Nenek memasang muka tidak suka saat melihat Maya bermain dengan mainan pesawat terbangnya di beranda rumah.
Pemandangan itu tidak biasa di desa Solumi. Anak perempuan biasanya bermain dengan boneka, fesyen, memasak dan kecantikan. Anak laki-laki biasanya bermain bola, mobil-mobilan, ketapel dan lain-lain. Dan pesawat terbang dikategorikan sebagai permainan anak laki-laki.
“Kenapa dia lebih suka main itu?” tanya Nenek pada Leya. “Itu tidak bagus. Kamu tidak memberitahu dia?”
“Mungkin karena dia dulu dekat dengan papanya,” jawabnya.
Nenek berhenti mengeluh.
“Ada kabar dari dia?” tanya nenek.
“Tidak. Dia menghilang seperti debu.” Ada kekecewaan di raut wajah Leya, tetapi ia berusaha untuk tetap tegar.
“Tidak ada kabar dari polisi?”
“Mereka menutup kasus ini karena tidak ada lagi petunjuk dan sudah terlalu lama.”
“Apa dia meninggalkanmu karena wanita lain?”
Leya terdiam. Ia sangat kesal ketika Ibunya mengatakan itu. “Aku pergi mengurus kebun apel dulu.” Ia mengalihkan pembicaraan dan pergi menghindar.
Nenek menatap punggung anaknya yang perlahan menjauh. Lalu menoleh pada Maya yang masih asyik bermain pesawat terbang.
“Ini tidak bisa dibiarkan,” gumam Nenek. Nenek menghampiri Maya sambil tersenyum.
“Mayaaa!” Suaranya terdengar merdu.
“Nek, lihat ini pesawatnya bagus kan? Ini dari Papa!” Maya langsung bercerita saat melihat neneknya berdiri di dekatnya.
“Oh,” kata Nenek sambil melihat pesawat terbang mini berwarna kuning dengan dua baling-baling di atas sayapnya. Pesawat mini itu terbuat dari besi.
“Ini pesawat amphibi biasanya dipakai untuk memadamkan api di hutan. Bisa mengangkut banyak air juga.”
“Oh,” respon Nenek pendek. Ia tidak tertarik. “Maya, mau bantu Nenek masak kue?”
“Aku tidak tahu caranya,” kata Maya.
“Nanti nenek ajarkan,” kata Nenek sambil tersenyum lebar.
“Oke, aku akan bantu tapi nanti,” kata Maya.
“Nanti?” wajah Nenek berubah.
“Aku mau main ini dulu,” kata Maya.
“Oh, oke. Nenek tunggu di dapur.”
Maya tersenyum. Lalu bermain lagi dengan pesawat terbangnya.