Rasanya hari itu adalah hari paling buruk bagi Maya. Mama tiba-tiba pulang dari tempat kerjanya sebagai buruh pabrik, dan memberitahunya kalau ia dipecat. Tapi bukan itu bagian terburuknya yang membuat Maya tidak bisa tidur dengan tenang dan dadanya berkecamuk. Melainkan rencana Mama yang ingin pulang ke Desa, membantu orangtuanya mengurus kebun apel. Mendengar itu rasanya Maya ingin berteriak dan melempar semua barang yang ada, tetapi tentu saja itu hanya ada dalam pikirannya.
Beberapa jam lalu mereka bertengkar hebat. Maya menolak keras. Namun ketika Mama menanyakan alasannya, Maya tidak bisa bilang karena ia tahu Mama tidak akan bisa menerimanya walaupun alasan itu sangat penting baginya.
Impian Maya paling tinggi saat ini adalah ingin naik pesawat terbang. Alasannya sederhana, ia hanya ingin melihat seperti apa pemandangan dari ketinggian ribuan meter dari permukaan bumi. Beberapa bulan yang lalu, saat pembagian rapot sekolah, gurunya menulis soal impian Maya dalam laporannya. Setelah membaca itu, Mama berkomentar, “Kamu harusnya punya mimpi yang lebih tinggi lagi dan lebih spesifik! Misalnya jadi dokter, pengacara atau pekerjaan-pekerjaan yang berduit banyak. Jangan seperti Mamamu ini. Kamu harus lebih baik!” kata-kata itu terpatri di benaknya. Tapi tetap saja tidak membuat Maya goyah dan mengubah cita-citanya.
“Apa pun alasannya, kita pindah ke Solumi!” teriak Mama. Suaranya melengking dan memekakkan telinga.
Andaikan usianya lebih dewasa, pasti Maya akan memilih untuk tinggal sendiri di kota Mughat yang padat dan bising. Tapi ia hanyalah gadis kecil berumur 12 tahun yang masih tergantung pada orang tuanya.
“Di sini biayanya terlalu mahal. Cari kerja juga susah,” keluh Mama, “kamu jadi anak harusnya ngerti, dong. Jangan menyusahkan!”
Dibilang begitu Maya makin kesal dan cemberut.
“Pokoknya aku enggak mau!” seru Maya.