Maya menguap lebar di kursi belakang mobil, Kakek duduk di belakang kemudi, sedangkan Mama duduk di sebelah kakek. Mereka berangkat jam 5 pagi saat langit masih gelap. Sungguh, saat ini Maya ingin tidur berselimut tebal.
“Mau tidur lagi?” tanya Kakek sambil menatap Maya lewat kaca spionnya. Ia menahan senyumnya.
Maya tidak menjawab dan malah menyenderkan punggungnya ke kursi. Matanya menatap langit yang semakin lama semakin terang. Hati kecilnya berharap ia bisa melihat pesawat terbang melintas sekali saja.
“Nah kita sudah sampai di sekolah!” kata Kakek. Ia memelankan mobilnya. Maya menegakkan punggungnya. Rasa kantuk mendadak hilang.
Ada banyak anak-anak berkumpul di halaman sekolah. Semuanya memakai baju bebas dan membawa tas ransel.
“Mereka enggak pakai seragam?” tanya Maya heran.
“Tidak,” kata Kakek.
Maya tersenyum. Ia pernah memimpikan sekolah tanpa seragam.
“Ayo turun,” kata Kakek.
Maya turun dari mobil, diikuti Mama yang sejak tadi tidak banyak bicara. Kakek tidak ikut turun dan memilih untuk menunggu di mobil. Maya melirik Mamanya yang tampil rapi. Mama akan bertemu dengan pihak sekolah hari itu. Ia memegang ponselnya dan sedang bicara dengan seseorang dari pihak sekolah.
“Ayo Maya, kepala sekolah sudah menunggu kita di ruangannya.”
Maya mengekor mamanya sambil melihat sekeliling. Beberapa anak menyadari kehadirannya dan menghentikan kegiatannya. Mereka berbisik-bisik dan bertanya-tanya. Penampilan Maya memang sedikit berbeda, tepatnya lebih modis dibandingkan anak-anak di desa itu sehingga tampak mencolok.
Maya menyapa mereka dengan senyuman. Beberapa ada yang membalas senyumnya dan beberapa lagi hanya diam memperhatikan.
***
Maya berdiri di depan kelas. Jantung Maya berdebar kencang ketika melihat teman-teman di kelas 6A yang berjumlah sekitar 21 orang itu. Mereka menatap Maya dengan antusias karena sangat jarang ada murid baru yang berasal dari kota.
“Silakan Maya, perkenalkan dirimu,” kata Bu Dinaya. Maya sudah bertemu dengan Bu Dinaya di ruang kepala sekolah tadi. Ia guru yang cantik. Rambutnya berwarna hitam, dan yang paling menonjol dari wajahnya adalah bulu matanya yang panjang dan lentik seperti bulu mata burung unta.
“Ayo Maya perkenalkan dirimu,” kata Bu Dinaya sekali lagi.
“Namaku Maya. Umurku dua belas tahun. Aku dari kota Mughat!”
“Seperti apa kota Mughat?” tanya seorang anak laki-laki yang duduk paling depan. Ia berkacamata.
“Ng…Kota yang besar sekali. Banyak orang. Banyak polusi. Banyak tempat belanja, museum, perpustakaan besar, dan taman-taman kota yang biasanya dijadikan tempat piknik.”
Teman-teman di kelas berdecak kagum.
“Seperti apa sekolahmu di sana?” seorang anak perempuan berbaju biru muda bertanya.
“Di sekolahku…ng…kami memakai seragam sekolah dan masuk jam 8 pagi. Di sini kurasa lebih enak karena boleh pakai baju apa saja, walaupun….sekolahnya menurutku terlalu pagi.”
Teman-teman sekelasnya tertawa kecil.
“Lalu… gedung sekolahku bertingkat. Ada tiga tingkat. Aku suka naik ke atap sekolah.”
“Ada apa di atap sekolah?” tanya teman yang lain.
”Menunggu pesawat terbang lewat.”
”Tapi tidak harus ke sana pun bisa lihat, kan?” tanya seorang anak yang berkacamata.
”Tapi di ketinggian terasa lebih dekat.”
“Oooh,” teman-teman mengangguk dan memberikan reaksi yang beragam. Kecuali satu orang. Ia hanya diam tak bereaksi.
“Ok, Maya. Terima kasih. Silakan duduk. Di sana ada bangku kosong,” kata Bu Dinaya sambil menunjuk bangku kosong yang ada di dekat jendela. Tepatnya di sebelah anak perempuan berbaju biru yang tadi bertanya pada Maya. Di kelas itu satu bangku diisi dua orang anak. Kalau di sekolah lamanya, masing-masing murid punya bangku sendiri.
Maya berjalan ke arah bangku kosong itu, sambil mendengarkan nasihat bu Dinaya.
“Anak-anak, Maya berasal dari kota yang punya kebiasan berbeda dengan di sini. Dia perlu waktu untuk menyesuaikan diri dengan kebiasaan di Solumi. Ibu harap kalian bisa membantunya supaya dia nyaman dan betah,” tutup Bu Dinaya.
“Baik bu,” kata anak-anak hampir bersamaan.