Maya turun dari kereta itu dan melihat sebuah papan besar yang bertuliskan Stasiun Solumi yang ditulis dengan tinta hitam di atas kayu yang dicat putih. Stasiun kereta Solumi ternyata lebih kecil dibandingkan stasiun-stasiun sebelumnya yang Maya lihat sepanjang jalan.
Stasiun itu hanya terdiri dari sebuah bangunan persegi panjang yang dicat warna merah bata dan berjendela besar. Atapnya dicat cokelat tua. Begitu juga dengan kusen jendelanya. Dan tidak jauh dari pintu ada sebuah jam yang sangat besar berbentuk bulat dengan desain yang terlalu megah bila dipajang di stasiun yang sangat sederhana itu. Jarumnya menunjukkan tepat pukul 10 pagi.
Maya mendengar roda kereta itu kembali berputar. Kereta itu tidak berhenti lama karena hanya Maya dan Mamanya yang turun di stasiun itu. Maya melihat sekilas ke jendela, dan melihat wanita tua yang menjadi teman sekamarnya selama satu hari melambaikan tangannya sambil tersenyum. Wanita tua itu harus melanjutkan satu hari lagi perjalanan. Maya membalas lambaian tangan itu.
Stasiun itu benar-benar sepi dari luar, tapi ketika masuk ke dalam dan mengikuti mamanya yang sudah berjalan lebih dulu, ia melihat beberapa petugas stasiun seperti seorang petugas loket yang terlalu sibuk berkaca dan membetulkan penampilannya seakan-akan ia harus menampilkan penampilan yang terbaik pada tamu yang datang. Padahal sedang tidak ada calon penumpang di sana. Lalu mata Maya beradu dengan seorang petugas kebersihan. Petugas kebersihan itu langsung mengalihkan pandangannya ke sisi lain sehingga Maya terpaksa menelan senyumannya.
Di ujung pintu keluar, seorang penjaga keamanan yang sejak tadi menguap lebar langsung terjaga ketika melihat Mama dan Maya datang menghampirinya.
“Selamat pagi,” kata petugas keamanan berseragam hitam dan abu itu.
“Pagi,” kata Mama.
“Mau ke pusat desa?” tanya petugas keamanan itu ramah.
“Iya,” jawab Mama.
“Kalau ingin ke pusat desa, bisa naik bis. Tapi datangnya setiap tiga puluh menit sekali.”
“Kami dijemput. Tidak usah khawatir.”
“Oh, punya kenalan di sini? Kupikir Anda turis,” kata petugas keamanan itu.
“Aku lahir di sini,” kata Mama.
“Oh!” ia terkejut. “Siapa nama orangtuamu?”
“Zay….”
“Zay si petani apel!” tebak petugas keamanan itu.
“Kamu kenal papaku?” tanya Mama.
“Hahaha! Di desa ini semua orang saling mengenal.”
“Oh iya, benar.” Mama sudah lama tidak pulang, sehingga melupakan beberapa hal di desa itu.
“Tunggu…” petugas keamanan itu menyipitkan matanya dan mengamati Mama dengan saksama. “Kamu Leya bukan, ya?”