MAX. 25 TAHUN

Ara Segara
Chapter #19

Titik dan Nol

2 tahun kemudian…

 

Jika Tuhan mengakhiri kalimatnya dengan titik, maka jangan pernah mengubah itu menjadi sebuah tanda tanya. Itulah pelajaran berharga dari keputusan Tuhan yang membuat Ombo sembuh dari tumor otak disaat dirinya sangat ingin mati karena sudah tidak sanggup lagi melanjutkan hidup sebagai seorang pengangguran.

Namun, lihatlah seberapa jauh ia mampu bertahan dan melanjutkan hidupnya dengan baik. Bukan berarti tidak ada kesulitan, hanya saja sekarang ia lebih bisa mengatasi kesulitan dengan mengetahui bagaimana caranya bereaksi saat ada sesuatu yang tidak memenuhi harapannya.

“Sori, tapi kalau saya boleh saran, sepertinya content writer dari Sixstar ini harus bisa lebih eksplorasi lagi mengenai konten-konten investasi secara umum, dan mempelajari lagi tentang investasi yang ada di Ong Asset Sekuritas. Kalau saya harus mencari ide sendiri untuk judul dan menulis ulang subtitle, lalu untuk apa ada kerja sama antara Sixstar dan Ong Asset? Jadi, untuk Kak Icha, saya harap Anda sebagai content writer Sixstar bisa belajar dari kesalahan dan mau belajar lagi buat bikin konten yang menarik.”

Melihat perkembangan Ombo yang kini sudah mampu berbicara panjang lebar saat berada dalam sebuah rapat kerja, membuat Patricia dan Remi merasa bangga. Seorang pria pemalu dan pendiam yang lebih senang menghabiskan waktu bersama kekasihnya, ternyata memiliki kemauan untuk mengembangkan kemampuan dirinya demi mempergunakan kesempatan yang telah Tuhan berikan kepadanya.

So, it’s clear, right? Mr. Chan? Saya harap Anda bisa lebih memerhatikan your employee.”

Okay, Miss Patricia. Kami akan lebih memperbaiki kinerja kami.”

Great. I think that’s all for today. Kita akan ada meeting lagi di hari…”

“Rabu depan, Miss.”

Thank you, Ombo. Rabu depan, ya. So, thank you. See you next time!”

Mereka bertiga menutup laptop secara bersamaan, kemudian saling menatap satu sama lain.

“Kamu tahu nggak? Kamu tuh tadi masih terlalu lembut negurnya,” keluh Remi kepada Ombo.

“Jangan keras-keraslah, Kak. Kasian, kelihatannya dia masih belajar,” balas Ombo.

“Untungnya kita nggak meeting offline, kalau nggak tuh anak abis gua marah-marahin.” Remi bersikeras dengan pendapatnya.

Patricia tersenyum sambil geleng-geleng kepala. “Yang satu keras banget, satunya lagi lembek banget. Sehat-sehat deh kalian, yah.” Patricia bangkit berdiri dan bergerak pergi meninggalkan ruangan.

“Pat, lusa kamu jadi jemput Tami di bandara, ‘kan?” tanya Remi yang kemudian menahan langkah Patricia.

Patricia menengok ke arah Remi dengan wajah kaget. “Oh my God… hampir aja aku lupa, Rem.”

“Tami bakalan pulang?” tanya Ombo penasaran.

“Lebih tepatnya liburan doang, sih,” jawab Remi.

Ombo tersenyum lebar, dari sorot matanya bisa terlihat bahwa ia sangat gembira mengetahui kabar tersebut. “Kalau gitu, gimana kalau kita bikin pesta kejutan buat menyambut Tami? Tami, ‘kan paling suka dikasih kejutan.”

“Emm… sounds great! Right, Remi?” komentar Patricia.

Remi berpikir sejenak sebelum akhirnya menganggukkan kepala sambil tersenyum. “I meanwhy not? I’m excited!”

Yeay!”

 

***

 

Sebagai manusia, mereka memiliki jalan hidup masing-masing. Sebagai kakak beradik, mereka memiliki ikatan khusus yang bertahan selamanya. Tidak ada yang boleh menyakiti saudara kandungmu, kecuali dirimu sendiri. Begitulah ikatan di antara Ombo dan Obit.

“Ya udah, biar aku aja, Ombo.”

“Aku aja, Teh Obit. Terakhir kali Teteh ngocok bolu tuh bolunya jadi bantet tauk!”

“Enggak, sini, ih. Aku yang ngocok mentega sama gulanya, kamu siapin aja terigu sama telurnya, Om!”

“Jangan, Teh Obit. Ombo aja, ya, ya, ya…?”

Ombo dan Obit sama-sama tidak mau melepas mangkuk stainless besar yang sudah ada mentega dan gula di dalamnya. Usia mereka yang sudah sama-sama dewasa, rupanya tidak menghalangi mereka untuk saling berebut sesuatu seperti mereka masih kecil dulu.

“Gusti Allah… Obit! Ombo! Geus atuh. Meni kayak anak kecil.” Ibu buru-buru menghampiri dan berusaha memisahkan anak-anaknya. “Obit ngalah atuh.”

“Kenapa sih harus kakak yang selalu ngalah?” protes Obit.

“Ya udah, Ombo yang ngalah, ya.”

“Nggak ada ceritanya adik ngalah dari kakak, bu. Nggak mau!”

“Atuh kumaha kalau nggak ada yang mau ngalah mah!” Ibu berteriak frustasi menghadapi anak-anaknya.

Ombo dan Obit terus mengadu kekuatan dengan saling menarik mangkuk itu bergantian. Tidak tahan melihat kelakuan anak-anaknya, ibu ikut menarik mangkuk itu hingga spontan membuat anak-anaknya melepaskan mangkuk itu. Alhasil, mentega cair dan gula dalam mangkuk itu tumpah ke pakaian ibu.

Woops!” ucap Ombo yang kemudian menutup mulutnya dengan tangan.

“Gara-gara Ombo tuh, bu.” Obit langsung kabur dari dapur.

“Ih, bohong, bu. Gara-gara Teh Obit, tuh!” Ombo berbalik dan buru-buru menyusul kakaknya.

“Obit! Ombo!”

Alih-alih menyerah atas kekacauan yang dibuat anak-anaknya, ibu justru mengejar mereka sampai ke ruang tamu. Di situ, ayah sudah siap siaga. Dengan kecepatan penuh, ayah menangkap tubuh Ombo dari belakang, kemudian disusul ibu yang memeluk tubuh Obit dari belakang.

“Ih, kalian licik tauk!” keluh Ombo.

Semenjak pindah rumah ke Jakarta, Ombo menjadi lebih sering menghabiskan waktu bersama keluarganya. Ia tidak ingin memikirkan omongan orang yang mungkin akan mengejeknya karena di usianya yang sudah hampir kepala tiga, ia masih menumpang di rumah orang tuanya. Ia tak mau opini orang lain mengambil alih hidupnya dan mengurangi kebahagiaannya.

Ombo percaya, mengembalikan senyum dan tawa orang tuanya di sisa hidup mereka juga merupakan kesempatan kedua yang Tuhan berikan kepadanya.

Lihat selengkapnya