Bekerja adalah rutinitas ku. Hidup sendirian di kota orang telah banyak memberiku pengalaman, pelajaran dan penemuan-penemuan yang sebelumnya belum sempat kutemukan.
"Hai Neng! masuk pagi ya?" Tiba-tiba suara seorang pria tua berhasil mengagetkan lamunan pagi hariku.
Aku berbalik, kemudian tersenyum padanya "Ah, iya Pak. Aku baru saja mau membuka kunci gemboknya." Ku tunjukkan kunci toko yang ada di tanganku.
"Mau saya bantu membuka kan tokonya Neng?"
"Ah boleh sekali Pak," ucapku dengan hati yang amat senang. "Maaf ya, aku suka merepotkan Bapak. Pagi-pagi pula, he." Aku tersenyum malu.
"Tidak apa-apa Neng. Berkah lho, ibadah ngebantuin orang hehe." Beliau tersenyum menenangkan aku yang merasa tak enak hati.
Dia adalah Pak Aris, tukang parkir yang selalu membantuku membuka toko. Dia adalah salah satu orang yang selalu kurepotkan jika aku masuk kerja pagi, sendiri.
Entah berapa orang yang telah ku repot kan di lingkungan ini. Mereka berhati baik. Mereka memedulikan ku. Entah mungkin karena mereka melihatku seorang perempuan yang bekerja sendirian, lantas mereka bisa begitu bersimpati menawarkan segala macam bantuan yang memang tidak bisa aku kerjakan sendiri. Ah entahlah, pokoknya aku sangat bersyukur bisa tinggal ditempat ini.
"Terimakasih Pak!" aku tersenyum mengangguk. Perasaanku begitu lega melihat pintu ajaib tokoku kini sudah terbuka.
"Santai saja Bu, kalau Ibu ada apa-apa, pokoknya kalau Ibu butuh bantuan yang lain panggil saya saja ya."
"Oke." Aku memasang jempol padanya.
Pak Aris pun ikut memasang kedua jempol tangannya padaku. Lalu, diapun pergi untuk menjalankan aktivitasnya sebagai seorang pejuang rupiah.
Kini, aku kembali sibuk dengan diriku sendiri. Aku mengeluarkan tempat memasak nasi, pencuci tangan dan tempat penyimpanan piring. Cukup menguras energi ku di pagi hari.
Aku segera memasang gas, kemudian menaikkan tombol fryer, memutar suhunya ke 150 derajat.
Kulepas jaket yang sedari tadi masih melekat di badanku. Kini saatnya aku menyalakan mesin POS dan juga menghitung modal uang kas.