Mata Oscar terbelalak ketika ia mengintip isi tas Maya.
“Ini koleksimu?” tanya Oscar tanpa berkedip sedikit pun.
Maya mengangguk. Matanya berbinar-binar dan rasa bangga menyelimuti dadanya. Akhirnya ia bisa memamerkan koleksinya pada temannya. Sesuatu yang tidak pernah ia lakukan selama beberapa tahun terakhir.
“Bagaimana menurutmu?” tanya Maya. Suaranya terdengar riang.
“Aku baru pertama kali melihat ini. Koleksi Kano bahkan tidak sebanyak ini. “
“Kamu berteman dengan Kano?” tanya Maya.
“Iya, dulu.” Oscar menelan ludahnya. Wajahnya memancarkan kenangan masa lalu yang ingin dilupakannya.
“Oh,” kata Maya. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Kano yang sedang membaca buku di bangkunya.
“Dia pasti iri melihat ini,” kata Oscar.
“Aku tidak mau siapa pun tahu. Ini rahasia.”
“Ya, sebaiknya jangan,” kata Oscar. Ia memandang Maya dengan tatapan serius. “Seharusnya kamu tidak membawanya ke sekolah.”
“Di sini lebih aman daripada ditinggal di rumah,” jawab Maya sambil menutup dan membenamkan kotak itu ke dalam tas.
“Kenapa?”
“Tidak apa-apa,” kata Maya. Ia tidak mau bicara panjang lebar karena takut keceplosan.
“Oh ya, aku juga ingin melihat hasil jahitanmu.” Maya mengalihkan pembicaraan. “Apakah hari ini kamu membawa kain lagi seperti kain hijau yang waktu itu?”
Oscar tersenyum. Ia membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah buku sketsa.
“Aku tidak membawa hasil jahitanku sekarang. Tapi aku ingin kamu melihat ini,” kata Oscar sambil mengeluarkan buku sketsa dari dalam tasnya.
Maya membelalakkan matanya saat Oscar membuka halaman pertama buku itu. Ia melihat sketsa rancangan baju buatan Oscar yang bagus dan detail. Rancangannya adalah gaun-gaun koktail yang sangat indah yang dipakaikan pada model-model ramping tanpa wajah.
“Bagaimana?” tanya Oscar. Jantungnya berdebar-debar karena tidak sabar mendengar pendapat Maya.
Maya membuka halaman berikutnya.
“Ini sih melebihi perkiraanku. Mungkin kamu bukan seperti Maulcholo.” Maya semakin terkesan.
“Siapa?”
“Maulcholo, penjahit kerajaan. Aku pernah bilang kemarin.”
“Oh iya benar,” kata Oscar.
“Gambarmu bagus. Aku jadi ingat, ayahku punya buku sketsa seperti ini, tapi yang digambar pesawat terbang. Aku pernah tanya, apa cita-citanya. Katanya ingin membuat pesawat terbang.”
“Papamu keren,” kata Oscar.
“Ya, setiap hari yang dibicarakannya itu terus. Tetapi anehnya dia bekerja di hotel, bukankah seharusnya dia bekerja di pabrik pesawat terbang?”
“Ya kamu benar. Aneh juga,” kata Oscar. “Sekarang aku mengerti kenapa kamu terobsesi pesawat terbang,”
“Hahaha, ya. Tapi aku tidak seperti ayahku. Cita-citaku naik pesawat terbang.”
“Hanya itu saja?” Oscar sedikit terkejut.