang yang akan selalu mengulurkan tangan mereka, bahkan saat ia tidak memintanya.

Hari ini, mungkin daftar rasa syukurnya akan bertambah. Setelah wawancara kerja terakhirnya gagal karena ia tiba-tiba pingsan, Ombo kembali mendapatkan panggilan wawancara kerja di Ong Asset Sekuritas. Meski sudah menolak sejuta kali tawaran Patricia untuk bekerja di perusahaan keluarga Patricia, akhirnya Ombo berubah pikiran.

“Oke, Ombo. Saya sangat suka dengan semangat kamu. Tapi, kalau kita bicara soal gaji, apa kamu punya ekspektasi sendiri?”

“Saya terbuka untuk mendiskusikan gaji yang adil dan sesuai untuk posisi copywriter di Ong Asset. Namun, berdasarkan dengan gaji yang saya terima sebelumnya, yaitu sebesar 7 juta nett, dan beserta skill yang saya miliki, juga riset yang sudah saya lakukan mengenai range gaji untuk posisi copywriter, saya mengharapkan gaji nett dengan kisaran 8 juta sampai 9 juta. Tapi, seperti yang saya katakan di awal, saya terbuka untuk mendiskusikannya.”

Pria berkacamata di hadapan Ombo itu tersenyum sambil mencatat sesuatu. Tak lama ia kembali menatap Ombo. “Baiklah, kalau begitu apakah ada yang mau kamu tanyakan ke saya?”

Ombo tampak ragu, tapi ia tidak bisa menahan rasa penasarannya. “Mohon maaf sebelumnya, tapi gimana sama masalah usia saya? Saya, ‘kan 27 tahun. Apa saya dipanggil wawancara karena dapat pengecualian dari Bu Patricia?”

Pria berkacamata itu tertawa renyah. “Miss Patricia memang merekomendasikan kamu, tapi soal usia karyawan di perusahaan ini… kami sama sekali tidak membatasi. Terutama saat Miss Patricia menjabat jadi Executive Director di sini, cukup banyak kebijakan yang berubah. Salah satunya ya usia pelamar kerja, kami hanya memberikan syarat minimal usia 22 tahun, tapi nggak ada usia maksimal,” ujarnya.

“Serius, Pak?” tanya Ombo tak percaya.

“Lagian buat apa sih pake syarat usia maksimal segala? ‘Kan nggak semua orang memulai kehidupannya di usia yang sama. Ada orang yang baru bisa kuliah di umur 20 tahun, ada yang 22 tahun, 25 tahun, bahkan 30 tahun juga ada. Beberapa orang yang lulus kuliah juga nggak langsung dapet kerja, jadi buat apa mempersulit orang lain mencari rezeki dengan mendiskriminasi usia mereka? Cari kerja itu cape, jadi pengangguran lebih cape. Iya, nggak?” cerocos pria berkacamata itu.

Ombo tersenyum tipis. “Saya harap perusahaan lain bisa berpikir hal yang sama.”

“Kalau saya hanya berharap kamu bisa bersabar sebentar, karena saya baru bisa memberikan kamu kabar mengenai kelanjutan wawancara ini mungkin tiga hari lagi.”

“Dari banyak penolakan yang saya terima selama saya menganggur, rasanya kalau hanya tiga hari… bukan apa-apa, Pak.”

Pria berkacamata itu tertawa. “Bisa aja kamu.”

 

***

 

Laki-laki yang bermimpi menjadi penulis novel terkenal itu mengirimkan naskahnya kepada editor cantik yang dengan sabar selalu membaca bab demi bab tanpa mengeluh, meski ia juga disibukkan dengan pekerjaannya sendiri.

Saat Ombo memasuki ruangannya, Kiara menyambut Ombo dengan senyum lebar. Ia tampak sangat bersemangat untuk membaca bab terakhir novel yang ditulis oleh kekasihnya.

“Hemm… kira-kira gimana ya ending-nya? Kalau ending-nya nggak bagus, kita nggak bakalan ketemuan seminggu.”

Ombo tersenyum. “Nih, silakan dibaca, sayang,” ucapnya lembut sambil menyerahkan naskah novelnya di meja kerja Kiara.

“Oke, let’s see!”

Setelah selesai membaca bab terakhir novel itu, tiba-tiba Kiara mematung dengan perasaan yang campur aduk. Melihat wajah kekasihnya yang tampak seperti orang syok, Ombo bangkit berdiri dan menghampiri Kiara.

“Kenapa? Apa ending-nya beneran nggak bagus?” tanya Ombo dengan perasaan takut.

Lihat selengkapnya