Maya Laiden

S. Po Singki
Chapter #2

Bocah Jendela

Keluarga dari pihak ibuku seperti keluarga yang terkutuk, dengan kelahiran anak laki-laki lebih banyak ketimbang kelahiran anak perempuan. Jadi, kehadiran perempuan seperti sesuatu yang mesti di istimewakan.

Setahuku akulah cucu pertama yang terlahir sebagai perempuan di keluarga ini. Cucu perempuan pertama dari anak perempuan satu-satunya yang kakek miliki.

Barangkali atas dasar itulah, kehadiranku dikeluarga besar serba laki-laki ini menjadi sesuatu yang istimewa, istimewa dalam segala hal, sampai-samapi hampir semua urusan yang ada persangkutannya denganku—selalu aku yang diutamakan, padahal aku bukanlah satu-satunya cucu perempuan dalam keluarga ini.

Setahuku, Bibi Hasna, istri paman Ledeng, salah satu paman dari pihak ibuku, belum lama ini dikaruniahi anak perempuan, kelahiran ketiga setelah anak pertama dan kedua lahir sebagai anak laki-laki. Bahkan, sapaan untuk kakek sendiri berubah dengan embel-embel namaku (Nene’ Maya). Padahal, harusnya cucu pertama yang boleh mendapat kehormatan semacam ini. Tak peduli ia cucu laki-laki atau perempuan, begitulah aturannya. Barangkali karena perlakuan yang istimewa ini, bila aku mendapat gangguan ataukah semacam ancaman dari anak-anak bandel, terutama dari para tetangga. Aku tinggal menjentik jari, setelah itu sepupu-sepupuku yang rata-rata ber-perigai liar, langsung berkerumun seperti semut yang mengepung mangsanya.

Leri, almarhum ayahku seorang sarjana Agama, bungsu dari lima orang bersaudara, atau lebih tepatnya, lahir beberapa menit kemudian setalah kelahiran saudara kembarnya, yaitu paman Lari. Dia anak terakhir sekaligus yang paling duluan meninggal.

Sementara ibuku juga merupakan anak terakhir dari tujuh bersaudara, dan dialah yang tercantik bila dibandingkan dengan semua saudara laki-lakinya yang berjumlah enam. Ini bukan metafora, ibuku memang sangat cantik, terlebih lagi, ia lulusan universitas dengan gelar sarjana pendidikan. Belum cukup setahun kelulusan, ibuku langsung mendapat kehormatan untuk dipekerjakan negara dengan predikat guru honorer SLTP. Satu-satunya dari tujuh bersaudara yang berhasil mengenyam pendidikan universitas.

Ayahku wafat persis ketika usiaku menghampiri tujuh bulan dalam kandungan. Jadi aku tak tahu menahu seperti apa rupanya. Biasanya orang-orang di pedalaman sini bilang: Almarhum Leri itu mirip sekali dengan saudara kembarnya, paman Lari. Hanya saja sedikit lebih ramping dan berperawakan tinggi dari saudara kembarnya, serta lebih sopan pembawaannya ketimbang paman Lari. “Kadang-kadang ada saja yang menagis kalau mendengarkan bacaan Qur'an nya”. Pernyataan yang ini merupakan pengakuan yang langsung kudengar dari orang-orang paling dekat semisal; Nurmi, Lemang, serta Ganggu, kakekku.

Lihat selengkapnya