Mendengar Nurmi bakal diadili di kantor sekolah, aku membuang pensil dan penghapus sekenanya keatas meja, lalu lari tunggang-langgang meninggalkan kerumunan anak-anak perempuan yang merengek-rengek minta diajari menulis alfabet latin. Di ujung belokan, pojok dekat ruang kelas enam, aku hampir saja menubruk paman Lari yang sepertinya juga sedang tergesah-gesah mengurusi sesuatu.
Sewaktu melompati pagar bunga golkar yang dicukur cepak hampir botak. Sempat kudengar komentar sumbang darinya, sedikit agak cempreng khas paman Lari tentunya “Woi…! perhatikan langkahmu!”.
Di kolom kantor sekolah yang diberdirikan dengan konstruksi rumah panggung, aku menemukan sepupu-sepupuku hampir seluruhnya sudah ada disana, dengan wajah yang secara langsung berkata padaku: Sangat buruk..., buruk sekali..., Mama Nurmi dalam masalah besar...
Di atas kami, yang dilapisi papan, dan di susun seadanya. Dari celah-celah papan yang dipaku secara tidak simetris itu, yang hanya di tutupi tikar anyaman daun rumbia. Dari balik tikar yang sudah bolong-bolong termakan usia itu, aku dan sepupu-sepupuku bisa mendengar ada yang menangis sedu-sedan, ada juga yang terus-terusan berbicara, seperti sedang membela diri, tapi dalam bisik-bisik. Ada juga beberapa suara lain, yang kukira sedang berusaha melerai.
Waktu kuperhatikan siapa yang sedang sedu-sedan. Itu jelas-jelas bukan Nurmi. Maka, kuberi instruksi pada sepupu-sepupuku, terutama Ibrahim sepupu tertuaku, untuk mengangkat badanku dan mencantolkan pantatku pada salah satu tebang[1] terdekat, yang paling dekat dengan jendela tentunya. Dengan begitu aku bisa menempelkan sebelah kupingku pada dinding di samping jendela sambil duduk-duduk santai.
Dari tempatku duduk sekarang, aku dapat memastikan bahwa yang sedang bicara, dengan suara bisik-bisik adalah Nurmi. Sebuah fakta baru bagiku, ternyata Nurmi punya sisi lain yang selama ini tidak aku ketahui. Tidak biasa tentunya, mengingat kebiasaan Nurmi yang selalu kelakar kalau sedang bicara. Maski tak paham seluruhnya, tapi kata-kata yang sayup-sayup kudengar dari celah-celah dinding papan kurang lebih begini:
Kita menderita karena selalu merasa bahwa kita hampir saja tidak mendapatkan apa-apa dari segala yang telah kita berikan. Padahal kalau ditelisik lebih mendalam, kita memang sama sekali belum memberikan apa-apa. Toh, kalau memang pernah, bukankah pemberian itu, sesuatu yang bukan lagi milik kita. Jadi buat apa mesti dihitung-hitung.
Masalah kita sebagai pendidik bukanlah soal kenakalan remaja, akan tetapi soal ego dan kekeliruan kita dalam mengajari mereka sudah sejak dini. Ego kita selalu menyeret-nyeret mereka untuk mencapai apa yang selama ini kita anggap ideal. Padahal – sudah seumur hidup – sudah berkorban segalanya, tapi tak secuilpun dari yang kita anggap ideal itu pernah kita raih.
Karena takut nilai rapor buruk, takut anak-anak didik itu tidak berhasil masuk sekolah favorit, maka hanya masa depan suram yang terbayang di pelupuk mata – Nilai raport pun boleh dibuah-ubah, kursi-kursi diperjualbelikan. Dan kita sudah mempraktekkan cara-cara keliru semacam ini sudah sejak lama, mengajari anak-anak didik kita dengan cara-cara keliru seperti itu. Proses pembodohan ini mungkin sudah menimpa anak-anak didik itu sudah sejak dalam kandungan ibunya. Terpapar pikiran picik sembelum jadi manusia seutuhnya. Kecurangan yang betul-betul sempurna. Dan kita terlalu keras kepala untuk mengakui semua kekeliruan ini. Padahal kita semua tahu – kepalsuan dan kebobrokan seperti apa yang selalu menyertai kita sehari-hari.
Apa yang terjadi kemudian, kala anak-anak didik ini mulai bisa meraba-raba apa yang mereka cita-citakan, mereka langsung lupa diri, lupa segala-galanya, jangankan bakti pada orang tua, persoalan yang paling sederhana sekalipun semisal kemana kaki mesti dipijak dengan benar, menguap begitu saja bersama pelajaran pekerti yang tak ada lagi artinya di bangku-bangku sekolah.
Kau mungkin bakal geleng-geleng kepala menyaksikan bagaimana anak-anak ini bertingkah. Padahal, kau tahu sendiri, baru kemarin sore!, anak-anak ini masih duduk-duduk di pangkuanmu, kecupanmu di ubun-ubunnya belum juga mengering. Tapi, kini mereka bertingkah seolah-olah kau tak ada di sana. Jangan tanya soal keseponan macam apa ini?. Tapi tanyakanlah pada dirimu!, siapa sesungguhnya yang mengajarkan moralitas rendahan macam itu?.
Kitalah, para pendidik, yang terus-menerus mengajarkan pada para pewaris Bangsa ini, bahwa: Jujur terhadap prinsib hidup tak ubahnya tiket lotere, yang kalau kau cukup beruntung, kau bisa menggadai nuranimu dengan segumpal kemewahan – tak perlu lagi ambil pusing soal nurani - Yang sepertinya, mulai detik ini, cukup dengan menutup mata rapat-rapat. Ia bakal abadi - berkarat dalam jeritannya.
Suasana jadi sepi, digantikan dengan suara dehem Paman Lari. Aku menemukan wajahnya di salah satu bingkai jendela, cukup jauh dari tempat Nurmi dan yang lainnya bercakap-cakap. Seraya menatap tajam padaku dan sepupu-sepupuku, yang tatapannya itu dapat kuartikan sebagai: Nah, ajaran siapa pula ini?. Seenaknya saja mengintip pembicaran orang!.